Travel  

Ketupat Jembut, Tradisi Unik Saat Lebaran di Semarang

Ketupat Jembut, Tradisi Unik Saat Lebaran di Semarang

tribunwarta.com – Ada tradisi unik berlebaran di kota Semarang dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Jika umumnya umat muslim merayakan lebaran usai menjalankan puasa ramadan 1 bulan penuh, maka tidak dengan disini.

Anda takkan menemukan sajian ketupat atau kue kering khas lebaran pada hari raya pertama. Masyarakat Semarang terbiasa mengkonsumsi dan membuat ketupat untuk merayakan bodo kupat.

Istilah “bodo” atau ba’da sendiri mulai diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga saat memulai syiar islam di tanah jawa. Tradisi tersebut untuk merayakan keberhasilan berpuasa sunnah 6 hari di bulan syawal.

Biasanya puasa dimulai pada hari kedua lebaran atau 2 syawal dan berakhir pada tanggal 7 syawal. Di tanggal 8 syawal, ibu-ibu akan membuat ketupat jembut atau ketupat yang berisi sayuran. Ketupat tersebut akan dibagikan kepada para tetangga dan anak-anak sebagai ungkapan rasa syukur.

Di kota Semarang, perayaan tersebut jauh lebih meriah jika dibandingkan kota-kota lainnya. Sejak subuh, masyarakat terutama anak-anak akan menyalakan petasan untuk menandakan datangnya bodo kupat.

Nantinya para ibu dan bapak-bapak mulai menggantungkan ketupat di depan rumah mereka. Salah satu orang akan mulai memukul tiang listrik sebagai pertanda pemilik rumah telah menyiapkan ketupat jembut.

Anak-anak akan mulai berebutan dan mendatangi setiap rumah warga yang menyediakan ketupat jembut. Selain digantungkan, adapula warga yang sengaja meletakkannya di atas nampan besar.

Berbeda dari ketupat yang dikonsumsi dengan kuah opor atau gulai sayur, ketupat jembut tidak demikian.

Meskipun namanya sedikit nyeleneh, panganan ini benar-benar lezat tanpa campuran kuah sekalipun. Pasalnya di bagian dalam ketupat telah ditambahkan sayur-sayuran dan bumbu sebagai pelengkap rasa.

Saat dimasak, ketupat tersebut juga diberikan bumbu untuk memberi citarasa. Sehingga tak heran kalau ketupat jembut selalu jadi bahan rebutan anak-anak di desa sekitar Semarang.

Bahkan anak-anak yang bangun terlambat pun rela berlari-lari dan berebutan ketupat untuk dikonsumsi di bodo kupat.

Selain panganan khas yang hanya ditemukan sekali setahun tersebut, tradisi ini juga dilengkapi dengan pembagian uang. Berbeda dari bagi-bagi THR yang biasa dilakukan masyarakat umumnya, disini anak-anak harus memperebutkan lembaran uang yang dilembar oleh sang pemilik rumah.

Terlihat sangat seru memang, mengingat acara ini selalu dipertahankan oleh masyarakat. Sebagai bentuk tradisi secara turun-temurun, para perantau yang pulang kampung pun tak ingin tinggal diam. Mereka ambil bagian sebagai penebar lembaran uang demi melihat keceriaan anak-anak kampung.

Pelestarian tradisi bodo kupat sendiri tak terlepas dari kesadaran masyarakat kota Semarang, khususnya kampung Janten Cilik.

Masyarakat disini menganggap bagi-bagi ketupat adalah bentuk rasa syukur dan kebahagiaan. Mereka bersyukur karena mampu menyelesaikan kewajiban selama sebulan penuh.

Bahagia sebab masih dipertemukan dengan hari kemenangan. Meskipun di lain sisi mereka harus merasa sedih pula ditinggalkan oleh bulan Ramadan. Sukacita di bulan Syawal yang tak bisa terganti oleh apapun, terlebih tradisi yang bisa mengingatkan dengan perjalanan panjang Islam di tanah jawa.

Sebagai sebuah tradisi, tentu saja bodo kupat sudah sedikit mengalami pergeseran. Pada awalnya, bodo kupat hanya membagikan ketupat jembut sebagai sedekah untuk tetangga.

Seiring berjalannya waktu dan mulai makmurnya hidup masyarakat, maka ditambah pula dengan pembagian uang atau THR.

Uang dimaksudkan sebagai bentuk sedekah lain kepada anak-anak yang menerima. Usai acara berakhir, anak-anak akan duduk bergerombol sembari menghitung uang yang mereka dapatkan. Kadangkala satu orang anak bisa mendapat Rp 50.000 – Rp 100.000 dari warga kampung.

Tak terbayang bagaimana sumringahnya wajah bocah-bocah tersebut menerima THR di hari kemenangan.

Apalagi ini adalah momen satu kali setahun yang belum tentu masih dilestarikan oleh penerus mereka. Tetapi besar harapan warga kampung Janten Cilik bahwa tradisi ketupat jembut tetap dipertahankan.

Sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan dan ungkapan kebahagiaan untuk selalu berbagi. Dengan begini, makna berpuasa sebulan penuh akan benar-benar dirasakan oleh semua warga kampung.

Tak terkecuali anak-anak yang sebelumnya hanya memahami berpuasa sekedar kewajiban sebagai umat muslim. Lewat tradisi dari generasi ke generasi tersebut, mereka dapat belajar untuk memegang teguh iman Islamnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *