Limbah Ponsel Bekas Mencapai 30% dari Total Ponsel di Dunia

Limbah Ponsel Bekas Mencapai 30% dari Total Ponsel di Dunia

Telset.id, Jakarta – Lebih dari lima miliar atau sekitar 30% dari perkiraan 16 miliar ponsel yang tersebar di dunia, kemungkinan dibuang atau disimpan pada tahun 2022. Para ahli mengatakan limbah elektronik ponsel bekas mengandung bahan sangat berbahaya.

Melihat semakin banyaknya limbah elektronik ponsel bekas di sepanjang tahun 2022, para ahli menyerukan bahayanya limbah elektronik yang terkandung di ponsel bekas.

Limbah eletronik dari ponsel bekas sudah sangat mengkhawatirkan. Jika dikumpulkan dan ditumpuk ke atas, maka tumpukan ponsel bekas bisa mencapai ketinggian 50.000 kilometer, atau lebih dari 100 kali lebih tinggi dari Stasiun Luar Angkasa.

Para ahli dari konsorsium penelitian WEEE mengatakan, bahwa meskipun mengandung emas, tembaga, perak, paladium, dan komponen daur ulang lain yang berharga, hampir semua perangkat lawas itu akan menjadi sampah elektronik.

Limbah ponsel bekas itu ada yang ditimbun, dibuang, atau dibakar. Menurut para ahli di Forum WEEE, sampah elektronik itu akan mengakibatkan kerusakan kesehatan dan lingkungan secara signifikan.

BACA JUGA:

“Smartphone adalah salah satu produk elektronik yang menjadi perhatian utama kami,” kata Pascal Leroy, Direktur Jenderal Forum WEEE, sebuah asosiasi nirlaba yang mewakili empat puluh enam organisasi CSR produsen.

“Jika tidak mendaur ulang bahan langka yang dikandung, kita harus menambangnya di negara-negara seperti China atau Kongo,” katanya kepada AFP.

Menurut laporan hasil survey limbah elektronik global 2020, bahwa ponsel yang mati atau rusak hanyalah puncak dari 44,48 juta ton limbah elektronik global yang dihasilkan setiap tahun yang tidak didaur ulang.

Kebanyakan dari lima miliar ponsel yang ditarik dari peredaran akan ditimbun daripada dibuang ke tempat sampah, demikian menurut hasil survei di enam negara Eropa dari Juni hingga September 2022.

Hal itu akan terjadi ketika rumah tangga dan bisnis melupakan ponsel di laci, lemari, atau garasi, daripada membawanya untuk diperbaiki atau didaur ulang. Diperkirakan sekitar lima kilo perangkat elektronik per orang saat ini ditimbun di rata-rata keluarga di Eropa.

Menurut temuan baru WEEE, bahwa sekitar 46 persen dari 8.775 rumah tangga yang disurvei akan menimbun (menyimpan) peralatan listrik dan elektronik kecil dengan alasan masih akan dipakai lagi.

Kemudian sekitar 15 persen lainnya menyimpan gadget mereka dengan tujuan untuk menjual atau mau dikasihkan ke orang, sementara 13 persen menyimpan perangkat elektroniknya karena “nilai sentimental”.

“Orang-orang cenderung tidak menyadari bahwa semua barang yang tampak tidak penting tersebut mempunyai banyak nilai, dan kalau dikumpulkan secara global, jumlahnya sangat besar,” kata Pascal Leroy.

Bahaya Limbah Elektronik

Parlemen UE sudah mengesahkan undang-undang baru yang mengharuskan USB Type-C menjadi standar pengisi daya tunggal untuk semua ponsel cerdas, tablet, dan kamera baru mulai akhir 2024.

Langkah ini diharapkan menghasilkan penghematan tahunan setidaknya EUR 200 juta (hampir Rp 3 triliun), dan memotong lebih dari seribu ton limbah elektronik UE setiap tahun.

Menurut Kees Balde, Spesialis Ilmiah Senior di Institut Pelatihan dan Penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNITAR), undang-undang di Eropa telah mendorong tingkat pengumpulan limbah elektronik yang lebih tinggi di wilayah tersebut, dibandingkan dengan bagian lain dunia.

“Di tingkat Eropa, 50-55 persen limbah elektronik dikumpulkan atau didaur ulang. Tapi di negara-negara berpenghasilan rendah, perkiraan kami turun hingga di bawah 5 persen dan terkadang bahkan di bawah 1 persen,” kata Balde.

Pada saat yang sama, ribuan ton limbah elektronik dikirim dari negara-negara kaya — termasuk anggota Uni Eropa — ke negara-negara berkembang setiap tahun, menambah beban daur ulang mereka.

Sementara di negara-negara berkembang sebagai pihak penerima (limbah elektronik), seringkali kurang dapat menangani limbah elektronik dengan aman karena keterbatasan dana.

BACA JUGA:

Akibatnya, zat berbahaya seperti merkuri dan plastik dapat mencemari tanah, mencemari air, dan memasuki rantai makanan, seperti yang terjadi di dekat tempat pembuangan limbah elektronik di Ghana.

Penelitian yang dilakukan di negara Afrika Barat pada tahun 2019 oleh IPEN dan Basel Action Network mengungkapkan tingkat dioksin terklorinasi dalam telur ayam yang diletakkan di dekat tempat pembuangan Agbogbloshie, dekat pusat Accra, 220 kali lebih tinggi dari tingkat yang diizinkan di Eropa.

“Kami telah memindahkan gunung (limbah elektronik) di Eropa. Tantangannya sekarang adalah mentransfer pengetahuan ke bagian dunia yang lain,” kata Pascal Leroy. [SN/HBS]

 

Artikel ini bersumber dari telset.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *