News  

Telat Sedikit Saja, Anak Saya Bisa Lumpuh

Telat Sedikit Saja, Anak Saya Bisa Lumpuh

Ada Yang Sekolah Lagi meski dengan Mata Masih Merah

JawaPos.com – Hampir satu bulan sudah horor di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, itu dia saksikan dan alami.

Tapi, Cholifatur Rosida masih ingat betul bagaimana dia salah menganggap gas air mata yang ditembakkan ke arah tribun sebagai petasan.

Akibatnya, bukannya menutup mata, dara 18 tahun tersebut malah melotot. “Saya kira itu petasan. Sampai mata terasa perih dan ditutup pakai jaket oleh teman saya,” katanya saat ditemui Jawa Pos di rumahnya di kawasan Polehan, Kota Malang, kemarin (28/10).

Hampir satu bulan setelah tragedi yang mengakibatkan 135 orang meninggal dan ratusan lainnya terluka itu, ditemani perwakilan Aremania, Jawa Pos mendatangi beberapa korban untuk mengetahui proses pengobatan dan perawatan mereka. Ini sekaligus untuk mengingatkan berbagai pihak bahwa masih banyak korban tragedi memilukan tersebut yang membutuhkan perhatian.

Rosi, demikian dia biasa disapa, mengenang dirinya nggelundung dari atas tribun setelah tembakan gas air mata. Berguling-guling ke bawah dan seketika pingsan. ’’Begitu sadar, saya sudah di warung depan gate 10,’’ ungkapnya.

Rosi kemudian dibawa ke Rumah Sakit Panti Nirmala, Kota Malang. Karena kesulitan berdiri, pinggulnya dirontgen. Tidak ada tulang retak atau patah dari hasil rontgen tersebut. Dia kemudian diizinkan pulang oleh tim dokter.

Rosi dibawa pulang dengan ambulans. Tapi, begitu sampai rumah, dia malah mengeluhkan tubuhnya yang jadi kaku dan tidak bisa digerakkan. ’’Cuma bisa buat tidur. Jangankan bangun, buat miring saja nggak bisa,’’ kata perempuan kelahiran 3 Maret 2004 itu. ’’Sampai nangis gero-gero (menjerit-jerit kesakitan),’’ jelas sang ayah, Idris.

Di situ, dilakukan rontgen ulang. Di bagian pinggul, dada, sampai tulang belakang. ’’Awalnya dokter bilang kalau di bagian tulang belakang ada yang retak. Tidak harus operasi,’’ kata Idris.

Tapi, kian hari kondisi Rosi semakin parah. Sampai kemudian dilakukan rontgen lanjutan. ’’Dari situ baru ketahuan kalau tulang belakang anak saya patah. Harus dioperasi,’’ tambah Idris.

Operasi tulang belakang baru dilakukan 13 Oktober lalu. Dua pekan pascainsiden Kanjuruhan. ’’Telat sedikit saja, anak saya bisa lumpuh,’’ sahut sang ibu, Susana.

Beruntung, operasi cangkok tulang belakang itu berjalan lancar. Rosi pulang lima hari berselang. Saat Jawa Pos berkunjung, dia sudah bisa jalan. ’’Tapi masih nyeret, Mas. Selama saya sakit, saya nggak pernah mikir aneh-aneh,’’ jelas alumnus SMK PGRI Pakis itu.

Idris merasa bersyukur anaknya bisa pulih. Bisa berjalan lagi. Cuma, dia tidak habis pikir kenapa di awal penanganan yang dirontgen pinggul sang anak, padahal yang cedera di punggung.

Beruntung, dia punya tetangga yang bekerja di RSSA. ’’Dia yang meyakinkan saya kalau semua biaya gratis, termasuk untuk kontrol. Karena ada beberapa korban di rumah sakit yang malah disuruh bayar,’’ ungkap Idris.

Dari kediaman Rosi, Jawa Pos menuju rumah Raffi Atha Dziaulhamdi. Remaja 14 tahun itu matanya memerah akibat gas air mata. Sang ayah, Sutrisno, kemudian membawa Raffi ke RSSA. ’’Tapi, saya malah disuruh bayar dulu. Padahal, anak saya ini jelas-jelas korban Kanjuruhan,’’ tegasnya.

Karena ngeyel, pihak rumah sakit akhirnya menangani siswa kelas 3 SMP Negeri 2 Malang itu. ’’Tapi, mata anak saya cuma diirigasi, diumbah sama infus. Itu saja, setelah itu saya disuruh menebus dua obat, disuruh ke kasir,’’ ungkap Sutrisno.

Di kasir, dia lagi-lagi disuruh membayar biaya obat. ’’Aku emoh, Mas (Aku tidak mau, Mas). Akhire anak saya ajak pulang ke rumah,’’ beber Sutrisno.

Dia kemudian membawa Raffi ke Rumah Sakit Hermina, Kota Malang. Penanganannya tidak dikenai biaya. Sampai akhirnya dia didatangi perwakilan Polresta Malang Kota. ’’Pihak kepolisian menyarankan anak saya untuk diperiksakan ke Rumah Sakit Bhayangkara Hasta Brata, di Kota Batu. Sekarang alhamdulillah sudah lebih baik,’’ ungkap Sutrisno.

Sejak empat hari lalu, Raffi mulai bersekolah. Dia sama sekali tidak minder meski matanya masih memerah. ’’Yang penting sekarang sudah nggak sakit lagi, Mas. Nggak perih sama gatal. Dulu juga mata terasa sesak, sekarang alhamdulillah normal,’’ beber Raffi.

Bella Niswaidatul Agustin, siswi kelas 1 SMK Negeri 2 Turen, juga matanya memerah akibat tragedi yang sama. Selain itu, tulang kering di kaki kirinya retak.

Dia sempat dirawat di ruang ICU (intensive care unit) RSSA. Setelah tiga hari, kondisinya membaik. ’’Tapi malah tiba-tiba anak saya dipindah ke ruang HCU (high care unit). Memangnya anak saya kenapa? Saya takut dia tambah down,’’ kata sang ibu Elly Farida kepada Jawa Pos.

Bella sempat semalam berada di ruangan itu. Bersama pasien dengan kondisi yang lebih gawat. Sang ibu kemudian protes ke pihak rumah sakit. Bella kemudian langsung dipindahkan ke Ruang Ranukumbolo. ’’Di situ banyak Aremania lain yang dirawat. Setelah dipindah, kondisi anak saya membaik. Lalu diperbolehkan pulang setelah sepekan,’’ terang Elly.

Sebelumnya, seperti dilansir Jawa Pos Radar Malang, Pemkot Malang sudah menanggung biaya perawatan warga Kota Malang yang menjadi korban tragedi Kanjuruhan. ’’Iya, per orang kami cover Rp 2,5 juta untuk biaya perawatan di RS,” kata Wali Kota Malang Sutiaji (21/10).

Sebelumnya, pada keterangan pers 18 Oktober lalu, Direktur RSSA Dr dr Kohar Hari Santoso SpAn KIC KAP menegaskan, seluruh korban tragedi Kanjuruhan yang dirawat tidak dipungut biaya. Begitu pula dengan mereka yang sudah dipulangkan, tetapi masih memerlukan kontrol. Hal itu ditegaskan Kohar setelah mengetahui kabar yang beredar bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyetop biaya perawatan korban. Dia menyebut, selama lebih dari dua pekan setelah kejadian, RSSA telah merawat 78 orang.

’’Perawatan tetap diberikan gratis. Hal itu sudah ketetapan dari pemerintah, Pemprov Jatim, dan pemerintah kota,” ujarnya seperti dilansir Jawa Pos Radar Malang. (gus/c17/ttg)


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *