News  

Pengalaman perjalanan laut dari Kalianget ke Kangean

Pengalaman perjalanan laut dari Kalianget ke Kangean

Surabaya (ANTARA) – Matahari belum betul-betul berada pada posisi siang yang terik. Jarum jam baru menunjukkan pukul 09:00 WIB, tapi cuaca di Pelabuhan Kalianget, Kabupaten Sumenep, sudah terasa gerah.

Tak lama berselang, mendung menyelimuti kawasan pelabuhan yang di zaman dulu menjadi sarana penting bagi transportasi industri garam di Pulau Madura itu. Mendung diikuti oleh gerimis yang mulai turun di pelabuhan. Keadaan itu memaksa penumpang menutup kepala dengan barang yang dibawa, seperti jaket atau tas jinjing.

Di pinggir dermaga sudah bersandar kapal cepat “Express Bahari 9” yang akan membawa penumpang menuju Pulau Kangean.

Nuansa tradisional masih terasa, meskipun kapal itu menyediakan kursi VIP dan eksekutif. Para penumpang terlihat menjinjing barang dibungkus kardus dan sebagian lainnya menggunakan karung sak. Di ruang eksekutif, barang-barang itu ditumpuk di dekat toilet di bagian belakang.

Gerimis sudah sirna. Sisa awan pergi entah kemana dan tidak lagi menutupi matahari yang bertugas menyinari bumi.

Sekitar pukul 9:30, suara mesin kapal mulai terdengar lebih nyaring dan beberapa menit kemudian, kapal bergerak. Pesawat televisi mulai menyajikan hiburan musik dangdut lawas. Percakapan penumpang ikut meramaikan suasana. Ada yang berbahasa Kangean dengan logat Melayu. Agaknya mereka baru pulang dari bekerja di Malaysia.

Percakapan penumpang kapal menjadi menarik karena mereka menggunakan Bahasa Madura yang berbeda dengan Bahasa Madura pada umumnya. Kata “saya” yang dalam Bahasa Madura daratan dikenal dengan “engkok” atau “sengkok”, di kapal ini menjadi “ako”. Demikian juga dengan beberapa suku kata lainnya.

Ya, Bahasa orang Kangean memang unik karena tidak semuanya sama dengan Bahasa Madura. Kecil yang biasa disebut “keni'”, di Kangean menjadi “dumik”. Bere’ (barat) menjadi bera’.

Kapal terus melaju dengan goyangan ke kanan ke kiri yang masih belum begitu terasa. Bertambah ke tengah, goyangan ombak semakin kuat, meski secara kasat mata permukaan air laut di luar kapal tampak datar.

Ombak Bulan Juli memang belum menunjukkan tanda besar dan gelombang tinggi. Juli adalah bulan yang masih bersahabat dengan pelayaran. Biasanya baru memasuki Agustus, angin mulai tidak bersahabat dan gelombang juga biasanya meninggi.

Kapal Express Bahari 9 terus melaju menyusuri laut dengan ombak bulan Juli. Di kejauhan tampak kapal-kapal nelayan sedang beroperasi dan kapal niaga juga sedang menyusuri Laut Jawa di bagian timur itu. Sesekali juga tampak “bagan”, bangunan dari kumpulan bambu yang ujung bawahnya ditancapkan ke dasar laut. Bagan adalah “rumah” di tengah laut, tempat nelayan menangkap ikan.

Jika melihat ke bagian belakang, bekas laju kapal memunculkan buih putih pada air laut yang memperindah pemandangan.

Perjalanan laut dengan waktu empat jam, memang relatif. Bagi yang tidak terbiasa dengan transportasi laut, mungkin saja itu terasa amat lama.

Bagi yang terbiasa, apalagi waktu tempuh Kalianget ke Kangean dengan kapal biasa memakan waktu delapan hingga sembilan jam, perjalanan dengan kapal cepat itu mungkin belum ada apa-apanya.

Kalau sebelumnya, penumpang masih bisa melihat kapal dan bagan atau daratan di kejauhan, kini yang terhampar di depan-belakang dan kanan-kiri kapal hanya air laut berwarna biru pertanda dasarnya sangat dalam. Dalam suasana seperti itulah biasanya rasa bosan mulai datang. Kapal memang tidak pernah tahu dan mau tahu perasaan penumpangnya. Ia hanya terus melaju mengikuti dorongan mesin.

Sekitar 3,5 perjalanan dari Pelabuhan Kalianget, penumpang mulai melihat pulau-pulau, pertanda dermaga tujuan sudah dekat. Di Depan sana, Dermaga Batu Guluk menunggu untuk diistirahati kapal.

Tepat pukul 13.30 kapal merapat di pelabuhan di ujung barat daya Pulau Kangean itu. Masih menunjukkan suasana tradisional, di dermaga yang menjorok ke laut itu tampak puluhan orang sedang menunggu keluarganya, berbaur dengan buruh angkut.

Begitu kapal bersandar dengan sempurna, kelurga di darat itu langsung merangsek ke dalam kapal. Barang bawaan penumpang sebagian dibawa oleh keluarga yang menunggu itu, sebagian lain diserahkan kepada buruh pelabuhan.

Melihat air laut jernih di sekitar pelabuhan Batu Guluk menjadi pemandangan menarik bagi masyarakat kota yang terbiasa dengan warna air laut keruh, bahkan kotor. Karena ramainya penumpang dan penjemput, maka penumpang harus berjalan sekitar 500 meter dari dermaga menuju tempat parkir kendaraan.

Siang itu, mobil penjemput tidak bisa masuk mendekati dermaga. Biasanya para penjemput bisa membawa kendaraan roda empat hingga ke dermaga.

Kami dijemput oleh Muhlis, warga Desa Kalikatak, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean. Keluar dari area pelabuhan, kami menjumpai dua sapi tanpa diikat di dekat kantor pembangkit listrik milik PLN.

“Di sini memang biasa peternak melepaskan sapi-sapinya di alam liar. Nanti kalau dibutuhkan, misalnya disembelih atau dijual, baru dicari oleh pemiliknya,” kata Muhlis.

Bapak dua ini bertanya bagaimana perjalanan selama di laut. Ketika dijawab bahwa ombak lumayan bersahabat, ia tertawa dan menjelaskan bahwa pada Bulan Juli memang belum seberapa.

Menurut dia, karena saat ini sudah memasuki musim kemarau, makan angin berembus dari arah timur. Karena itulah kemungkinan laju kapal yang “melawan” angin menjadi sedikit bergoyang.

Sebaliknya, jika pelayaran dari Kangean ke Kalianget justru akan lebih tenang karena kapal mengikuti arah angin.

Meskipun tidak setiap hari, ombak dan angin besar biasanya terjadi antara Agustus hingga Januari. Muhlis bercerita bahwa keluarganya dari Madura pernah berkunjung ke Kangean pada Bulan Januari, beberapa tahun silam.

Kala itu moda transportasi satu-satunya adalah kapal biasa dengan perjalanan sembilan jam.

Menaiki kapal dengan kondisi angin dan ombak besar, keluarga Muhlis tidak ada satu pun yang tidak mabuk. Bahkan, mereka sampai mengeluarkan muntahan berwarna kuning, pertanda semua isi perut terkuras.

Buih putih air laut yang dilewati kapal cepat Express Bari 9C dari Pelabuhan Kalianget menuju Pelabuhan Batu Guluk, Pulau Kangean, Sumenep. (Masuki M. Astro)

Transportasi laut

Perjalanan laut empat atau sembilan jam itu terobati dengan suasana alam pantai Kangean, termasuk budaya dan kulinernya.

Pengunjung bisa menikmati hamparan pasir putih di banyak pantai dan mandi di beningnya air laut. Bagi penghobi bawa laut bisa snorkling di Pantai Sapo’ong. Untuk kuliner bisa dicoba anggur laut (Caulerpa sp) yang rasanya segar dan mengandung segudang manfaat untuk kesehatan tubuh, termasuk mencegah kanker. Bagi pecinta ikan, Kangean adalah surganya ikan segar.

Camat Kangean Husairi Husen mengatakan bahwa kendala utama berkunjung ke Kangean adalah jalur transportasi yang masih mengandalkan kapal laut, sebagai satu-satunya akses.

Karena itu, ia berharap rencana pembangunan bandara di Pulau Bekisar itu bisa segera terwujud, sehingga akses wisatawan untuk datang menjadi lebih mudah.

Harapan akan terwujudnya bandara itu sebetulnya juga menjadi asa masyarakat Pulau Kangean, terutama yang memiliki aktivitas tinggi di luar pulau.

Kehadiran bandara tidak harus mematikan transportasi laut, agar masyarakat dan para wisatawan memiliki pilihan untuk datang ke Kangean. Warga yang menginginkan harga tiket murah akan memilih kapal laut. Begitu juga dengan wisatawan yang berjiwa petualang.

Kangean menyimpan sejuta pesona dan menggoda untuk kembali dikunjungi.

Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2022

Artikel ini bersumber dari www.antaranews.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *