News  

Mengenal Komunitas Kawan Netra sebagai Pendamping Tunanetra

Mengenal Komunitas Kawan Netra sebagai Pendamping Tunanetra

Dalam kehidupan bermasyarakat, para penyandang tunanetra kerap dipandang sebelah mata. Padahal, mereka memiliki beragam potensi luar biasa. Melalui pendampingan yang tepat dari komunitas Kawan Netra, penyandang tunanetra mampu berdaya guna.

RAMADHONI CAHYA C., Surabaya

RELAWAN komunitas Kawan Netra mendedikasikan diri menjadi pendamping para penyandang tunanetra. Gusti Hamdan, pendiri komunitas tersebut, kemarin (16/10) menceritakan kepada Jawa Pos bahwa penyandang tunanetra acapkali mendapat perlakuan yang kurang adil di masyarakat. Terutama dalam akses pendidikan hingga pekerjaan. Masih banyak yang memandang iba atau mengasihani para penyandang tunanetra.

Padahal, potensi dari indra lain mereka masih berguna. Misalnya, daya ingat dan imajinasi tinggi serta indra peraba yang lebih sensitif. Sebab, mereka telah terbiasa menjalani kehidupan dengan mengandalkan sentuhan, ingatan, dan pendengaran.

Karena itu, pendampingan dari berbagai pihak sangat diperlukan. Dengan begitu, eksistensi mereka bisa dipertimbangkan dalam bermasyarakat.

Setidaknya para penyandang tunanetra bisa menjalani kehidupan dengan baik dan layak. Meski tidak memiliki kemampuan visual, mereka dapat diberdayakan dari aspek lain.

”Contoh mudahnya, di Kawan Netra kami memberikan pelatihan memijat sekaligus membantu menyalurkan mereka (bekerja) ke tempat yang membutuhkan. Misalnya, hotel atau tempat publik lain,” kata pria 37 tahun tersebut.

Bukan hanya itu, komunitas yang resmi dibentuk pada November 2020 tersebut juga mendampingi di bidang lain. Mulai advokasi pendidikan hingga pelatihan baca Alquran huruf braille. Misalnya, pada event nasional di Kaza City Mall beberapa hari lalu.

Program pendampingan dari Kawan Netra tidak bersifat formal layaknya atasan dengan bawahan. Komunitas itu mengedepankan kesetaraan. Para penyandang tunanetra menyampaikan program yang diinginkan dan komunitas membantu mewujudkannya. Relawan pun selalu melibatkan penyandang tunanetra pada setiap kegiatan yang diselenggarakan. Keterbatasan mereka bukanlah sebuah hambatan.

Hingga saat ini, para relawan telah mendampingi sekitar 300 penyandang tunanetra. Mereka tersebar di beberapa daerah di Jawa Timur. Mulai Surabaya Raya, Malang, Pamekasan, hingga kota paling timur Pulau Jawa, Banyuwangi.

Pendampingan bagi penyandang tunanetra diberikan tanpa pembedaan. Laki-laki atau perempuan diperlakukan sama. Anak-anak, remaja, hingga lanjut usia didampingi dengan maksimal. Penyandang tunanetra berusia 10–70 tahun dengan agama apa pun mendapat pendampingan yang setara.

Bagi Gusti, ada sejumlah prinsip yang sangat dipegang kuat saat pendampingan di Kawan Netra. Pendampingan tidak hanya bersifat pembinaan. Penyandang tunanetra adalah subjek kebaikan dan tentu saja memanusiakan manusia. Jadi, aspek humanisme selalu ditonjolkan selama pendampingan.

”Terkadang teman-teman relawan yang baru masih enggak sabaran karena mobilitas tunanetra agak lambat. Saya selalu beri pemahaman (agar lebih sabar, Red),” ungkap mantan dosen Desain Komunikasi Visual UPN ”Veteran” Jatim tersebut.

Ruang lingkup pendampingan yang dilakukan lebih dari 100 relawan cukup beragam. Komunitas tersebut memiliki bermacam ruang lingkup pendampingan yang menarik. Ada lingkup pendidikan, orientasi mobilitas di alam, musik, keterampilan, maupun perfilman. Dengan begitu, penyandang tunanetra bisa benar-benar diakui karena kemampuannya. Bukan karena belas kasihan belaka.


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *