News  

Episode Merdeka Belajar, Merdeka Bahasa

Episode Merdeka Belajar, Merdeka Bahasa

MAS Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kita, Nadiem Makarim, mencanangkan Merdeka Belajar sebagai upaya untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya sumber daya manusia unggul Indonesia yang memiliki profil pelajar Pancasila. Merdeka Belajar harus kita apresiasi sebagai sebuah resonansi belajar di era yang disruptif ini. Segala sesuatu berubah secepat kilat, mengalahkan perubahan itu sendiri.

Merdeka Belajar dikonkretkan dalam rangkaian episode panjang. Tiap episode punya tema-tema yang disesuaikan dengan kebijakan Mas Menteri. Mulai dari episode pertama Empat Pokok Kebijakan Merdeka Belajar hingga saat ini Merdeka Belajar episode 22: Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Apakah episode ini terus bersambung seperti drama Korea atau sinetron Indonesia? Entahlah. Yang jelas, episode tersebut kelak berhenti pada titik tertentu.

Arti penting merdeka belajar bisa dilacak dari masa lampau. Marilah kita kilas balik ke 2.000 tahun lalu. Waktu itu, Socrates (470 SM–399 SM) sudah memunculkan merdeka belajar. Tatkala dianggap bersalah melakukan subversi pada pemerintah, Socrates tidak mau mengakui hal itu sebagai kesalahan. Apa yang dilakukan Socrates adalah kebenaran. Demi kebenaran, dia rela mati minum racun hemlock daripada membuat pernyataan yang melawan kebenaran. Itulah kebenaran sejati dan sekaligus kemerdekaan sejati.

Marilah kita kembali ke era sekarang. Konseptualisasi merdeka belajar dalam konteks filsafat, misal Dennis (2015) dalam Freedom: The Philosophy of Liberation, mengacu pada ’’penguasaan diri sendiri’’: dan konteks psikologi, May (1999) –Freedom and Destiny—mengacu pada ’’keunikan dan kebebasan diri yang siap dengan keserbakemungkinan dan tanggung jawab’’. Dengan demikian, merdeka belajar sebenarnya merupakan konsep pembelajaran yang tertinggi di antara pembelajaran yang ada.

Ada pertanyaan besar mengenai konsepsi Merdeka Belajar di negara kita tercinta. Sudah merdekakah kita dalam belajar? Jika boleh menjawab, belum. Karena itu, Mas Menteri memunculkan Merdeka Belajar. Sebab, selama ini anak didik kita tidak merdeka dalam pembelajaran. Diakui atau tidak, kebanyakan anak didik kita masih merasa bahwa sekolah adalah penjara. Ternyata, hampir semuanya memilih ”bel bunyi pulang’’. Hal ini mengindikasikan bahwa sekolah masih seperti penjara.

Episode Merdeka Belajar, Merdeka Bahasa

Merdeka Belajar semestinya punya episode merdeka bahasa secara menyeluruh. Tonggak awal merdeka bahasa itu digelorakan saat Sumpah Pemuda pada Minggu, 28 Oktober 1928, atau 94 tahun lalu. Di Gedung Indonesische Clubhuis Kramat itu, para pemuda-pemudi menyepakati ”Kami Poetra dan Poetri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”.

Merdeka Belajar dan merdeka bahasa sebenarnya memiliki esensi yang sama, yakni kebebasan dan otonomi. Episode merdeka bahasa secara esensial dan eksistensial sebenarnya bisa berkaitan dengan sejumlah hal berikut.

Pertama, dukungan penguatan bahasa Indonesia dan bahasa lokal di ruang publik dari kalangan pemerintah, institusi, dan lembaga swasta. Bersepakat atau tidak, mari kita bersama-sama untuk menguatkan bahasa Indonesia dan bahasa lokal di tengah gelombang bahasa asing yang masuk ke Indonesia. Bahasa Indonesia dan bahasa lokal harus merdeka.

Mari kita tanamkan secara kuat pada generasi milenial agar mereka mencintai bahasa Indonesia. Harapannya, mereka bangga berbahasa Indonesia. Lihat saja, penamaan anak, perumahan, dan restoran didominasi oleh nama-nama yang lebih berbau asing daripada bahasa Indonesia. Termasuk nama lembaga sekolah yang bernilai rasa bahasa asing terkesan lebih menjual, mentereng, bergengsi, dan prestisius. Nama sekolah dalam negeri yang menggunakan bahasa Indonesia dianggap ketinggalan zaman dan tidak prestisius oleh sebagian orang yang menganggap dirinya orang prestisius.

Jika mentalitas manusia Indonesia menjadi xenophilia (penyuka) bahasa asing, percayalah bahasa Indonesia dan bahasa lokal akan tenggelam dilibas oleh bahasa asing. Jangan sampai seperti ramalan linguistisnya Collins (2022) –Language Death in Indonesia– bahwa bahasa lokal di Indonesia yang jumlahnya sekitar 700-an semakin berkurang, punah, dan mati. Kita tidak paranoid dengan bahasa asing, tetapi kita berusaha membebaskan dan memerdekakan bahasa Indonesia agar tidak terbelenggu oleh bahasa asing.

Kedua, dukungan penguatan bahasa Indonesia dan bahasa lokal dalam konteks riset dari kalangan pemerintah, institusi, dan lembaga swasta. Marilah kita lihat, dana riset yang dikucurkan oleh Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM) skema kompetitif, dari tahun ke tahun, belum pernah mencapai 10 persen untuk riset bahasa. Jika diterima pun, riset yang berkaitan dengan bahasa mendapatkan pendanaan yang tidak terlalu besar. Memang, kontribusi riset bahasa tidak bisa secara langsung ”dipetik’’ hasilnya seperti penelitian mengenai kesehatan yang kontribusinya langsung bisa digunakan oleh masyarakat. Marilah kita merdekakan riset bahasa.

Ketiga, dukungan kesejahteraan bagi pengajar bahasa di wilayah terdepan, terluar, tertinggal (3T). Para pengajar bahasa (Indonesia dan lokal) di wilayah 3T sangat memerlukan dukungan finansial dari pemerintah. Tujuannya, mereka lebih optimal mengajarkan bahasa kepada anak-anak bangsa ketika mendapatkan penghargaan yang optimal dari pemerintah. Para pengajar bahasa harus merdeka!

Keempat, pemahaman bahasa Indonesia di kalangan milenial saat ini masih mengkhawatirkan. Faktanya, tampak dalam pemahaman mengenai kemampuan bahasa Indonesia yang ternyata masih minim. Tidak hanya itu, mereka kurang begitu menyukai bahasa Indonesia karena dianggap sebagai pelajaran yang sulit.

Berdasar hasil riset sederhana terkait dengan pemahaman bahasa Indonesia yang dilakukan penulis, ternyata dari 130 responden generasi milenial, hanya 20 persen yang mampu menjawab dengan tepat. Dari penjelasan responden, mereka masih bingung dengan standardisasi bahasa Indonesia yang cenderung berubah. Pada sisi lain, pengajar bahasa Indonesia kadang memiliki standar tersendiri dalam mengajar. Untuk itu, standardisasi bahasa Indonesia harus merdeka. Tak boleh mengacu pada standar pengajar masing-masing.

Terakhir, Merdeka Belajar tanpa merdeka bahasa tentunya ada yang hambar. Ibarat nasi tanpa sambal. (*)


*) ANAS AHMADI, Dosen S-3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *