News  

77 Tahun TNI dan Kita

77 Tahun TNI dan Kita

Jakarta (ANTARA) – Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah berusia 77 tahun pada 5 Oktober 2022. TNI telah berevolusi dari laskar-laskar perlawanan rakyat kepada penjajah Belanda dan Sekutu, menjadi organisasi modern dengan perlengkapan perang cukup canggih, juga disegani di kawasan Asia Tenggara dan Indo Pasifik. Ada berbagai aspek yang menyebabkan respek itu, mulai dari ukuran organisasi dan peralatan perangnya serta kemampuannya.

Sebagai organisasi dan komponen bangsa yang dinamis, upaya penyempurnaan dan perbaikan harus terus-menerus dilaksanakan sehingga kata “cukup” dimaknai dalam konteks demikian. Tidak ada kata akhir yang paripurna alias final atas kesempurnaan organisasi dan berbagai implikasinya, di antaranya adalah postur ideal yang ingin dituju.

Artinya, hal ini adalah dinamis mengikuti perkembangan zaman dan keadaan global tanpa mengecilkan berbagai dinamika di dalam negeri. Sesuai pada masa kini, belum tentu sesuai pada masa depan, sehingga kajian dan konsistensi pada tujuan sangat diperlukan.

Lazimnya peringatan HUT TNI setiap tahun, selalu ada tema besar yang diusung dan ditonjolkan sekaligus tema besar itu menjadi seragam di mana-mana, di dalam negeri dan juga di perwakilan-perwakilan Indonesia di negara-negara sahabat. Semisal dalam sarasehan dalam rangka HUT ke-77 TNI oleh jajaran atase pertahanan di Kedutaan Besar Indonesia di Moskwa, tema besar “TNI Adalah Kita” juga menjadi panduan utamanya.

“Kita” dalam bahasa Indonesia bermakna kesatuan antara para pihak, yaitu dia, mereka/kalian, dan saya. Dengan demikian, tidak ada lagi jarak dan penyekat di antara siapapun, karena kita semua telah melebur menjadi satu kesatuan, sebagai kata ganti orang. Di sinilah kata “kita” itu menjadi khas, unik, dan kekinian yang dicoba dimajukan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan zaman.

Sosok personel-personel TNI dari berbagai satuan dan matra lengkap dengan senjata-senjatanya dihadirkan kepada masyarakat umum, di antaranya di Jakarta. Halaman depan Istana Merdeka yang biasa menjadi arena upacara puncak Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus, kali ini menjadi arena upacara HUT ke-77 TNI.

Jalan Medan Merdeka Utara di mana Istana Merdeka berada, untuk sementara waktu diubah menjadi arena memamerkan berbagai peralatan perang kepada rakyat secara statis. Sedangkan yang dinamis dilaksanakan setelah upacara selesai, berupa defile pasukan yang dilanjutkan dengan konvoi mesin-mesin perang yang dibeli memakai uang rakyat itu.

Karena ini dilaksanakan di pusat Jakarta, maka semuanya adalah mesin perang yang bisa dijalankan di jalan-jalan raya, di antaranya meriam swagerak 155 mm Caesar keluaran Nexter, Prancis. Proyektilnya bisa dilontarkan hingga 60 kilometer,  jarak antara Jakarta dan Ciawi di Jawa Barat. Juga ada peluru kendali jarak pendek Mistral keluaran MBDA yang kecepatan lesatnya 2,3 Mach.

Semangat kesederhanaan

Semangat kesederhanaan juga menyeruak dalam peringatan HUT ke-77 TNI kali ini. Sederhana sekali, seperti sistem kepangkatan yang sama di semua matra TNI, walau ada kekhasan pada masing-masing matra dan beberapa korps. Jika biasanya jajaran drum band yang dihadirkan adalah gabungan drum band taruna Akademi TNI maka kali ini adalah “para seniornya” yaitu para calon perwira di Sekolah Pembentukan Perwira matra-matra TNI.

Panggung di mana Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa, dan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, bersama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, dan ketiga kepala staf matra TNI berada, juga dibangun secara sederhana. Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Dudung Abdurrahman, Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Yudho Margono, dan Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, juga duduk di podium kehormatan itu.

Masyarakat sejak pagi sudah berdatangan dan antusias mengikuti seluruh upacara itu. Upacara diwarnai pertunjukan aerobatik dari Tim Jupiter TNI AU, manuver-manuver udara F-16 Fighting Falcon TNI AU, dan kirab di udara bendera Merah Putih raksasa oleh gabungan helikopter TNI dan polisi.

77 tahun berjalan bersama bangsa Indonesia, jelas bukan perjalanan waktu yang singkat dan mudah untuk dilalui. Pada masa Perang Kemerdekaan, sebagai garda terdepan pertahanan fisik bangsa, TNI memainkan peran penting terhadap diplomasi dan eksistensi Indonesia kepada dunia internasional agar secara de facto dan de jure Republik Indonesia bisa diakui sebagai negara merdeka. Tidak terlalu lama setelah itu, TNI sudah mampu berbicara aktif di gelanggang internasional dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan perdamaian dunia, dengan cara mengirimkan Kontingen Garuda ke Gurun Sinai, di Timur Tengah.

Memasuki dasawarsa ’60-an, ada “utang yang belum lunas dibayar” demi keutuhan Indonesia, yaitu penyatuan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Di sinilah TNI menyandang predikat sebagai kekuatan militer paling kuat di belahan selatan Bumi, dengan sistem kesenjataan yang berada paling puncak di kawasan. Jepang yang pernah menguasai arena Pasifik, oleh konstitusinya dilarang mengembangkan kekuatan perangnya. China pada masa itu belum menemukan bentuk kekuatannya seperti sekarang, India masih berkutat dengan persoalan domestiknya dengan tetangga serumpun walau secara teknologi juga melompat baik.

Dasawarsa ’70-an sampai ’80-an TNI menjadi kekuatan politik secara lebih nyata di bawah orkestrasi pemerintahan pada masa itu melalui konsep dan praktik Dwi Fungsi. Penggunaan TNI (waktu itu adalah ABRI dengan polisi menjadi Angkatan Kepolisian) sebetulnya bukan baru terjadi pada ’70-an, melainkan sejak akhir ’60-an.

Akhir dasawarsa ’90-an menjadi titik balik keberadaan ABRI dalam kancah politik praktis nasional. Fraksi ABRI di DPR dan MPR tiada lagi, ABRI berubah menyandang nama lamanya, TNI. Slogan dan praktik “kembali ke barak” diterapkan, dan sebagainya. TNI ingin menjadi alat negara yang profesional dan kembali kepada fitrahnya, yaitu tentara pejuang, tentara rakyat.

Bahwa diperlukan biaya sangat tinggi untuk membiayai tentara dengan berbagai peralatan tempur dan perangnya, pelatihan dan pembinaannya, penyiapan logistiknya, pemeliharaan dan peningkatan kemampuannya, adalah suatu keniscayaan. Negara-negara maju dan ekonomi ada di tingkat menengah lazim memiliki pagu pembiayaan sekitar dua persen dari PDB-nya saban tahun.

Indonesia memiliki tantangan tersendiri tentang hal ini, karena semua sektor dan subsektor harus berjalan seirama dan seiring dalam waktu yang serentak, atau minimal cukup serentak. TNI juga sempat mengalami masa-masa sulit dan kelabu tentang hal ini, terkhusus pada pemeliharaan dan perawatan sistem kesenjataan dan mesin-mesin perang mereka akibat ketiadaan dana yang cukup ataupun intervensi negara asal persenjataan itu.

Bukan hal yang aneh pada masa itu jika diterapkan “gilir pengoperasian” pesawat transport TNI AU yang kesulitan suku cadang. Jangan lagi bicara soal modernisasi peralatan perang pada masa itu, karena konstelasi politik dan ekonomi di dalam negeri dan kawasan juga memberi sumbangan yang kurang menguntungkan ke arah itu.

Baru pada pertengahan dasawarsa 2000-an terjadi gelombang modernisasi yang cukup signifikan dan penyusunan pentahapan memajukan TNI sesuai dengan postur yang diinginkan dan diperlukan, yang dinamakan Minimum Essential Force. Pentahapan dibagi ke dalam tiga tahap lima tahunan. Secara umum, hal yang dicakup adalah tentang postur, kekuatan, dan gelar serta kemampuan TNI. Hal ini dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu MEF I (2009-2014) MEF II (2014-2019) dan MEF III (2019-2024).

Walau di kemudian hari banyak berkembang wacana “what’s next” setelah MEF dilewati, namun panduan pokok sudah disusun secara lebih sistematik, termasuk penyempurnaan peran industri pertahanan nasional. Pada sisi lain, target-target pemenuhan MEF juga tidak 100 persen terjadi, masih ada berbagai tantangan yang harus ditemukan pemecahan-pemecahan dan terobosan-terobosan yang saling menunjang. Semangat kemandirian dalam industri pertahanan mengemuka dan ingin diwujudkan, bahkan dalam beberapa proyek sistem kesenjataan yang berbasis pada teknologi-teknologi kunci kelas dunia.

Secara tidak resmi, banyak pegiat media sosial yang “memposisikan” TNI dalam peringkat-peringkat tertentu di jejaring YouTube. Walau sulit ditelusuri keabsahannya, namun menarik untuk diikuti yang kebanyakan didasarkan pada kehadiran sistem kesenjataan yang dimiliki militer suatu negara.

Pada sisi lain, diplomasi militer suatu negara adalah keniscayaan yang penting untuk dilaksanakan dalam upaya menegakkan perdamaian dunia dan kawasan. Tujuan lainnya adalah meningkatkan salin pemahaman tentang berbagai hal, di antaranya prosedur operasi dan protokol-protokolnya. Untuk itulah maka sejumlah latihan bersama secara internasional belakangan ini semakin kerap digelar oleh TNI, apakah di tingkat matra dan di bawahnya, atau bahkan di tingkat Markas Besar TNI. Apakah TNI menjadi tuan rumah atau TNI menjadi partisipan di luar negeri bersama mitra-mitra internasionalnya. Tentang hal ini, apresiasi dan ucapan proficiat agaknya wajar untuk dilayangkan kepada TNI, bersama dengan beberapa hal lain yang telah dicapai.

Berbicara soal tentara, maka selain penguasaan teknologi pertahanan yang semakin berkembang maka kualitas SDM-nya juga dapat menjadi penentu utama selain sistem seleksi, sistem pembentukan dan pembinaan, pemeliharaan kemampuan personel, hingga lingkungan sosial dan teknologi informatika yang melingkupinya. Hal ini juga menarik dicermati terkhusus pada masa kini dan ke depan di mana perkembangan informasi bisa memberi dampak baik dan buruk kepada seseorang dan kelompok, termasuk juga tentara dan satuannya.

Hanya dua hari menjelang HUT ke-77 TNI, terjadi tragedi Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, di mana tidak kurang 125 orang kehilangan jiwanya. setidaknya demikian berdasarkan keterangan resmi polisi. TNI sebagai salah satu komponen pengamanan negara, dimungkinkan oleh UU Nomor 34/2004 tentang TNI untuk membantu mengamankan berbagai hal terkait umum sepanjang hal itu diperlukan.

Menyusul malapetaka memilukan itu, beredar video amatir tentang oknum-oknum anggota TNI dalam menjalankan tugasnya secara tidak sesuai prosedur pada gelaran sepakbola antara Persebaya melawan Arema tersebut. Publik memberi reaksi yang secara cepat dan terbuka disikapi Markas Besar TNI dengan cara menyelidiki hal itu dan memberi sanksi keras kepada oknum-oknum yang terlibat.

Demikian pula, pada momentum yang sama beredar juga video-video tentang usaha personel TNI dalam menolong korban-korban tragedi olahraga nasional itu.

Tidak ada kalimat-kalimat bersayap melainkan kata-kata yang eksplisit bahwa setiap pelanggaran ada ganjaran sanksi dan hukumannya, sebagaimana ada penghargaan jika ada prestasi dan capaian positif. Salah satu upaya yang ditempuh pimpinan TNI adalah kedatangan Panglima Kodam V/Brawijaya kepada keluarga-keluarga korban tragedi Stadion Kanjuruhan. Musibah semacam itu bisa menimpa siapapun, apakah keluarga seorang sipil ataupun militer, dan hingga saat ini semua proses penyelidikan dan penyidikan masih berjalan.

Jauh sebelum tragedi Stadion Kanjuruhan ini terjadi, adalah Jenderal TNI Andika Perkasa sendiri yang memimpin rapat-rapat penindakan pelanggaran disiplin dan hukum yang dilakukan jajarannya. Begitu ada laporan, satuan-satuan terkait langsung dia perintahkan bergerak sesuai aturan dan hukum berlaku; dan harus ada laporan perkembangan yang dipaparkan secara terbuka, suasana sidang juga diutarakan secara terbuka melalui saluran media sosial yang mudah diakses publik.

Seorang pelatih militer asing pernah berujar bahwa mencetak seorang sipil menjadi militer itu adalah satu persoalan. Mengawasi dan membina mereka serta meningkatkan profesionalisme mereka adalah persoalan lain yang sering kali lebih pelik karena begitu banyak parameter yang turut serta dalam proses serta produk akhirnya.

TNI Adalah Kita. Slogan sekaligus tema sederhana peringatan HUT ke-77 TNI kali ini oleh pimpinan TNI dan jajaran-jajarannya, merupakan salah satu momentum untuk lebih mengokohkan kebersamaan TNI dengan rakyat. Kebersamaan itu ada dalam pasang-surut dinamika interaksi dan diperlukan sikap saling mengenal dan kesetaraan agar relasi ini dapat berjalan baik dan seiring.

Mendiang mantan Kepala Penerangan TNI, Marsekal Muda TNI Graito Usodo (saat itu), memiliki bekal untuk agar relasi ini dapat berjalan baik, yaitu saling berinteraksi, saling percaya, dan kemudian saling dapat bekerja sama demi tujuan bersama. Untuk konteks masa sekarang dan ke depan, perjalanan TNI di dalam negeri dan kawasan semakin kompleks dan saling terkait. Laut China Selatan yang berbatasan langsung dengan perairan nasional, untuk sementara ini “cukup tenang”, berbanding terbalik dengan konflik antara Rusia dan Ukraina yang melibatkan kekuatan-kekuatan utama dunia.

Ibarat pepatah, “air yang tenang menghanyutkan.” Walau “cukup tenang” namun jangan sampai terlena bahwa hal ini terus berlangsung dan tetap bersiaga sesuai dengan tugas pokok TNI, yaitu menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional sehingga pekerjaan rumah yang sangat penting ini –di antara begitu banyak spektrum yang bisa terjadi– dapat dilaksanakan secara baik dan tidak terdistorsi hal-hal lain yang negatif, yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

Agar dapat mengatasi dan mengentaskan dinamika serta tantangan itu, maka TNI dan rakyat secara umum harus dapat lebih saling memahami dan mendukung, sehingga ulah dan polah segelintir oknumnya jangan sampai mencederai rasa keadilan serta kepatutan publik yang ada, yang harus dihindarkan sehingga tujuan pokok keberhasilan pelaksanaan tugas pokok dapat terwujud secara baik.

TNI oleh beberapa lembaga survei dinyatakan menjadi organisasi negara yang dipercaya rakyat, dan hal itu bukan terjadi dalam semalam melainkan berkat usaha yang terus-menerus dan berkelanjutan.

Pada masa Perang Kemerdekaan, Panglima Besar Soedirman pernah berujar, “Bahwa satu-satunya hak milik nasional/republik yang masih utuh tidak berubah-ubah, meskipun harus mengalami segala macam soal dan perubahan, hanyalah Angkatan Perang Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia).

Pada sisi yang bersebelahan, sebagai tentara rakyat dari mana TNI berasal dan kembali, hal ini bersesuaian dengan ucapan lain Panglima Besar Soedirman, “Tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri di atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.”

Dirgahayu TNI.

COPYRIGHT © ANTARA 2022

Artikel ini bersumber dari www.antaranews.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *