Studio Denny JA buat film dari puisi esai

Studio Denny JA buat film dari puisi esai

tribunwarta.com – Studio Denny JA menandatangani kerja sama dengan PFN (Produksi Film Negara) untuk membuat film layar lebar yang bersumber dari puisi esai berjudul “Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu”.

Denny mengatakan, saat ini banyak film layar lebar yang diangkat dari novel atau cerpen namun masih jarang yang diadopsi dari puisi. Menurut dia, untuk bisa diubah menjadi film, puisi harus memiliki unsur drama, sehingga yang cocok dijadikan film adalah puisi berjenis esai.

“Setelah film ini, berbagai puisi esai unggulan lainnya akan menyusul diangkat menjadi film layar lebar,” ujar Denny JA melalui keterangan resmi di Jakarta, Selasa.

Film “Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu” merupakan pengembangan puisi esai karya Denny JA berjudul “Kutunggu di Setiap Kamis”.

Dalam kerja sama produksi film tersebut, Direktur Utama Produksi Film Negara Dwi Heriyanto dan tim inti Studio Denny JA sepakat untuk menyusun rencana makro.

Denny JA yang menggagas genre puisi esai itu menjelaskan bahwa PFN akan menjadi fasilitator, dengan harapan dapat menjadi penggerak lahirnya berbagai film inspiratif karya anak bangsa.

“Jika kita memiliki gagasan yang mencerahkan dan ingin gagasan itu menyentuh publik luas, maka sampaikanlah gagasan itu lewat musik dan film,” ujar Denny JA.

Denny mengungkapkan bahwa cerita asli puisi esai yang diangkat ke layar lebar itu mengenai perempuan muda yang menunggu pulangnya suami yang hilang pada peristiwa 1998.

“Sambil bergurau, suaminya berjanji akan pulang di hari Kamis, entah hari Kamis pada minggu ini, atau Kamis sepuluh tahun lagi”, sambungnya.

Karena itu, perempuan muda tersebut menunggu suaminya di stasiun kereta, berminggu-minggu, lalu berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun.

“Namun suaminya tak kunjung pulang. Perempuan ini akhirnya pindah ke Jakarta. Ia bergabung dengan Aksi Kamisan dengan payung hitam, sesama warga yang kehilangan keluarganya masing-masing,” lanjutnya.

Denny menjelaskan, skenario film akan dikembangkan topiknya, seperti Aksi Kamisan dengan payung hitam tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi juga di daerah lain yang terinspirasi oleh Aksi Kamisan di Jakarta.

“Keluarga yang hilang juga bukan karena peristiwa politik, melainkan juga karena konflik sumber daya pertanahan, air dan lingkungan hidup. Sebuah perusahaan multinasional merebut tanah dan sumber daya alam rakyat banyak secara paksa. Mereka yang melawan banyak yang kemudian hilang, tak kunjung kembali,” papar Denny JA.

Ia menambahkan, skenario ini adalah gabungan antara isu lingkungan hidup, perjuangan perempuan dan kisah cinta.

Menurutnya, kisah puisi esai potensial untuk diangkat ke layar lebar karena bisa mengembangkan drama fiksi dengan karakter tokoh dan plot yang dituliskan secara puitis.

“‘Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu’ akan menjadi film layar lebar pertama yang diangkat berdasarkan puisi esai,” tegas Denny JA.

“Kisah dalam puisi esai pun selalu berdasarkan peristiwa sebenarnya yang difiksikan. Dengan sendirinya publik luas menyimpan memori kolektif tentang isu yang diangkat dalam puisi esai,” jelasnya.

Denny JA menjelaskan, pada tahun 2012, sutradara Hanung Bramantyo pernah membuat lima film berdasarkan lima puisi esainya. Namun saat itu, film berdurasi 45 menit itu hanya dibuat untuk tujuan sosialisasi Gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi dan bukan ditujukan untuk layar lebar di bioskop.

“Para Dosen seringkali memutarkan film-film itu untuk kelas humanity studies dan para aktivis memutarkan film itu sebagai awal diskusi isu diskriminasi di Indonesia,” kata Denny JA.

Sementara film “Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu” sengaja dibuat untuk film layar lebar yang akan diputar di bioskop komersial.

“Ini akan membuka pintu bagi puisi esai lainnya untuk juga diangkat ke layar lebar,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *