Obituari Ferry Mursyidan Baldan: Pria yang Berada di Mana-mana

Obituari Ferry Mursyidan Baldan: Pria yang Berada di Mana-mana

tribunwarta.com – duka itu datang menggelegar, saya terima pada siang hari, tanggal 2 Desember 2022. Ferry Mursyidan Baldan telah menghadap pada Sang Pencipta.

Saya pun teringat, sehari sebelumnya, sekita pukul 11 siang hari, di tangga Ballroom Hotel Bidakara, saya bersama beberapa pengurus Palang Merah Indonesia, sedang berfose.

Tak lama kemudian, saya bergegas menuju mobil untuk menemani Jusuf Kalla ke Makassar. Tak dinyana, Ferry menarik lengan saya dari belakang.

“Tunggu dulu bro, jangan buru-buru pergi. Kita bersamalan dulu. Jangan-jangan kita tidak sempat lagi bersalaman di kesempatan lain,” kata Ferry sembari menggoyang-goyang lengan saya.

Entah ini suara alam ataukah firasat panggilan Sang Pencipta yang direfleksikannya melalui ucapan.

Ferry seolah ingin menegaskan bahwa ia hendak pergi untuk selamanya. Ia ingin berpamitan.

Saya tak menyangka, ucapan itu adalah kata-kata terahir yang dilafalkan ke saya di bumi ini. Selamat jalan kawanku. Saya pun teringat lirik lagu Samsons:

Terlarut aku dalam kesendirian
Saat aku menyadari
Tiada lagi dirimu kini

Tak akan terganti
Setiap kenangan yang telah terukir
Kan terendap indah dan melekat di hati.

Setiap orang yang mengenalnya, pasti selalu merasa dekat dengan dirinya. Kehangatan dan kepiawaiannya dalam bergaul, selalu mengukir kenangan indah yang abadi bagi orang tersebut. Begitulah Ferry.

Lalu, kita pun bersedih atas kepergiannya karena kita yakin bahwa kehangatan itu pelik kita temukan pada diri orang lain.

Total sebagai aktivis

Hidup Ferry, sejak masih belia hingga ajal menjemputnya, adalah kehidupan aktivis. Ia tidak ingin hidupnya bebas dari lingkaran dan kerumunan orang.

Ia sangat alergi dengan ketenangan dan kesenyapan pribadi. Ia telah mewakafkan dirinya untuk komitmen kehidupan sosial kemasyarakatan.

Tepian waktu dan usianya, telah ia ketepikan. Ia seolah mencabut hak-hak keluarga atas dirinya demi komitmennya itu. Maka, ia pun seakan tak mengabaikan lagi soal daya tahan tubuh dan kesehatannya demi itu semua.

Sebagai aktivis, Ferry berjelajah tanpa tepian. Nihil sekat. Defisit dalam membedakan orang lantaran etnis, ras, jender, latar belakang sosial-ekonomi serta afiliasi politik. Begitu juga soal keyakinan.

Bagi Ferry, komitmen untuk memperbaiki kualitas dan pemberdayaan kehidupan masyarakat, telah melampaui sekat-sekat tersebut.

Karena itu, kita bisa menemukan Ferry selalu hadir di berbagai lembaga, baik formal maupun informal.

Wilayah jelajahnya yang begitu luas, memungkinkan Ferry seakan bisa bersandar di dermaga apa pun yang dimiliki oleh siapa pun. Ia adalah sahabat siapa saja.

Badannya enteng meliuk ke kiri dan kanan, hanya untuk menyapa. Pikirannya ringan dan tanpa beban, hanya untuk membuat orang lain bergembira.

Ia menampik untuk terpaku pada sebuah sudut henti dalam berinteraksi. Ia selalu bagai burung, mengepakkan sayapnya, berkelana secara bebas di udara.

Dari sinilah mengapa Ferry memiliki banyak teman. Di mana pun dalam wilayah nusantara kita, termasuk di pelosok-pelosok, Ferry pasti selalu memiliki sahabat, minimal orang yang pernah bersentuhan dengan dirinya.

Dengan kepribadian serta kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi seperti ini, Ferry sangat sukses menggolkan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh menjadi Undang-Undang No 11 Tahun 2006.

Undang-Undang ini lahir sebagai konsekwensi Memoradum of Understanding perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Ferry ketika itu, adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar. Ia adalah Ketua Pansus.

Saya sanksi, andaikan bukan kepiawaian Ferry dalam melakukan lobi dan berkomunikasi di DPR RI, undang-undang tersebut belum tentu bisa lahir.

Maklum, seusai penandatangan perjanjian damai Helsinki tersebut, masih ada parpol di DPR RI yang menantang perjanjian tersebut.

Suasana batin bangsa bangsa kita kala itu, belum menyatu untuk menerima kenyataan bahwa Aceh telah damai.

Di saat-saat itulah persahabatan saya dengan Ferry kian mengental. Tiada masalah yang dihadapai di DPR, tanpa mendiskusikannya dengan saya.

Kalaulah kita ingin memotret dan menempatkan jasa serta nilai kepahlawanan Ferry buat keutuhan bangsa ini, kita harus memberinya penghargaan atas jasanya dalam menggolkan undang-undang tersebut. Aceh kini sungguh-sungguh sudah menjadi Darussalam atau pondok kedamaian.

Ferry memang telah berhenti dalam jabatan politik. Namun, adrenalinnya untuk kegiatan sosial, sama sekali tidak pernah menjukkan gelagat surut. Ferry tetap berada di gelanggang sosial hingga ajal menjemputnya.

Ia menjadi pengurus yang sangat aktif di Palang Merah Indonesia. Ia kembali berkelana dalam wilayah nusantara. Sebuah kegiatan yang selalu membuatnya keasyikan mengarungi hidup ini.

Dari semua itu, saya ingin mengantar sahabat saya itu, almarhum Ferry Mursyidan Baldan, berangkat ke keabadiannya dengan lirik lagu Samsons lagi:

Semua rasa ini
Kenangan yang tlah terukir
Tak akan berahir di hati

Tak akan berganti
Semua rasa ini tak akan berahir.

Selamat jalan sahabatku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *