Di Balik Janji Rp300 Triliun Biden, Hati-Hati RI Kudu Ngutang

Di Balik Janji Rp300 Triliun Biden, Hati-Hati RI Kudu Ngutang

tribunwarta.com – Presiden Amerika Serikat Joe Biden berjanji akan memberikan pendanaan hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 311 triliun (asumsi kurs Rp 15.564 per US$) kepada Indonesia.

Hal ini diungkapkannya saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, 15 November 2022 lalu.

Namun janji ini tentunya bukan tanpa syarat. Janji pendanaan US$ 20 miliar ini diberikan dengan syarat Indonesia harus meninggalkan batu bara sebagai sumber energi, terutama untuk pembangkit listrik. Indonesia pun harus mempercepat pengakhiran masa operasional alias pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Pasalnya, Indonesia masih banyak menggunakan batu bara yang dianggap sebagai energi kotor bagi negara-negara maju tersebut.

Pendanaan ini akan disalurkan melalui inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang. Kedua negara maju ini akan memimpin negosiasi dengan International Partners Group terkait pendanaan transisi energi di Indonesia, terutama untuk meninggalkan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik.

Meski belum ada kejelasan mengenai sumber pendanaan ini, namun janji pendanaan ini dikhawatirkan justru mendatangkan masalah baru bagi Indonesia. Pasalnya, komitmen pendanaan ini dikhawatirkan menambah utang baru bagi Indonesia, terutama karena melibatkan multilateral development bank.

Hal ini pun diwanti-wanti oleh sejumlah anggota DPR RI.

Anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Andi Yuliani Paris menilai, hal ini perlu kehati-hatian dari Pemerintah Indonesia. Menurutnya, pendanaan ini bisa menjadi jebakan dan menjadi utang yang harus dibayarkan masyarakat Indonesia.

“Ketika saya membaca hasil KTT G20 di Bali ternyata banyak hal yang saya khawatir menjadi jebakan bagi Pemerintah Indonesia,” ungkapnya pada Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, beberapa kerja sama yang dilakukan Indonesia dengan luar negeri bisa menjadi menambah beban utang Indonesia. Andi kembali menekankan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif agar lebih berhati-hati terhadap pendanaan yang diterima.

“MoU clean energy related project untuk green financing, tapi green financing tetap saja utang Pak Menteri, be careful,” tegasnya.

“Kira-kira kerja sama seperti apa? Apakah ada utang lagi di situ?” tanyanya.

Sejalan dengan itu, Anggota DPR Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) Maman Abdurrahman menyebutkan pendanaan Rp 300 triliun yang diwacanakan untuk pemensiunan batu bara harus disikapi hati-hati. Pasalnya, pemerintah tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan.

“Wacana bantuan dari Amerika berupa dana kurang lebih Rp 300 triliun, isunya yang saya tangkap di media stop batu bara kita dikasih Rp 300 triliun. Saya pikir enak sekali hidup ini main stop-stop batu bara. Saya yakin pemerintah tidak akan gegabah langsung ambil langkah,” ungkapnya.

Menurutnya, batu bara menyumbang sebagian besar pendapatan negara Indonesia. Oleh karena itu, penyetopan PLTU batu bara ini harus dipikirkan matang-matang.

“Mohon pemerintah melihat ini secara bijak, karena suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, batu bara menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di negara kita. Saya pikir ada kepentingan itu juga yang kita jaga,” pungkasnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengatakan bahwa komitmen pendanaan dari negara-negara maju untuk RI ini masih akan dibahas lagi untuk dirinci dengan sejumlah pihak, karena ini merupakan kombinasi dari multilateral development bank, bilateral, dan juga filantropi, maupun hibah (grant).

“Kita akan lihat dari sisi detailnya karena itu berbagai kombinasi dari multilateral development bank, bilateral, dan juga dari sisi filantropi, grant (hibah), itu yang akan kami lihat. Nanti kita akan lihat,” jelas Sri Mulyani.

Adapun kata Sri mulyani pendanaan yang mencapai Rp 311 triliun tersebut berasal dari pihak internasional dan tidak ada dari institusi Indonesia.

Sri Mulyani menyebut, program ini nantinya akan ditujukan untuk percepatan pemensiunan PLTU batu bara. Namun nanti akan dilihat apakah ada aset PLTU PLN yang sudah siap untuk dipensiunkan atau PLTU dari pengembang listrik swasta (independent power producer/ IPP).

“Jadi akan dilihat berdasarkan yang kemarin disampaikan, dari PLN ada yang sudah siap berasal dari aset PLN sendiri, berasal dari IPP sudah diumumkan dari INA keterlibatannya, jadi per projek akan dilihat,” jelasnya.

Adapun alasan Biden Cs memberikan janji pendanaan yang begitu besar untuk Indonesia adalah untuk meninggalkan batu bara yang dianggap kotor dan agar transisi energi menjadi lebih hijau dapat terwujud serta mengurangi emisi karbon atau efek gas rumah kaca.

Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimudin menjelaskan pembangkit listrik memang berkontribusi paling besar menghasilkan emisi karbon di Indonesia.

Untuk diketahui, dari emisi CO2 yang dihasilkan Indonesia, 42% berasal dari pembangkit listrik, 23% dari sektor transportasi, kemudian 23% dari sektor industri, dan 12% sisanya berasal dari rumah tangga.

Sebab, menurutnya, saat ini sebagian energi pembangkit listrik di Tanah Air masih banyak yang berasal dari fosil, terutama batu bara.

“Jadi batu bara itu 60-an% atau 2/3. Terus ada gas, diesel, dan segala macamnya, sehingga kira-kira kita punya emisi per kilo watt hour itu, 1 kWh, sekitar 0,7-0,75 kilo. Jadi 1 kWh itu (menghasilkan) 750 gram emisinya. Itu termasuk tinggi kalau dirata-ratakan,” jelas Rachmat dalam sebuah diskusi, Selasa (29/11/2022).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *