Air Mata Ibunda Yoshua

Air Mata Ibunda Yoshua

tribunwarta.com – terisak-isak sembari mengucap kata “mohon maaf, pak hakim, mungkin saya sangat panjang (berkata-kata), tapi di sinilah saya dapat meluapkan bagaimana hancurnya hatiku”.

Kalimat ini adalah ungkapan Rosti Simanjuntak , ibunda almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di muka persidangan.

Brigadir Yosua merupakan korban pembunuhan yang diduga melibatkan Ferdy Sambo , salah satu mantan pejabat tinggi di Institusi Kepolisian.

Sebelumnya penulis menggunakan kalimat diduga, demi menghargai proses hukum yang sedang berlangsung. Bentuk penghormatan terhadap “azas praduga tidak bersalah (Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali)”.

Terlepas dari hal tersebut, perlu kiranya kita melihat persoalan ini pada sudut pandang keluarga korban.

Mengapa demikian? Karena beberapa terdakwa termasuk Ferdy Sambo telah mengakui kesalahannya.

Maknanya dalam batas penalaran yang wajar konstruksi kejahatan, sistematis dan masif atas pembunuhan Brigadir Yoshua benar terjadi.

Fakta menunjukan bahwa kasus ini tengah dalam proses persidangan yang menghadirkan sang ibunda almarhum Brigadir Yoshua.

Menariknya, hakim yang mengadili kasus tersebut memberikan porsi besar bagi orangtua almarhum, untuk menyampaikan pesan-pesan dalam persidangan.

Menurut penulis, ini bukan merupakan persoalan yang hanya dapat dipandang sebagai kegiatan mencari kepastian hukum saja. Lebih dari itu, ada nilai keadilan yang harus mampu dihayati bagi jaksa dan hakim sebagai institusi penegak hukum yang mewakili Negara.

Sebab hanya dengan menegakan keadilan, maka hukum akan memiliki kewibawaan dan martabat di hadapan publik.

Hukum akan muncul sebagai panglima, bukan sebagai alat keberpihakan terhadap mereka yang mampu memutarbalikan fakta.

Keadilan tidak boleh absen, sebab keberadaannya akan memastikan hukum benar-benar dihormati dan dipatuhi.

Seorang pendeta terkemuka eropa, Agustin Of Hippo pernah mengatakan “An unjust law is no law at all” dengan inti sari makna bahwa hukum yang tidak adil tidaklah dapat disebut hukum.

Konteks kasus penembakan ini, maka hakim tidak boleh hanya sekadar menjatuhi hukuman, tanpa mewujudkan keadilan yang harus terobati bagi keluarga korban.

Pengharapan terhadap Negara

Selama ini kejaksaan dan lembaga kekuasaan kehakiman seperti pengadilan, kerap kali mendapat kritikan luar biasa. Baik dari aspek pelayanan terhadap warga negara yang mencari keadilan, maupun pada aspek tuntutan dan putusan yang tidak jarang (seringkali) mendahului rasa keadilan.

Alasan menegakan kepastian hukum, tetapi di saat bersamaan lupa menegakan keadilan. Penegakan keadilan dikesampingkan dengan alasan tidak sesuai dengan standar norma hukum yang ditetapkan dalam undang-undang.

Namun di kasus penembakan Yoshua ini, setidaknya hakim dan jaksa seakan memberi harapan, ada jalan bagi keluarga korban untuk mendapatkan keadilan.

Misalnya saat Yang Mulia Majelis Hakim memberikan kesempatan untuk seluruh kesaksian dari keluarga korban, disampaikan dalam persidangan resmi tersebut.

Artinya peradilan independen dan imparsial sejauh ini telah ditunjukan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara.

Bahkan secara dramatis Ibunda Brigadir Yoshua, beberapa kali terharu dan emosional. Sesekali histeris dalam tangisan meluapkan seluruh keluh kesahnya.

Penulis menegaskan air mata ibunda tercinta dan kalimat pengharapan untuk Yang Mulia Hakim adalah bukti nyata, bahwa pengadilan masih dipercaya bagi mereka yang mencari keadilan.

Kepercayaan tersebut adalah impian oleh seluruh masyarakat tanah air di seluruh republik Indonesia. Agar perkara yang melibatkan seorang jenderal dijatuhi sanksi hukum seadil-adilnya.

Karena nantinya akan terlihat bagaimana keadilan tidak pandang bulu, mampu menunjukan eksistensinya.

Keadilan dalam perkara ini tanpa berlebihan penulis berani mengatakan akan “menunjukan wibawa negara dalam menghadirkan keadilan di ruang publik”.

Seluruh mata dari Sabang sampai Merauke tertuju pada media sosial dan stasiun televisi nasional yang menayangkan sidang pembunuhan kasus Brigadir Yoshua.

Inilah bentuk perhatian publik atas harapan dan impian kiranya perkara pembunuhan yang terjadi diselesaikan dengan prinsip keadilan.

Keadilan merupakan hal yang sangat penting bagi masa depan hukum, sebab di dalamnya ada harapan dan kepercayaan yang akan dipertaruhkan.

Sudah cukup hukum kerap kali dipertontonkan berpihak pada kekuasaan. Tidak usah lagi ada pernyataan publik, bahwa hukum masih dapat dimainkan dan diatur oleh mereka yang memiliki akses.

Sehingga dalam kasus pembunuhan Brigadir Yoshua sudah sepatutnya hakim menggali nilai keadilan yang harus ditegakan.

Apabila di akhir persidangan fakta mengarah pada pembunuhan berencana, sudah sepatutnya dan selayaknya hukuman mati dijatuhkan.

Unsur-unsur yang meringankan tentu akan menjadi pertimbangan, tetapi hayatilah setiap keadilan yang terkandung dalam kasus pembunuhan Brigadir Yoshua.

Putusan adil akan memberikan edukasi kepada publik dan seluruh pihak yang memiliki kekuasaan bahwa pangkat dan jabatan saat masuk di persidangan, sama kedudukannya seperti rakyat biasa.

Ini adalah pesan penting atau ultimatum bagi mereka yang membanggakan jabatan, untuk tidak bermain-main dengan hukum. Sebab Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan.

Menunjukan di mata dunia, penegakan hukum adalah panglima utama di republik yang kita cintai.

Terakhir dari penulis, air mata Ibunda Brigdari Yoshua adalah nurani publik bagi penegakan hukum yang menjunjung tinggi keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *