Tren Rempah Labu Parang, Industri Senilai $500 Juta di AS

Tren Rempah Labu Parang, Industri Senilai 0 Juta di AS

Sejak akhir Agustus, pumpkin alias labu parang atau labu kuning, melimpah di Amerika. Bukan hanya dalam bentuk utuh, tetapi juga berupa rempah atau perasa.

Pumpkin spice latte begitu populer sehingga minuman itu ditawarkan setiap menjelang musim gugur di Amerika. Selain itu, berbagai produk baru terkait pumpkin diperkenalkan setiap tahun. Misalnya, kantong sampah beraroma labu, yang ludas terjual.

Labu berwarna cerah itu memang memiliki tempat khusus di hati, pikiran dan dompet orang Amerika. Data Nielsen menunjukkan, orang Amerika membelanjakan sekitar setengah miliar dolar untuk produk rempah dari labu setiap tahun.

Starbucks dilaporkan menjual 20 juta pumpkin spice latte setiap tahun. Menurut raksasa kopi itu, minuman tersebut begitu disukai sehingga perusahaan mencatat pekan penjualan terbaik sepanjang masa ketika minuman itu ditawarkan kembali pada 30 Agustus.

Seorang anak laki-laki memakai masker saat dia melihat-lihat labu di Didier Farms di Lincolnshire, Illinois, Kamis, 15 Oktober 2020. (Foto: AP)

Seorang anak laki-laki memakai masker saat dia melihat-lihat labu di Didier Farms di Lincolnshire, Illinois, Kamis, 15 Oktober 2020. (Foto: AP)

“Itu bagian dari tradisi. Dan masuk dalam film. Labu parang sebagai rempah juga menciptakan budaya yang baik sehingga ada donat labu parang, minuman, semuanya. Beragam sabun, sabun batangan, semuanya, saya menghargainya,” ujar Nick Kokot, 20, mahasiswa yang mengaku suka labu parang.

Namun apa yang mendorong orang mendadak tergila-gila pada labu parang setiap Musim Gugur?

“Tidak ada alasan yang praktis untuk membubuhkan pumpkin ke dalam kopi, memajangnya di beranda, atau untuk mengolahnya menjadi selai manis dan menyisipkannya ke dalam pai kita,” tukasnya.

“Tetapi tradisi modern itu sebenarnya berasal dari tradisi yang jauh lebih tua yang mengaitkan labu parang dengan pertanian kecil milik keluarga. Jenis pertanian kecil keluarga yang indah dalam kehidupan Amerika,” tambah Cindy Ott, pakar sejarah yang juga merupakan seorang dosen dan penulis ‘Pumpkin: The Curious History of an American Icon.

Dengan menggunakan sejumlah besar sumber, termasuk lagu-lagu berusia 100 tahun, lukisan, buku masak, dan banyak sumber lain, Ott dapat melacak kecintaan Amerika terhadap labu kuning sampai ke masa-masa awal negara itu.

“Orang Amerika sendiri akan bertanya kepada ribuan sesamanya, ‘mengapa Anda suka pumpkin’? Mereka tidak bisa menjawab mengapa mereka menyukainya. Itu sebabnya saya melakukan penelitian ini. Untuk melihat sejarah dan mencari tahu tentang ide-ide ini, di mana mereka dirumuskan,” kata Ott.

Dalam bukunya, Ott secara detail menulis tentang bangkitnya reputasi labu kuning yang buruk semasa kolonial Amerika sampai akhirnya sayur atau buah itu menjadi kebanggaan dan orang tidak malu menanamnya pada abad ke-19. Bahkan labu parang ketika itu mulai dilihat sebagai simbol kesederhanaan kehidupan pertanian.

Mengolah kebun, bekerja untuk mendapatkan hasil bumi telah menjadi tanda kebajikan moral dan menciptakan warga negara yang baik dan semacam cita-cita lama, papar Ott. Cita-cita seperti itulah yang dapat dihadirkan oleh labu.

Namun bagi Kokot, “Saya suka seluruhnya tentang pumpkin.”

Meskipun mahasiswa tahun ke-2 ini mengaku hanya tahu sedikit tentang sejarah panjang labu kuning di Amerika, dia pasti bisa merasakan langsung rasa bangga orang Amerika seperti disampaikan Ott. “Bagi saya, labu adalah bagian dari Musim Gugur,” cetusnya. [ka/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *