Terkait Kasus Gangguan Ginjal Akut Misterius, Kemenkes Sarankan Setop Sementara Penggunaan Obat Sirop

Terkait Kasus Gangguan Ginjal Akut Misterius, Kemenkes Sarankan Setop Sementara Penggunaan Obat Sirop

Juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Mohammad Syahril meminta kepada tenaga medis di seluruh layanan kesehatan untuk berhenti meresepkan obat dalam bentuk cair atau sirop untuk sementara ini . Anjuran itu, katanya, dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit gangguan ginjal akut misterius yang sampai saat ini belum diketahui penyebabnya.

“Untuk sementara tidak meresepkan obat dalam bentuk persediaan cair atau sirop sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas. Ini diambil langkah dengan maksud dugaan-dugaan ini sedang kami teliti. Untuk menyelamatkan anak-anak kita yang lebih berat maka diambil kebijakan untuk melakukan pembatasan ini,” katanya dalam konferensi pers secara daring, Rabu (19/10).

Kemenkes juga meminta agar seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan terbatas dalam bentuk cair maupun sirop. Sebagai alternatifnya dapat menggunakan persediaan lain, seperti tablet, kapsul, dan suppositoria (obat padat berbentuk kerucut atau peluru yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui anus/rektum, uretra, atau vagina). Saat ini Kemenkes bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih melakukan penelusuran dan penelitian terkait penyebab gangguan ginjal akut misterius tersebut.

Sirup obat batuk yang mengandung bahan yang tidak diatur, dekstrometorfan, dipajang di rak toko di apotek Edmond, Oklahoma, sebagai ilustrasi, 18 Mei 2006. (Foto: AP)

Sirup obat batuk yang mengandung bahan yang tidak diatur, dekstrometorfan, dipajang di rak toko di apotek Edmond, Oklahoma, sebagai ilustrasi, 18 Mei 2006. (Foto: AP)

“Kemenkes mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk melakukan pengobatan anak sementara tidak mengonsumsi obat dalam bentuk cair atau sirop tanpa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan,” imbau Syahril.

Menurut lapran yang diterima Kemenkes hingga 18 Oktober 2022, jumlah kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak mencapai 206, dan tersebar di 20 provinsi. Jumlah kematian yang tercatat mencapai 99 atau sekitar 48 persen dari total kasus

“Di mana angka kematian pasien khususnya yang dirawat di RSCM sebagai rumah sakit rujukan nasional ginjal itu mencapai 65 persen. Kemudian, Kemenkes dan IDAI membentuk tim untuk melakukan penelusuran lebih jauh tentang kasus ini,” ungkap Syahril.

Syahril menegaskan penyakit gangguan gagal ginjal akut tidak berkaitan dengan vaksin dan infeksi COVID-19.

“Sudah dilakukan pemeriksaan dan tidak ada kaitan dengan vaksin maupun infeksi COVID-19. Gangguan gagal ginjal akut pada umumnya menyerang anak usia kurang dari enam tahun. Sementara program vaksinasi belum menyasar anak satu sampai lima tahun,” ujarnya.

Saat ini Kemenkes bersama BPOM, , Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor), serta sejumlah ahli epidemiologi dan ahli farmakologi masih melakukan pemeriksaan untuk memastikan penyebab pasti gangguan ginjal akut itu, termasuk meneliti sisa sampel obat yang dikonsumsi oleh pasien.

“Sementara ditemukan jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan gangguan ginjal akut progresif atipikal. Saat ini Kemenkes dan BPOM masih terus menelusuri serta meneliti secara komprehensif termasuk kemungkinan faktor risiko lainnya,” jelas Syahril.

Seorang pasien yang gagal ginjal sedang menjalani transplantasi di sebuah rumah sakit di AS.

Seorang pasien yang gagal ginjal sedang menjalani transplantasi di sebuah rumah sakit di AS.

Masih, kata Syahril, sebagai langkah awal dalam upaya menurunkan fatalitas gangguan ginjal akut Kemenkes melalui Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) telah membeli penawar yang didatangkan dari luar negeri.

“Untuk diberikan kepada pasien yang masih dirawat. Bukan hanya dari RSCM tapi yang masih dirawat di seluruh rumah sakit di Indonesia,” ucapnya.

Dalam meningkatkan kewaspadaan para orang tua yang memiliki balita juga diminta untuk segera membawa anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila mengalami gejala penurunan jumlah urine dan frekuensi buang air kecil; serta demam; diare; batuk; pilek; mual; dan muntah.

“Ini sangat penting kepada masyarakat khususnya yang memiliki anak di bawah 18 tahun, utamanya adalah balita. Kalau mengalami penurunan frekuensi buang air kecil dan jumlah urine turun bahkan sama sekali tidak keluar. Maka itu segera diperiksa dan dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan,” pungkas Syahril.

Pakar kesehatan dari Universitas Indonesia Pandu Riono menilai, saran pemerintah untuk menyetop sementara penggunaan obat sirop merupakan langkah tepat dan antisipatif.

“Tidak ada kaitan dengan COVID-19 bahkan terkait sama penggunaan obat sirop jadi hampir mirip dengan kejadian di Gambia,” katanya kepada VOA.

Epidemiolog Universitas Indonsia, Pandu Riono. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Epidemiolog Universitas Indonsia, Pandu Riono. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Ia mangatakan, apabila nantinya hasil investigasi menyatakan bahwa obat sirop sebagai salah satu penyebab gangguan ginjal akut, , BPOM harus segera menarik pereadaran obat batuk sirop yang memiliki kandungan berbahaya bagi ginjal. Pemerintah, menurutnya, harus berkaca pada kasus gangguan ginjal yang terjadi di negara Gambia.

“Kalau penyebabnya karena obat sirop dan penggunaannya dilarang kasusnya akan menurun. Seperti di Gambia, begitu obatnya ditarik tidak ada lagi kasus,” ucap Pandu.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai tingginya angka kematian kasus akibat gangguan ginjal akut misterius menunjukkan lemahnya deteksi dini terhadap penyakit tersebut.

“Ini tentu sangat logis dalam konteks Indonesia karena satu di tengah terbatasnya atau lemahnya deteksi dini. Kasus gangguan ginjal akut ini kasus yang sifatnya emergency kalau telat (menangani) ya sulit tertolong,” katanya kepada VOA.

Menurut Dicky, setiap kasus kematian anak akibat penyakit tertentu akan menjadi indikator atau cerminan kualitas sistem kesehatan di suatu negara.

“Kalau hal seperti ini banyak terjadi dan tidak terdeteksi maka itu mencerminkan kita lemah bahkan buruk sistem kesehatannya. Ini harus jadi introspeksi dari kita semua,” tandasnya. [aa/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *