Sub-Varian Omicron BA.4 dan BA.5 Sudah Mendominasi di Indonesia

Sub-Varian Omicron BA.4 dan BA.5 Sudah Mendominasi di Indonesia

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk tetap waspada terkait dengan penyebaran sub-varian omicron BA.4 dan BA.5 di Tanah Air. Pasalnya, sub-varian siluman omicron tersebut telah menimbulkan kenaikan kasus COVID-19, terutama di DKI Jakarta.

“Saya jelaskan bahwa 81 persen semua kasus di indonesia sudah BA.4, BA.5. Jadi bukan hanya di Jakarta saja. Jakarta sudah 100 persen BA.4 , BA.5,” ungkap Menkes, dalam telekonferensi pers, usai Ratas Evaluasi PPKM, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (4/7).

Sub-Varian Omicron BA.4 dan BA.5 Sudah Mendominasi di Indonesia

Menkes Budi Gunadi Sadikin (Biro Setpres)

Lebih lanjut, Budi menjelaskan sama halnya dengan negara-negara lain, puncak kasus di sebuah negara akan terjadi 30-40 hari dari sejak ditemukannya sebuah varian COVID-19. Maka dari itu, Budi memperkirakan, puncak kasus di Indonesia akan terjadi di minggu kedua atau ketiga Juli ini.

“Sebelumnya saat dominasi delta itu sudah hampir 100 persen dari populasi virusnya itu boleh terjadi penurunan. Demikian juga pada saat omicron itu sudah hampir 100 persen dari yang kita genom sequence adalah varian omicron mulai terjadi penurunan. Jadi sekarang kita juga melihat walaupun kasus yang naik tapi pelandaian mulai terjadi baik di Jakarta maupun di Indonesia,” tuturnya.

Petugas medis menyiapkan suntikan vaksin Pfizer COVID-19 di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Jakarta, Selasa, 8 Februari 2022. (Foto: AP/Achmad Ibrahim)

Petugas medis menyiapkan suntikan vaksin Pfizer COVID-19 di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Jakarta, Selasa, 8 Februari 2022. (Foto: AP/Achmad Ibrahim)

Meski terjadi kenaikan, Budi mengklaim, kenaikan kasus di Indonesia yang disebabkan oleh BA.4 dan BA.5 tidak setinggi di negara-negara lain. Budi menjelaskan hal ini karena tingginya kadar antibodi COVID-19 yang telah dimiliki masyarakat Indonesia baik dari vaksinasi dan infeksi alamiah.

“Nah pertanyaannya sekarang kenapa Indonesia bisa landai dengan jumlah kasus yang jauh lebih rendah, yang cuma 4 sampai 5 persen dibandingkan dengan puncak sebelumnya. Negara-negara lain itu puncaknya dicapai 30 persen dari puncak sebelumnya. Salah satu hal yang menjelaskan adalah karena memang (hasil) sero survei terakhir di bulan Maret menunjukkan antibodi kita masih tinggi. Jadi kalau Desember kita serius survei antibodinya sekitar 400-500 itu sudah dimiliki oleh 88 persen populasi, di bulan Maret kemarin kita harus survei 99 persen populasi sudah memiliki antibodi level 3.000-4.000. jadi jauh lebih tinggi,” jelasnya.

Untuk mengetahui sejauh mana kekebalan antibodi masyarakat Indonesia, ujarnya, pihak Kementerian Kesehatan akan kembali melakukan sero survey yang dimulai pada hari ini selama satu bulan ke depan. Hal ini dilakukan pemerintah, untuk mengambil dasar kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia ke depan.

Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, ungkap Budi, pemerintah kembali mengimbau kepada masyarakat agar tetap disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan, terutama pemakaian masker. Selain itu, pemerintah juga menghimbau agar masyarakat segera menjalani vaksinasi, dan bahkan mendapatkan booster atau vaksin penguat, yang sayangnya sampai saat ini cakupannya masih sekitar 24,5 persen.

Orang-orang yang memakai masker untuk mencegah penyebaran virus corona menunggu di halte bus di Jakarta. (Foto: AP)

Orang-orang yang memakai masker untuk mencegah penyebaran virus corona menunggu di halte bus di Jakarta. (Foto: AP)

“Kalau nanti tiga bulan berikutnya Agustus-September kita juga bisa mengendalikan jumlah kasus kita, maka (Indonesia) akan menjadi salah satu negara di dunia yang benar-benar bisa menjaga pandemi ini, sehingga tidak terjadi lonjakan berikutnya. sehingga ke depan kita akan lebih yakin, confidence masyarakat lebih tinggi untuk beraktivitas dan kalau mereka beraktivitas kegiatan ekonomi kita akan bisa jalan dengan baik. Jadi lebih baik waspada tapi menjaga momentum kegiatan ekonomi daripada kita terburu-buru dan terlampau cepat akibatnya akan mengurangi confidence dari masyarakat untuk beraktivitas kembali dan nanti akan memperlambat juga laju ekonomi kita,” kata Budi.

Dalam kesempatan yang sama, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan jika dibandingkan dengan negara lain, lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia masih relatif rendah.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. (Biro Setpres)

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. (Biro Setpres)

Ia menjelaskan 7-day moving average (SDMA) kasus COVID-19 di beberapa negara cukup tinggi. Amerika Serikat, contohnya, 116.304 kasus, Australia mencatat 32.116 kasus, dan India membukukan 16.065 kasus. Indonesia mencatat angka yang relatif rendah, yakni 1.939 kasus, bahkan lebih rendah dibanding Singapura (8.266 kasus), Malaysia (2.384 kasus), dan Thailand (2.278 kasus).

“Ini secara moving average, secara kasus harian per 3 Juli Indonesia ada 1.614 kasus, dan kita lihat bahwa kasus tersebut tentunya masih di bawah daripada positivity rate WHO di 5 persen,” ungkap Airlangga.

Berdasarkan reproduction rate kasus COVID-19 di luar Jawa-Bali yang mencapai di atas satu adalah Sumatera (1,08), Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi (1,11), Maluku dan Papua (1,99).

“Kalau dari segi kasus secara nasional 1.914, Jawa-Bali masih mewakili mayoritas atau 95 persen yaitu 1.579 kasus sedangkan luar Jawa-Bali 35 kasus atau 4,07 persen,” jelasnya.

Antibodi COVID-19

Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo. (Foto: VOA)

Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo. (Foto: VOA)

Ahli Epidemiologi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo membenarkan bahwa kedua sub varian siluman omicron tersebut sudah mendominasi di Tanah Air. Meski begitu, ujar Windhu, peningkatan kasusnya masih jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni di bawah 20 kasus per 100 ribu penduduk per minggu. Dengan begitu, Indonesia masih berada pada level satu berdasarkan acuan WHO.

Selain angka kasus COVID-19, angka perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit dan tingkat kematian masih terjaga pada level yang cukup rendah.

Tenaga medis melakukan tes swab PCR Covid-19 di sebuah sekolah di Solo, Jawa Tengah pada 7 Februari 2022. (Foto: AFP/Dika)

Tenaga medis melakukan tes swab PCR Covid-19 di sebuah sekolah di Solo, Jawa Tengah pada 7 Februari 2022. (Foto: AFP/Dika)

“Saat ini bilangan reproduksi efektif (Rt) yang menggambarkan tingkat transmisibilitas mulai menunjukkan penurunan setelah mencapai puncaknya di 16-17 Juni 2022 yang lalu, Ini artinya puncak gelombang ini akan segera datang sekitar 1 minggu lagi, dengan tinggi puncak yang cuma berupa gundukan kecil,” ungkap Windhu kepada VOA.

Senada dengan Menkes Budi, Windhu menyatakan tingginya antibodi COVID-19 di Indonesia yang menyebabkan lonjakan kasus COVID-19 akibat varian BA.4 dan BA.5 cukup rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain.

“Apa yang harus dilakukan pemerintah? Pemerintah cukup melakukan apa yang dalam setahun ini sudah dilakukan. Menuntaskan cakupan vaksinasi primer lengkap dan booster mendekati 100 persen, kembali memperkuat surveillance (case finding melalui testing dan tracing) yang saat ini melemah, dan tetap melakukan komunikasi publik yang kuat agar masyarakat tetap disiplin prokes terutama penggunaan masker termasuk di area terbuka yang saat ini kebanyakan padat manusia,” pungkasnya. [gi/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *