Rehabilitasi Hutan Mangrove di 9 Provinsi Capai Rp26 Triliun

Rehabilitasi Hutan Mangrove di 9 Provinsi Capai Rp26 Triliun

VOA – Pemerintah saat ini sedang fokus merehabilitasi mangrove (hutan bakau) di sembilan provinsi prioritas yakni di Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat. Rehabilitasi mangrove di sembilan provinsi itu seluas 600 ribu hektare. Sekretaris Utama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Ayu Dewi Utari, mengatakan dibutuhkan dana sebanyak Rp26 triliun untuk merehabilitasi mangrove di sembilan provinsi tersebut.

“Kami berhitung bahwa dibutuhkan Rp26 triliun untuk melakukan rehabilitasi (mangrove) seluas 600 ribu hektare,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (3/8).

Ayu melanjutkan, rehabilitasi yang hanya difokuskan ke sembilan provinsi itu lantaran wilayah-wilayah tersebut memiliki kondisi kerusakan ekosistem mangrove cukup luas dibandingkan dengan daerah lain.

Adapun skema pembiayaan untuk rehabilitasi 600 ribu hektare mangrove itu bisa bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), investasi (melalui izin usaha jasa lingkungan), kewajiban rehabilitasi DAS, pinjaman atau hibah luar negeri, serta dana CSR perusahaan BUMN atau swasta.

Rehabilitasi Hutan Mangrove di 9 Provinsi Capai Rp26 Triliun

Pohon bakau yang baru ditanam di Bebatu, daerah terpencil di dekat Tarakan, provinsi Kalimantan Utara, 19 Oktober 2021. (REUTERS/Willy Kurniawan)

“Ini opsi dimungkinkan juga skema pembiayaan yang lain. Tapi skema yang sekarang sedang dijalani untuk membiayai mangrove adalah melalui lima skema tersebut,” ujarnya.

Namun, adanya pembiayaan itu bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan rehabilitasi mangrove. Keberhasilan rehabilitasi mangrove juga sangat dipengaruhi oleh faktor lain seperti penentuan lokasi, salinitas, jenis tanaman, waktu tanam, dukungan aktif pemilik lahan, pemerintah daerah setempat, dan para pihak terkait.

“Tapi tetap dalam kerangka lokasinya tidak akan tumpang tindih karena kami berkoordinasi ketika mereka (pihak pembantu rehabilitasi) akan merehabilitasinya,” jelas Ayu.

Penduduk setempat menggunakan perahu kayu untuk mengangkut benih pohon bakau yang akan ditanam di Bebatu, daerah terpencil di dekat Tarakan, provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, 19 Oktober 2021. (REUTERS/Willy Kurniawan)

Penduduk setempat menggunakan perahu kayu untuk mengangkut benih pohon bakau yang akan ditanam di Bebatu, daerah terpencil di dekat Tarakan, provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, 19 Oktober 2021. (REUTERS/Willy Kurniawan)

Upaya rehabilitasi mangrove telah turut membantu Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama pandemi COVID-19. Pada Tahun 2021, BRGM bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melaksanakan PEN melalui Percepatan Rehabilitasi Mangrove (PRM) seluas 34.911 hektare di 32 provinsi dengan sumber dana dari APBN.

Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM, Satyawan Pudyatmoko, mengatakan lahan mangrove saat ini telah banyak terdegradasi menjadi tambak. Tak main-main, seluas 631.802 hektare mangrove telah berubah menjadi tambak.

“Terbanyak di area penggunaan lain (APL). Dari 631 ribu hektare (mangrove) yang menjadi (tambak) di APL sekitar 62 persen (393.623 hektare), sedangkan di kawasan hutan seluas 238.179 hektare (38 persen),” sebutnya.

Lanjut Satyawan, deforestasi mangrove pada tahun 2021 hingga 2030 mencapai areal seluas 299,258 hektare. Produktivitas tambak yang rendah juga berpotensi meningkatkan deforestasi lebih lanjut hingga 600 ribu hektare lahan mangrove.
“APL dan tambak jadi kunci rehabilitasi mangrove,” ungkapnya.

Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan, Dyah Murtiningsih, menyampaikan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove menjadi tanggung jawab bersama. Pemangku kepentingan dalam rehabilitasi mangrove ini adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, kelompok masyarakat, dan perguruan tinggi.

“Banyaknya pemangku kepentingan dalam urusan pengelolaan dan rehabilitasi mangrove tentu saja harus ada koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi. Ini yang harus dilakukan, bekerjanya tidak sendiri-sendiri tetapi saling terintegrasi baik di program maupun pelaksanaan kegiatan,” pungkasnya. [aa/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *