Praktisi Hukum, Aktivis HAM Tuntut Buka Kembali Pembahasan RUU KUHP

Praktisi Hukum, Aktivis HAM Tuntut Buka Kembali Pembahasan RUU KUHP

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menuai penolakan dari sejumlah aktivis HAM dan praktisi hukum. Mereka menilai, RUU itu menjadi ancaman bagi demokrasi dan HAM, karena membatasi ruang gerak masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat di depan publik.

Sekjen Federasi KontraS, Andy Irfan Junaidi, mengatakan bila RUU KUHP disahkan menjadi undang-undang, legislasi itu akan mengancam situasi demokrasi di Indonesia yang pasca reformasi menunjukkan perkembangan yang positif.

“Salah satu konten di dalam RUU KUHP yang menjadi concern itu kan terkait perlindungan iklim demokrasi di Indonesia. Kita tahu sepanjang reformasi itu, salah satu capaian paling berhasil yang bisa kita raih adalah tumbuh kembangnya kebebasan hak berpendapat, tumbuh kembangnya kebebasan berekspresi, dan tumbuh kembangnya kebebasan berorganisasi di seluruh sektor masyarakat,” jelas Andy Irfan Junaidi.

Sejumlah pasal dalam RUU KUHP, kata Andy, dapat memberikan sanksi pidana bagi masyarakat, mulai dari menyatakan keberatan atas suatu kebijakan atau peraturan, menghina pemerintah, hingga aksi unjuk rasa tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Padahal, katanya, di era demokrasi sekarang ini, protes atau kritikan masyarakat sangat diperlukan untuk menilai dan mengontrol layanan publik yang diberikan pemerintah.

“Pemidanaan terhadap urusan aksi unjuk rasa. Yang kedua, pemidanaan terhadap protes atas kekuasaan negara, Presiden, DPR, lembaga-lembaga pemerintah, kita tidak bisa lagi sembarangan protes terhadap lembaga-lembaga pemerintah itu,” imbuhnya.

Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, juga mengungkapkan banyak pasal pada RUU KUHP yang mengacam kebebasan sipil. Herlambang menyebut pengesehan RUU KUHP bisa mengakibatkan kemunduran demokrasi.

“Sebenarnya tidak tepat ya, melakukan pembatasan semacam itu, karena itu merupakan refleksi kemunduran di dalam demokrasi,” jelasnya.

Pasal-pasal yang dirumuskan itu, kata Herlambang, masih jauh di bawah standar hukum HAM, sehingga perlu ditinjau ulang sebelum disahkan.

“Pendekatan pidana saja tidak cukup, karena memang perkembangan hukum pidana itu juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum hak asasi manusia. Dimana ada upaya-upaya, misalnya menghapus pidana mati. Nah, itu kan juga karena perkembangan hukum hak asasi manusia,” imbuh Herlambang.

Andy menambahkan, penyusunan RUU KUHP terkesan terburu-buru, dan hanya memenuhi target tanpa melakukan pembahasan secara mendalam bersama pakar maupun kelompok masyarakat. Kontras, kata Andy, mendesak dilakukan pembahasan ulang oleh tim perumus yang melibatkan pakar hukum dan masyakat.

“Tim yang ditunjuk sebagai perumus RUU KUHP itu, (perlu) kembali membuka seluas-luasnya (diskusi dan pembahasan). Kita itu merdeka sudah 78 tahun, dan agenda pembahasan RUU KUHP itu sepertinya sudah sejak awal reformasi kita bicarakan, tetapi tidak juga membuahkan hasil. Itu hal yang tidak selayaknya, seolah-olah kita tidak punya ahli hukum, seolah-olah kita tidak punya ruang yang cukup untuk merumuskan ulang satu konsep criminal justice system, yang sebelumnya adalah peninggalan dari pemerintah kolonial di masa lalu,” pungkasnya. [pr/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *