Perempuan Indonesia Menjadi 50 Pemimpin Perempuan di AS

Perempuan Indonesia Menjadi 50 Pemimpin Perempuan di AS

Shinta Herwantoro Hernandez dibawa ke Amerika oleh orangtuanya, Bambang Hengky Herwantoro dan Julianti Sri Rejeki ketika berusia satu tahun. Ketika itu ayahnya diterima untuk melanjutkan pendidikan di bidang nuklir di University of Maryland.

Meskipun demikian, Shinta, 43 tahun, yang sejak kecil hidup di Amerika, masih lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia tamatan SMA Katolik khusus perempuan, The Academy of the Holy Cross di Kensington, Maryland, sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi.

“Lulus dari Georgetown University dapat gelar Master di jurusan Public Policy, dan lulus dari University of Maryland dapat PhD jurusan Sosiologi. Lalu saya bekerja di Montgomery College di Maryland sejak tahun 2007,” tuturnya.

Perempuan Indonesia Menjadi 50 Pemimpin Perempuan di AS

Shinta Herwantoro Hernandez (foto: courtesy)

Bagi Shinta, dunia pendidikan sangat penting untuk generasi penerus. Itulah sebabnya, ia terjun ke dunia pendidikan.

“Soalnya saya mau membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, jadi saya ingin generasi baru lebih pintar daripada generasi saya. Itulah sebabnya saya masuk ke pendidikan, supaya setiap orang mempunyai pendidikan yang lebih baik,” ujarnya.

Montgomery College di Maryland yang berdiri sejak tahun 1946 tempat Shinta mengajar, telah memberinya dua kali promosi.

“Sudah 15 tahun saya mengajar di sana, pertama sebagai profesor sosiologi, lalu mendapat promosi menjadi Kapala Departemen dan sekarang mendapat promosi lagi ke dean virtual campus seperti kuliah daring. Posisi ini yang pertama di Montgomery College, jadi panggilan saya ‘sounding dean’ atau dekan pelopor”, tambahnya.

Sebuah organisasi nasional Amerika, Women We Admire memilihnya sebagai salah seorang dari 50 pemimpin perempuan (50 Women Leaders) untuk negara bagian Maryland. Shinta tidak mengetahui bahwa dirinya dicalonkan oleh pihak perguruan tinggi tempat ia mengajar. Organisasi itu memilih perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan seperti teknologi, pendidikan, ekonomi, hukum, dll dengan persyaratan khusus.

“Perempuan yang mendapat penghargaan ini, harus yang bisa berinnovasi, kepemimpinannya harus yang bisa transformasional, bisnisnya selalu nomer satu, tidak takut untuk membuat keputusan yang terbagus untuk kebaikan bersama”, ujarnya.

Seorang pegiat perempuan Indonesia yang bermukim di AS, Gadis Arivia mengenal Shinta Hernandez sebagai seniornya yang bersama-sama mengajar di Montgomery College.

Gadis Arivia (kedua dari kiri) bersama para pengajar di Montgomery College (foto: courtesy).

Gadis Arivia (kedua dari kiri) bersama para pengajar di Montgomery College (foto: courtesy).

Gadis yang juga pendiri Jurnal Perempuan sejak 1996 itu mengatakan, “Jadi Shinta itu lewat semua pekerjaannya ketika menjadi ketua departemen di tiga bidangnya, sosiologi, antropologi dan criminal justice, membuat program-program yang luar biasa, seperti OER, open education. OER ini membuat pendidikan bisa diakses secara luas, dan bekerjasama dengan PBB. Nah itu semua hasil kerja Shinta, bahkan sekarang berkerja sama dengan luar negeri dan menjajagi juga dengan universitas di Indonesia,” jelas Gadis yang telah mengajar di sana selama 4 tahun.

Kini tidak jarang kita melihat perempuan menjadi pemimpin pada suatu organisasi. Terkadang orang melihat bahwa perempuan yang berkarir harus mengorbankan keluarganya. Namun tidak demikian bagi Shinta.

“Kunci sukses itu selalu keluarga saya. Mama, papa, suami dan dua anak saya sangat mendukung. Waktu saya akan masuk ke program doktor mengatakan, kalau memang mau melanjutkan program dokter, suami saya mengatakan kalau mau berhenti bekerja agar bisa kuliah penuh waktu, saya dukung,” tukasnya.

Maka Shinta menekuni program S3-nya dan hanya suami yang bekerja sampai ia menyelesaikan program doktornya.

Shinta (kana) semasa kecil bersama ayah dan ibunya (foto: courtesy)

Shinta (kana) semasa kecil bersama ayah dan ibunya (foto: courtesy)

Tidak sedikit mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Montgomery College mengenal Shinta.

Salah seorang mahasiswa Indonesia, Aisya Achiruddin yang mendapat bimbingan dari Shinta mengatakan, “Prof. Hernandez adalah mentor yang bagus untuk saya. Dia mengajar saya selama 2-3 tahun in i dan dia hebat. Dia mengarahkan saya ke tujuan yang baik, sangat membantu dalam karir studi saya dan saya tidak bisa begini tanpa bantuannya”, katanya

Menjadi seorang ibu yang berkarir tentunya memiliki tantangan yang luar biasa, terutama dalam hal membagi waktu antara karir pekerjaan serta tugas seorang ibu di dalam rumah tangga. Semua itu telah dilalui oleh Sinta Hernandez yang kini terus melanjutkan mimpinya untuk memberi pendidikan bagi generasi berikutnya. [ps/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *