Perang Ideologi: Perempuan, Terorisme dan Deradikalisasi

Perang Ideologi: Perempuan, Terorisme dan Deradikalisasi

Sejak peristiwa Bom Surabaya 2018, peta peran perempuan dalam gerakan terorisme di Tanah Air mulai terlihat. Bertahun-tahun berada di lapis kedua, perempuan kini muncul menjadi pemain utama. Di tengah kevakuman aksi, perang ideologi terus berlangsung untuk menyelamatkan mereka.

Hendra Fernando punya banyak pengalaman dalam pertarungan ideologi dan penyelamatan perempuan dari potensi aksi terorisme. Yayasan Debintal, di mana Hendro duduk menjadi sekretaris jenderal, menyediakan rumah singgah bagi istri-istri narapidana terorisme (napiter). Tujuannya adalah memastikan kehidupan para istri napiter tersebut tidak terlantar, sekaligus menjaga mereka dari pengaruh buruk paham radikal. Sayangnya, di sisi yang berseberangan, kelompok-kelompok radikal juga memiliki program serupa.

“Mereka punya program, mereka punya rumah singgah untuk mengakomodir istri-istri keluarga napiter yang tidak mengikuti program dalam Lapas. Mereka akomodir, mereka sediakan tempat sekolahnya, mereka cukupi kebutuhan bulanannya, mereka cukupi kebutuhan ketika mereka sedang besuk ke lapas-lapas,” kata Hendro kepada VOA.

Polisi terlihat di lokasi ledakan di luar Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Serangkaian ledakan, termasuk setidaknya satu bom bunuh diri, melanda gereja-gereja di Tanah Air pada 13 Mei 2018, menewaskan sedikitnya 11 orang dan melukai puluhan lainnya, (Foto: AFP)

Polisi terlihat di lokasi ledakan di luar Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Serangkaian ledakan, termasuk setidaknya satu bom bunuh diri, melanda gereja-gereja di Tanah Air pada 13 Mei 2018, menewaskan sedikitnya 11 orang dan melukai puluhan lainnya, (Foto: AFP)

Hendro aktif di Jamaah Anshar Daulah pada 2014-2016, sebelum kemudian ditangkap karena menyalurkan pendanaan dari ISIS. Hendro sempat masuk penjara berkeamanan maksimum sebelum kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Dia kembali menyatakan ikrar setianya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Lapas Besi, Nusakambangan, pada 2019. Kini, bersama sejumlah eks napiter dia mengelola Yayasan Dekat Bintang di Langit (Debintal) di Bekasi.

Ada sekurangnya seribu napiter di seluruh Indonesia saat ini. Tentu, mereka memiliki keluarga di luar penjara yang rawan menerima pengaruh buruk. Karena itulah, Yayasan Debintal memberi ruang kehidupan bagi mereka. Debintal adalah yayasan yang dibangun mantan napiter yang telah bebas, dan bergerak dalam berbagai kegiatan ekonomi serta penyadaran terkait kejamnya aksi terorisme. Istri dan anak napiter, menjadi salah satu fokus dari upaya ini.

“Kita ada rumah singgah, khusus untuk yang telah mengakui NKRI,” ujarnya.

Mantan eks narapidana terorisme (napiter) Poso saat membacakan ikrar kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada 11 Oktober 2021. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Mantan eks narapidana terorisme (napiter) Poso saat membacakan ikrar kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada 11 Oktober 2021. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Ratusan napiter memang menerima kesadaran kehidupan berbangsa justru ketika di dalam penjara. Mereka disebut sebagai golongan NKRI. Sebagian yang lain, tidak mampu disadarkan, dan secara umum disebut sebagai kelompok merah. Kelompok ini juga memiliki rumah singgah untuk menampung istri-istri napiter yang masih memegang teguh paham radikalnya. Jika napiter yang ada di dalam penjara menyatakan kesetiaan pada Indonesia, para istri yang ada di rumah singgah kelompok merah ini akan dipaksa untuk memilih ideologi.

“Istri-istri napiter yang ada di rumah singgah kelompok merah, ketika suaminya mengakui NKRI, istrinya disuruh milih. Mau ikut suami atau ikut mereka. Kalau ikut suami, maka dia diusir, karena suami statusnya murtad dari pemahaman,” ujar Hendro lagi.

“Ketika istri memilih untuk sepaham dengan suaminya, yang sudah NKRI, maka diputus nafkahnya, diputus pemenuhan kebutuhannya, diputus sekolah anaknya,” lanjut Hendro.

Ulama Dzulkarnain (kiri) meneriakkan slogan-slogan di samping Tariyem (kedua dari kanan) ibu dari terpidana pelaku bom Bali 2002 Amrozi dan Mukhlas, dan dua saudara perempuan (belakang) dalam kunjungan mendukung tiga pelaku bom Bali. (Foto: AFP)

Ulama Dzulkarnain (kiri) meneriakkan slogan-slogan di samping Tariyem (kedua dari kanan) ibu dari terpidana pelaku bom Bali 2002 Amrozi dan Mukhlas, dan dua saudara perempuan (belakang) dalam kunjungan mendukung tiga pelaku bom Bali. (Foto: AFP)

Kenyataan ini, kata Hendro, membuktikan bahwa upaya deradikalisasi di dalam lapas tidak hanya berefek kepada napiter, tetapi juga kepada anak istri mereka di luar penjara.

“Karena selama ini anak-anak mereka ditampung jaringan ini, tidak sedikit juga istri-istri napiter yang justru bergabung dengan dengan mereka, meninggalkan suaminya yang sudah setia NKRI. Kalau kita tidak akomodir keluarga napiter seperti itu, saya tidak bisa membayangkan dalam tiga atau lima tahun ke depan, akan seperti apa kelompok ini,” kata Hendro lagi.

Jadi Tren Global

Dalam diskusi peringatan 20 tahun Bom Bali, Direktur Deradikalisasi BNPT Prof. Dr. Irfan Idris, M.A. juga menyinggung soal keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia. Di era lalu, kata dia, aksi terorisme tidak melibatkan perempuan dan anak.

“Akan tetapi, sejak Bom Surabaya, Sibolga, Katedral Makassar dan bahkan Zakiah Aini, melakukan aksi masuk ke Mabes Polri, itu dilakukan oleh perempuan dan anak,” ujarnya.

Jenis dan ancaman serangan terorisme global terus mengalami dinamika, kata Irfan. Pelibatan perempuan dan anak-anak menjadi fenomena yang memprihatinkan.

“Dulu mungkin perempuan hanya menjadi korban. Dikatakan kepada istrinya, mereka mau pergi berjihad. Mereka pergi mondok. Jadi diangkatlah dalil-dalil yang menegaskan bahwasanya perempuan itu hanya tinggal di rumah saja,” kata Irfan lagi.

“Akan tetapi, semakin ke sini nampaknya aksi, ancaman dan serangan terorisme tidak terlalu dominan lagi oleh laki-laki. Organisasi global terorisme seperti Al Qaeda dan ISIS, menganjurkan kepada semua terutama, anak dan perempuan untuk beraksi,” tambahnya.

BNPT, lanjut Irfan, fokus pada tiga hal yang melingkupi fenomena ini, yang menurutnya terus bergerak secara dengan kencang dibawah permukaan. Ketiganya adalah perekrutan, pendanaan dan pelatihan.

Para remaja putri dari Nahdlatul Ulama menghadiri upacara dalam rangka membela negara dari ancaman terorisme, radikalisme, dan penyebaran narkoba, di Jakarta, 17 Januari 2016. (Foto: Reuters)

Para remaja putri dari Nahdlatul Ulama menghadiri upacara dalam rangka membela negara dari ancaman terorisme, radikalisme, dan penyebaran narkoba, di Jakarta, 17 Januari 2016. (Foto: Reuters)

“Kita saksikan di media media sosial, tidak sedikit tenaga kerja perempuan yang terpapar. Mereka hanya berbaiat lewat Facebook, mereka menikah bahkan lewat Facebook, dan bergabung ke negara-negara konflik. Ini yang harus diperhatikan,” kata Irfan.

Perekrutan bagi generasi muda juga lebih mudah karena data menunjukkan lebih separuh yang terpapar adalah generasi muda. Mereka menjadi sasaran karena memiliki militansi tinggi untuk melakukan aksi sesuai kehendak kelompok radikal.

Fokus kedua adalah upaya pendanaan, termasuk dalam hal ini adalah bagaimana kelompok radikal mengumpulkan dana melalui kotak amal yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan fokus ketiga adalah pelatihan paramiliter yang dicegah melalui kerja sama bilateral dan global. [ns/ah]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *