Peran Besar Indonesia dalam Rekonsiliasi Umat Beragama

Peran Besar Indonesia dalam Rekonsiliasi Umat Beragama

Religion 20 (R20) akan menjadi ajang untuk membahas isu-isu fundamental dan sensitif mengenai agama atau antaragama. Acara ini menjadi pintu masuk diplomasi internasional Indonesia, dengan memberi tempat lebih lapang bagi isu keagamaan.

Indonesia menorehkan sejarah ketika memutuskan untuk menjadikan R20 sebagai official engagement event dalam G20. Langkah ini ini diawali ketika presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, mengakomodasi gagasan Nahdlatul Ulama (NU), khususnya Ketua Umumnya, Yahya Cholil Staquf mengenai posisi penting R20.

Juru bicara forum R20 sekaligus Wakil Sekjen NU, M Najib Azca menyatakan, dalam pertemuan besar pada 2-3 November di Bali, ini para pemimpin agama memiliki ruang untuk berbicara terbuka.

M Najib Azca, juru bicara R20 sekaligus Wasekjen NU. (Foto: dok pribadi)

M Najib Azca, juru bicara R20 sekaligus Wasekjen NU. (Foto: dok pribadi)

“Kami mengajak para pemimpin agama untuk secara jujur membicarakan mengenai isu-isu sensitif yang pernah terjadi dalam hubungan antar agama,” kata Azca.

Isu sensitif itu, dicontohkah Azca, adalah kepedihan-kepedihan sejarah yang pernah terjadi di masa lalu dalam hubungan antar agama.

“Ini merupakan kenyataan, artinya banyak hubungan antar agama yang menimbulkan luka-luka sejarah di masa lalu,” tandasnya.

Perbincangan ini mengemuka dalam diskusi Diplomasi Forum R20: Tantangan Membangun Citra Islam di Indonesia yang Moderat, Toleransi dan Solutif. Diskusi ini diselenggarakan Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Budi Luhur, Jakarta, Jumat (28/10) petang.

Rekonstekstualisasi Ajaran Agama

Azca memberi contoh, apa yang terjadi di India saat ini adalah buah dari kepedihan masa lalu umat Hindu dan umat Islam di sana. Sementara di wilayah lain, juga terdapat sejarah serupa antara pemeluk Kristen dan Islam, atau pemeluk Kristen dan Buddha. Termasuk kepedihan dalam agama yang sama, seperti konflik Katolik dan Protestan yang pernah terjadi di masa lalu.

Kepedihan masa lalu ini akan menjadi awal masuk kepada isu rekonsiliasi.
“Jadi dari kepedihan-kepedihan masa lalu, pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi dan pengampunan,” jelasnya.

Isu sensitif kedua yang nyaris tidak pernah dibahas para pemimpin agama secara jujur, kata Azca, adalah refleksi kritis dan rekontekstualisasi ajaran-ajaran agama yang bersifat problematik dan usang, dalam konteks membangun perdamaian

Azca memberi contoh, upaya ini misalnya dilakukan NU dalam Munas alim ulama di Banjar, Jawa Barat. Salah satu hasilnya adalah ketetapan bahwa kategori kafir dalam fikih, sudah tidak relevan dalam konteks negara bangsa.

“Ketika konstruksi politik sudah berubah menjadi negara bangsa, tidak ada lagi kategori muslim dan kafir, yang ada adalah warga negara, kira-kira kan begitu,” ujarnya.

Inspirasi serupa dilakukan Gereja Vatikan ketika melakukan Konsili Vatikan 2. Sebelum itu, terdapat doktrin yang menyatakan bahwa jalan keselamatan hanya milik Gereja Katolik. “Konsili Vatikan kedua merevisi doktrin itu, dengan mengatakan bahwa jalan keselamatan juga ada di luar Gereja Katolik,” tambahnya.

Begitupun, dalam R20 pemimpin umat Yahudi juga akan datang untuk membicarakan ajaran-ajaran Yahudi yang problematik dan usang. R20 akan membawa kembali agama ke panggung utama diplomasi global. Sekitar 300-400 pemimpin agama dari seluruh dunia akan hadir di Bali.

Pesan Global Indonesia

Guru besar Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pelita Harapan, Prof Aleksius Jemadu berharap, Indonesia bisa menyampaikan pesan global melalui forum R20 ini.

Guru besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan, Prof Aleksius Jemadu. Foto dok UPH

Guru besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan, Prof Aleksius Jemadu. Foto dok UPH

“Kiprah Indonesia dalam R20, tidak hanya sebatas seruan normatif. We go beyond that, untuk membangun prinsip civility, demi peradaban yang berkemanusiaan dan perdamaian,” ujarnya.

Upaya itu bisa dilakukan, antara lain dengan mempersembahkan keindonesiaan, yang sudah sedang, dan terus dibangun.

“Negara-negara anggota G20, juga terdiri dari berbagai agama, etnis, dan rejim politik yang memerlukan inspirasi dan model untuk mengelola keragaman secara internal dan multilateral,” tambah Aleksius.

Fenomena agama mayoritas dan minoritas bukan hanya ada di Indonesia, di banyak negara situasi yang sama juga terjadi. Karena itulah, ormas keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu NU mampu mewakili Indonesia untuk menawarkan apa yang diperlukan oleh negara-negara G20 dalam mengatasi situasi di atas.

“Jadi Indonesia bisa jadi model, bisa jadi contoh, dan kita capable untuk menawarkan ide itu,” ujar Aleksius.

Di tengah situasi demokrasi modern yang bisa tergelincir ke arah oligarki dan populisme, lanjutnya, kepemimpinan tidak bisa diserahkan kepada para pemimpin sekuler. Aleksius menyebut, diperlukan masukan dari kelompok agama.

Di dunia sekuler liberal, agama telah lama dianggap sebagai khayalan dan dikurung dalam ruang privat. Indonesia, papar Aleksius, menunjukkan fakta yang berbeda dimana agama bisa menjadi instrumen merajut kebaikan umum atau common goods.

“Indonesia mampu berkontribusi dalam R20, dengan menampilkan diri sebagai kekuatan diskursif, di tengah dunia yang terpolarisasi secara ideologis maupun kontestasi kekuatan, yang pada akhirnya menindas esensi kemanusiaan universal,” tegas Aleksius.

Perkuat Posisi Indonesia

Dr Asep Kamaluddin Nashir, Ketua Umum Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional se-Indonesia mengharapkan, forum dialog ini menghasilkan terobosan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Dr Asep Kamaluddin Nashir, Ketua Umum Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional se-Indonesia. (dok pribadi)

Dr Asep Kamaluddin Nashir, Ketua Umum Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional se-Indonesia. (dok pribadi)

“Di samping itu, R20 menjadi peluang diplomasi memperkuat posisi Indonesia sebagai middle power, yang memiliki nilai tawar strategis. Dan juga memberikan legitimasi bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam permasalahan global terutama yang berkaitan dengan agama,” tandasnya.

Asep juga membuka wacana, tentang sebuah cetak biru diplomasi agama, yang akan diterapkan dilakukan Indonesia ke depan. Penting juga untuk dibicarakan, sejauh mana pemerintah memberikan ruang dan dukungan bagi aktor non negara dalam memainkan perannya, terutama dalam diplomasi publik berbasis agama.

“Kita tahu, ini momentum di saat dunia internasional melihat ke Indonesia, dengan even G20 ini, maka dukungan pemerintah juga kita harapkan bisa optimal,” ujarnya.

Namun, semua itu bukan tanpa tantangan. Salah satunya, kata Asep adalah bagaimana sikap pemerintah menghadapi perbedaan antara diplomasi agama dengan kepentingan nasional. Salah satu contoh paling konkret, adalah melihat apa yang terjadi di Israel dan Palestina, berikut semua perkembangan yang terjadi belakangan ini. [ns/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *