Pepera, Sejarah Papua yang Tidak Pernah Selesai

Pepera, Sejarah Papua yang Tidak Pernah Selesai

Ratusan mahasiswa Papua di berbagai kota di Indonesia menggelar aksi, Kamis (14/7). Tanggal ini istimewa bagi masyarakat Papua, karena dipilih sebagai awal proses pelaksanaan Pepera 1969. Sebanyak 1024 orang Papua dipilih mewakili seluruh rakyat Papua ketika itu, dan secara aklamasi menyatakan bergabung dengan Indonesia.

Aksi serentak ini digelar oleh Petisi Rakyat Papua (PRP). Juru bicara PRP di Yogyakarta, Yance Yoba, menyebut aksi ini memang digelar terkait Pepera 1969. Bagi mereka, Pepera tidak demokratis.

“Awal mula ketidakdemokratisan di Papua itu adalah Pepera. Pepera tidak demokratis karena jika dilihat dari Perjanjian New York, sudah tertulis bahwa orang Papua akan melakukan penentuan nasib sendiri melalui one man one vote. Tetapi Indonesia tidak melakukan itu. Indonesia tidak demokratis terhadap rakyat Papua,” papar Yance kepada VOA.

Pepera, Sejarah Papua yang Tidak Pernah Selesai

Ratusan mahasiswa Papua di Yogya tergabung dalam PRP menggelar aksi 14 Juli menuntut pencabutan Otsus, DOB, dan tuntutan referendum. (Foto: PRP)

Karena sejarah itu keliru, menurut Yance, Indonesia harus mengakui ada kesalahan sejarah yang harus dibenarkan. Menjadi lebih buruk, karena sepanjang Pepera hingga saat ini, yang terjadi di Papua adalah eksploitasi sumber daya alam. Penerapan otonomi khusus, pemekaran wilayah, dan praktik politik pecah belah terus terjadi, untuk mengamankan investasi di tanah Papua.

Dalam aksinya kali ini, PRP memuat 22 butir tuntutan yang mereka sampai ke sejumlah pihak. Beberapa tuntutan itu antara lain cabut UU Otonomi Khusus jilid II, hentikan pemekaran provinsi dan elit politik Papua diminta tidak berbicara mengatasnamakan rakyat. PRP juga menuntut pemerintah membuka akses jurnalis seluas-luasnya, menarik militer organik dan non-organik, menghentikan pembunuhan, dan menghentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua di seluruh Indonesia.

Tuntutan lain adalah penghentian perampasan tanah adat dan kriminalisasi masyarakat adat, menyetop ekosida dan genosida di Papua, pembebasan tahanan politik Papua tanpa syarat, dan penindakan pelanggaran HAM, serta sejumlah tuntutan lain.

Aksi PRP di Numbay, tidak jauh dari kantor DPRD Papua. (Foto: PRP)

Aksi PRP di Numbay, tidak jauh dari kantor DPRD Papua. (Foto: PRP)

Jantung Persoalan Papua

Pepera, adalah jantung persoalan bagi Papua sejak tahun 60-an hingga saat ini, kata Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, DR. A.G. Socratez Yoman MA.

“Saya bilang itu jantungnya persoalan. Jantungnya kekerasan negara, pelanggaran HAM, marginalisasi orang asli Papua, itukan Pepera 1969. Di mana dimenangkan ABRI waktu itu, sekarang militer, yang tidak demokrasi, tidak menggunakan kaidah-kaidah atau standar hukum internasional. Tidak melaksanakan perjanjian New York 15 Agustus 1962 itu. Jadi memang belum selesai persoalannya,” kata pendeta Yoman kepada VOA, Kamis (14/7).

Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, DR. A.G. Socratez Yoman MA. (Foto: Dok pribadi)

Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, DR. A.G. Socratez Yoman MA. (Foto: Dok pribadi)

Pemerintah, kata Yoman, melihat Pepera sebagai langkah akhir, tetapi bagi orang Papua prosedur itu cacat hukum, cacat moral dan bertentangan dengan instrumen internasional. Karena itu, sama pentingnya bagi orang Papua, pemerintah juga sebaiknya meninjau kembali Pepera untuk mengembalikan nama baik negara. Yoman mengingatkan, Indonesia adalah negara demokrasi, dan karena itu rakyat Papua seharusnya diberi kesempatan untuk menentukan nasib sendiri.

Sebuah Pepera di masa kini, atau referendum, lanjut dia, layak dipertimbangkan. Harus menjadi pertanyaan bagi semua pihak, mengapa setelah lebih lima puluh tahun rakyat Papua terus melakukan perlawanan. Ketika ditanya apakah referendum adalah pilihan terbaik, Yoman sepenuhnya mengiyakan.

“Yang pertama, saya sebagai pemimpin umat, yang mendengarkan selalu suara mereka setiap saat. Kedua, saya sudah punya pendidikan baik, sehingga lebih fair, lebih manusiawi itu ya memberi ruang. Yang terbaik adalah, Indonesiaa menjadi negara sahabat,” tandasnya.

Meski, Yoman tidak mengelak, ada kemungkinan perbedaan pendapat di kalangan orang Papua sendiri terkait isu referendum. Dinamika itu harus dihormati, karena tidak mungkin orang Papua hanya memiliki satu suara. Yoman juga mengingatkan, justru dengan referendum, orang Papua yang tetap ingin bersama Indonesia, juga memiliki tempat bersuara.

“Jika ada Pepera lagi saat itu, itu akan dilaksanakan khusus bagi orang asli Papua. Kalau pendatang tidak. Yang orang asli Papua yang punya hak untuk menentukan itu,” lanjutnya.

Pembacaan sikap politik PRP juga digelar di wilayah Arimop, di Boven Digul. (Foto: PRP)

Pembacaan sikap politik PRP juga digelar di wilayah Arimop, di Boven Digul. (Foto: PRP)

Menentukan nasib sendiri, tambah Yoman, adalah pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar Indonesia sendiri.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Jadi ini musti dilaksakan,” ujarnya lagi.

Menemukan Titik Tengah

Ketua Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Dr Gabriel Lele mengakui, bagi mayoritas orang Papua, Pepera ulang adalah jalan keluar. Sesuatu, yang dalam konteks kenegaraan saat ini, mustahil dipenuhi oleh pemerintah.

Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele. (Foto: Fisipol UGM)

Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele. (Foto: Fisipol UGM)

“Kalau menempatkan diri sebagai orang Papua dan orang Papua kebanyakan, hampir pasti siapapun yang ditanya akan mengatakan itu peristiwa yang keliru, dan oleh karena itu harus dilakukan referendum ulang. Atau tanpa referendum, Indonesia menyerahkan kemerdekaan itu ke Papua,” kata Gabriel kepada VOA.

“Cuma pada saat bersamaan. Dari kacamata Indonesia, ini NKRI harga mati, dan NKRI tidak akan utuh tanpa Papua. Dua kutub ini yang menyebabkan ketegangan terus menerus antara Jakarta dan Papua. Maka harusnya dicari titik temu. Salah satu titik temu itu adalah desentralisasi asimetris yang lebih radikal,” tambahnya.

Dalam konsep desentralisasi asimetris, Gabriel memberi contoh soal partai lokal. Masyarakat Papua telah meminta kesempatan membangun partai lokal, tetapi pemerintah masih menutup pintu. Di saat bersamaan, kesempatan diberikan ke masyarakat Aceh.

Langkah kedua adalah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sebenarnya diamanatkan dalam UU Otsus 2001, tetapi justru dihilangkan dalam UU Otsus 2021. Gabriel menekankan, penyelesaian masalah Papua sebenarnya banyak bisa dilakukan di Jakarta, bukan di Papua sendiri.

Gabriel menyarankan tuntutan masyarakat Papua diturunkan, bukan lagi referendum tetapi pembentukan KKR, termasuk pelurusan sejarah tahun 1969, dan penerapan desentralisasi asimetris tadi.

“KKR difungsikan, desentralisasi asimetris diterapkan secara radikal. Ini memang tidak akan menyembuhkan luka masa lalu, tetapi paling tidak memotong mata rantai luka itu, untuk dibawa ke depan,” tandasnya.

Aksi PRP juga digelar di Bali, dengan tuntutan serupa. (Foto: PRP)

Aksi PRP juga digelar di Bali, dengan tuntutan serupa. (Foto: PRP)

Ada dua persepsi yang selama ini hidup terkait Pepera 1969, kata Gabriel. Bagi Indonesia, itu adalah peristiwa integrasi, namun bagi aktivis dan anak muda Papua, itu adalah sejarah aneksasi.

Ada dua aspek yang kemudian berkembang seiring waktu. Pertama, tidak ada lagi negara yang menolak hak Indonesia atas Papua, dan kedua bahwa yang menjadi persoalan adalah kasus-kasus pelanggaran HAM. Apa yang terjadi saat ini, adalah akumulasi peristiwa sejak 1969, dimana sebagian adalah peritiwa politk, sebagian peristiwa hukum termasuk pelanggaran HAM, dan sebagian peristiwa kultural.

Dalam sisi kultural inilah, kegagalan terjadi.

Aksi PRP juga digelar di Bali, dengan tuntutan serupa. (Foto: PRP)

Aksi PRP juga digelar di Bali, dengan tuntutan serupa. (Foto: PRP)

“Sejak menjadi bagian dari Indonesia, orang Papua banyak yang berpandangan bahwa hanya terjadi integrasi ekonomi dan integrasi politik tanpa integrasi kultural. Dan itu menegaskan identitas mereka sebagai ras melanesia, yang sangat berbeda dari Indonesia. Dalam bahasa yang lebih lugas, mereka mengatakan bahwa air dan minyak itu tidak pernah bisa bisa bersatu,” tegas Gabriel.

Setidaknya ada empat persoalan yang butuh penyelesaian, yaitu peristiwa Pepera 1969, pelanggaran HAM, marjinalisasi orang Papua dan depapuanisasi. Depapuanisasi kata Gabriel, adalah ide bahwa orang asli Papua itu secara pasti dan sistematis mulai digeser oleh membanjirnya migrasi.

“Jadi ini sejarah yang sudah bermasalah sejak awal, ditambah dengan pelanggaran HAM yang tidak pernah diusut, diperparah lagi dengan marjinalisasi, ketimpangan dan keterbelakangan, ditambah lagi dengan penegasan identitas yang berbeda sebagai ras Melanesia,” paparnya. [ns/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *