Nonbiner, Apa Itu?

Nonbiner, Apa Itu?


Video mengenai mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Hassanudin, Makassar, yang diusir dosennya karena mengaku nonbiner Agustus lalu viral di media sosial. Pembicaraan mengenai istilah nonbiner pun mengemuka dan menjadi sorotan.

Terlepas dari kontroversi terkait insiden itu, gender yang menunjukkan bukan laki-laki dan juga bukan perempuan itu sebetulnya sudah lama eksis, bahkan menjadi bagian dari budaya Indonesia.

Sejumlah pakar budaya percaya, orang-orang nonbiner telah eksis sejak awal peradaban manusia. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan, atau sederhananya, memiliki identitas yang cair dalam spektrum antara dua gender yang dikenal umum. Tidak sedikit, orang-orang nonbiner menyebut diri mereka agender alias tidak bergender untuk memupus kebingungan banyak orang.

Orang-orang nonbiner sering disebut juga transgender. Meskipun pada kenyataannya, banyak di antara mereka yang berkeberatan dengan istilah itu karena menunjukan peralihan jenis gender – dari laki-laki ke perempuan atau sebaliknya.

Tak sedikit pula orang yang secara keliru menyebut nonbiner sebagai gay, lesbian atau queer. Pada kenyataannya, berdasarkan studi-studi terbaru, orang nonbiner dewasa ini diperkirakan hanya sekitar 11 persen dari semua orang LGBTIQA+ (lesbian, gay, bisexual, transgender, interseks, queer, aseksual dan berbagai istilah lain seperti nonbiner dan panseksual).

Aktivis isu-isu sosial sekaligus penulis queer Nurdiyansah Dalidjo menegaskan, eksistensi nonbiner bukanlah tren baru atau hasil adopsi dari budaya Barat. Orang-orang nonbiner, katanya, adalah realita dalam keberagaman manusia sejak zaman peradaban. Dalam konteks beberapa masyarakat adat di Indonesia, orang nonbiner bahkan memiliki peran spiritual dan kultural.

“Di Jawa Timur, ada tradisi Reog Ponorogo. Di dalam tradisi itu ada yang namanya gemblak atau warok. Gemblak itu adalah sosok laki-laki yang feminin, yang terkadang juga digambarkan mengenakan make-up yang penuh, memiliki perangai yang feminin dan mengenakan pakaian yang sering diasosiasikan sebagai baju perempuan. Ini menegaskan adanya tradisi nonbiner yang tidak hanya diakui tapi juga dirayakan,” jelasnya.

Menurut Nurdiyansah, tradisi nonbiner juga eksis dalam masyarakat adat Bugis dan Toraja di Sulawesi.

 

Dalam tradisi Bugis, masyarakat tersusun dari oroane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (laki-laki trans), calalai (perempuan trans) dan bissu. Bissu – yang sering dikategorikan nonbiner — memiliki peran vital dalam memimpin upacara adat sebagai jembatan komunikasi antara dewa dan manusia melalui prosesi adat dengan menggunakan bahasa To Rilangi.

Di Toraja, kata Nurdiyansah, pemimpin agama adalah burake tattiku (perempuan) atau burake tambolang (laki-laki berpakaian perempuan). Burake, baik perempuan maupun laki-laki, bertanggung jawab untuk memimpin komunitas mereka dalam upacara spiritual dan ritual panen.

“Ini artinya, dalam sejumlah masyarakat adat ada orang-orang nonbiner yang memegang peran yang sakral, “ katanya.

Dalam tradisi Jawa, lengger lanang, sebuah tarian tradisional Jawa yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, dibawakan oleh seorang pria. Istilah lengger adalah bentuk kependekan dari frasa bahasa Jawa diarani leng jebule jengger, yang secara kasar diterjemahkan sebagai “dikira perempuan, ternyata laki-laki”. Tarian ini diyakini untuk membahagiakan dewi kesuburan, Dewi Sri, dan pertunjukannya sendiri telah populer sejak abad ke-16.

Namun, tentu saja, tradisi nonbiner di Indonesia bertahan bukan tanpa tantangan. Ais Nurbiyah Al-Jum’ah, seorang peneliti gender yang secara khusus mempelajari budaya Bugis pada 2018, mengatakan, tradisi nonbiner yang eksis sejak era pra-Islam mengalami perubahan pada abad ke-16 ketika terjadi ekspansi ajaran Islam.

Budaya Bugis, katanya, yang mengakui lima gender, dianggap melanggar norma agama dan sebagai penyebab munculnya feodalisme. Oleh karena itu, alat-alat upacara dan ritual tradisional dibakar dan dibuang ke laut. Beberapa bissu lebih memilih kematian daripada mengkhianati para dewa.

Pada masa Orde Baru, orang-orang nonbiner bahkan makin terancam. Pada tahun 1965, ketika bissu dicurigai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terjadi pembunuhan massal bissu. Pada tahun 1966, Operasi Pertobatan diluncurkan oleh Kahar Muzakkar, pemimpin gerakan Islam di Sulawesi Selatan, juga menyasar komunitas bissu.

Menurut lulusan pascasarjana UI itu, bissu atau orang-orang nonbiner sejenisnya kini lebih diperkenalkan sebagai komoditas budaya. “Saya sih tidak keberatan itu (bissu) diperkenalkan sebagai komoditas budaya. Tapi saya kira seharusnya nilai-nilai adat itu tetap ada dan dipertahankan sebagaimana mestinya,” jelas Bais.

Sebagai seorang bissu, Eka Pangkep, bukan nama sebenarnya, tidak setuju status yang dimilikinya dijadikan sekadar komoditas dewasa ini. Untuk mencapai posisi seperti dirinya, kata Eka, yang terlahir sebagai pria namun sehari-hari umumnya berpakaian perempuan, ia harus melalui perjuangan sulit yang mengharuskannya berkorban secara materil dan spiritual. Ia membutuhkan pengakuan pemerintah dan masyarakat yang lebih berarti.

“Terkadang kita dilirik jika dibutuhkan, setelah itu dibiarkan begitu saja Terkadang kalau ada tamu-tamu penting, bissu diundang. Kini sudah makin jarang. Jam terbang kami tidak banyak lagi,” komentarnya.

Menurut Eka, perlakuan terhadap bissu dewasa ini sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada masa kerajaan. Ia mengatakan, status bissu dulu sangat diagungkan dan oleh karenanya mereka memimpin berbagai acara ritual, menjadi penasehat raja di berbagai bidang dan ditempatkan di istana. Bahkan tidak sedikit yang menyamakan kemampuan bissu dengan dewa.

Kini, menurutnya, bissu lebih sering dianggap sebagai orang biasa, dan cenderung dikucilkan dan diasosiasikan sebagai waria. Seandainya pun mendapat pengakuan, kata Eka, mereka lebih sering dianggap hanya sebagai orang dengan kemampuan mengobati seperti halnya dukun.

Meski demikian Eka, yang memeluk agama Islam, mengaku tidak putus asa dan akan terus mempertahankan tradisi Bugis yang diagungkan pada zaman dulu itu. Ia mengaku, tidak malu dengan status ke-bissu-annya. Ia mengatakan, ia membutuhkan dukungan banyak pihak untuk memelihara tradisi itu.

Ais setuju, dan mengajak semua pihak untuk membuka diri. “Budaya Indonesia telah lama mengenal keragaman gender. Oleh sebab itu, sudah saatnya orang lebih terbuka pada diskusi tentang gender dan keragamannya. Buka ruang diskusi seluas-luasnya tentang gender, bissu, dan Bugis,” komentarnya.

Nurdiyansah menambahkan bahwa penting untuk mengakui komunitas yang tidak sesuai gender (gender-nonconforming community) karena setiap orang berhak mendapatkan perwakilan. “Mereka selalu menjadi bagian dari kemanusiaan, karena setiap individu memiliki sisi feminin dan maskulin,” jelasnya. [ab/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *