Mengapa Pengadilan AS Mengizinkan Pemilih di Empat Negara Bagian Menggunakan Peta Distrik Kongres yang Ditolak

Mengapa Pengadilan AS Mengizinkan Pemilih di Empat Negara Bagian Menggunakan Peta Distrik Kongres yang Ditolak

Ketika pemilihan paruh waktu berlangsung pada bulan depan, para pemilih di beberapa negara bagian yang dikuasai oleh Partai Republik akan memberikan suara mereka di distrik atau daerah pemilihan (dapil) Kongres di mana perbatasannya telah ditolak pengadilan.

Di Alabama, Georgia, Louisiana dan Ohio, peta dapil kongres dibuat oleh legislator Republik setelah sensus 2020. Hakim kemudian memutuskan bahwa peta itu dibuat secara ilegal atau kemungkinan akan terbukti ilegal di pengadilan.

Tapi Mahkamah Agung, dan pengadilan federal AS lainnya dengan mengikuti presedennya, telah mengizinkan peta yang ditolak itu digunakan untuk pemilihan ini, menolak usulan untuk membuatnya lebih adil.

Alasan mereka adalah adanya sebuah konsep hukum yang kurang dikenal yang mengatakan hakim harus menahan diri dari upaya mengubah aturan pemungutan suara menjelang pemilihan karena hal itu bisa menyebabkan kekacauan dan kebingungan dan menjauhkan pemilih dari tempat pemungutan suara.

Konsep yang dikenal sebagai “prinsip Purcell” ini diberi nama berdasarkan kasus Mahkamah Agung tahun 2006 yang disebut Purcell v. Gonzales. Kasus tersebut melibatkan tantangan hukum untuk persyaratan KTP pemilih Arizona. Kasus itu terjadi pada tahun pemilihan paruh waktu dan Mahkamah Agung menolak gugatan itu.

Dalam 16 tahun sejak putusan Arizona itu, “prinsip Purcell” telah menjadi apa yang dikatakan Hakim Agung Brett Kavanaugh sebagai “prinsip dasar hukum pemilu.”

“Ketika pemilu sudah dekat, aturan harus jelas dan pasti,” tulis Kavanaugh pada bulan Februari yang menjelaskan keputusannya untuk mengizinkan penerapan peta dapil kongres yang didukung Partai Republik meskipun telah ditolak oleh panel tiga hakim.

“Perubahan mendadak pada UU pemilu bisa menyebabkan gangguan dan konsekuensi yang tidak terduga dan tidak adil termasuk bagi kandidat, partai politik, dan pemilih,” tambah Kavanaugh.

Itu berarti hakim harus berhati-hati dalam mengeluarkan perintah yang mengubah aturan pemungutan suara menjelang pemilihan, dan itulah yang telah mereka lakukan. Pada tahun 2020, Mahkamah Agung berulang kali memblokir perubahan yang berupaya memudahkan pemilih untuk memberikan suara mereka selama pandemi COVID-19 yang mematikan.

Para pengecam mengatakan ini sama dengan mendahulukan administrasi pemilihan daripada melindungi hak untuk memilih. [my/lt]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *