Krisis Politik di Irak Memburuk, Dubes RI Himbau WNI Tidak Keluar Rumah

Krisis Politik di Irak Memburuk, Dubes RI Himbau WNI Tidak Keluar Rumah

Jam malam yang diberlakukan di Irak sebagai tanggapan atas kerusuhan yang terjadi sejak hari Minggu (28/8), telah dicabut pada hari Selasa (30/8).

Tetapi mengingat masih belum kondusifnya situasi keamanan di negeri seribu satu malam itu, terutama di wilayah ibu kota Baghdad dan beberapa kota di dekatnya, Duta Besar Indonesia Untuk Irak Elmar Iwan Lubis tetap meminta seluruh warga negara Indonesia di sana untuk tidak keluar rumah dulu.

“Kami menghimbau seluruh warga Indonesia untuk tetap tinggal di mana mereka berada sekarang, sama seperti kami orang KBRI yang saat ini masih dan semua diplomat asing yang ada semua masih tinggal di rumah, hunker down, dan terus melakukan komunikasi dan kontak dengan KBRI,” ujar Elmar.

Terdapat sekitar 491 warga Indonesia yang tinggal di Irak, dan sebagian besar berada di kota Baghdad dan Basra. Mereka rata-rata berprofesi sebagai pakar teknik di perusahaan-perusahaan minyak, mahasiswa, dan pekerja migran. Sejauh ini KBRI di Irak senantiasa berkomunikasi dengan simpul-simpul warga Indonesia tersebut.

Krisis politik di Irak memburuk setelah kelompok-kelompok Syiah yang saling bersaing tidak berhasil menemukan jalan keluar dari kebuntuan politik selama sepuluh bulan terakhir ini.

Usul ulama terkemuka Muqtada Al Sadr untuk membubarkan parlemen dan melangsungkan pemilu lebih awal ditolak oleh Dewan Kehakiman Tertinggi Irak pada 14 Agustus lalu, yang menilai mereka tidak berwenang melakukan hal itu.

Para pendukung Al Sadr memprotes keputusan itu dengan menyerbu parlemen dan memasuki Zona Hijau Baghdad. Blok politik Al Sadr telah memenangkan jumlah kursi terbesar di parlemen tetapi gagal membentuk pemerintahan mayoritas yang mengecualikan saingannya yang bersekutu dengan Iran. Bentrokan tak terhindarkan sejak akhir pekan lalu, yang mengakibatkan sedikitnya 22 orang tewas.

Kebuntuan politik ini membuat Al Sadr pada hari Senin (29/8) mengundurkan diri dan menyerukan kepada seluruh pendukungnya untuk meninggalkan Zona Hijau yang mereka duduki. Pengamat Timur Tengah di Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan memahami alasan pengunduran diri Al Sadr itu, meskipun menurutnya hal ini justru dapat membuat situasi di Irak semakin berbahaya.

“Ia frustrasi dengan kondisi yang ada dan ini akan membahayakan jika yang terjadi di lapangan tidak terkendali. Para pendukung Sadr sendiri bisa marah terhadap realitas politik yang ada. Memang kesempatan untuk melakukan koalisi dan duduk bersama antar faksi itu sulit dicapai, dan ini yang dialami Sadr,” jelas Yon.

Yon menilai di titik ini dibutuhkan bantuan pihak luar, baik Amerika Serikat atau PBB, untuk mendorong berlangsungnya dialog nasional antar kelompok-kelompok yang bertikai di Irak. [em/jm]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *