Ketahanan Pangan Jadi Fokus Forum Menteri Keuangan dan Pertanian G20

Ketahanan Pangan Jadi Fokus Forum Menteri Keuangan dan Pertanian G20

Kerawanan dan ketahanan pangan kembali menjadi fokus dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Pertanian G20 (JFAMM) yang dilangsungkan di ibu kota Washington DC pada Selasa (11/10).

Mulai beranjak naiknya harga pangan di seluruh dunia ditengarai akan memicu krisis global yang mendorong jutaan orang jatuh dalam kemiskinan ekstrem.

Laporan Bank Dunia pada awal Oktober lalu menunjukkan antara bulan Mei hingga Agustus ini, inflasi di atas 5 persen terjadi di hampir seluruh negara berpendapatan rendah (88,2 persen), yang berpenghasilan menengah ke bawah (91,1 persen) dan yang berpenghasilan menengah ke atas (93 persen).

Bahkan sejumlah negara sudah mengalami inflasi sebesar dua digit. Laporan itu juga memaparkan bahwa jumlah negara berpendapatan tinggi yang mengalami inflasi tinggi juga melesat, yaitu hingga sekitar 82,1 persen. Ini semua karena didorong oleh tingginya harga pangan.

Laporan Bank Dunia ini senada dengan laporan yang dikeluarkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP) pada September lalu, yang menunjukkan bahwa jumlah orang di 53 negara dan wilayah yang diperkirakan akan mengalami kelangkaan pangan akut dan membutuhkan bantuan mendesak akan naik menjadi 222 juta orang.

Atasi Kerawanan Pangan, Berbagai Inisiatif Digagas

Dalam konferensi pers seusai pertemuan JFAMM, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kembali komitmen untuk menggunakan semua piranti kebijakan yang tepat untuk mengatasi tantangan ekonomi dan keuangan, termasuk kerawanan pangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani berbicara dalam acara peluncuran buku "Keeping Indonesia Safe from the COVID-19 Pandemic" di Washington DC, pada 11 Oktober 2022. (Foto: Courtesy of KBRI DC)

Menteri Keuangan Sri Mulyani berbicara dalam acara peluncuran buku “Keeping Indonesia Safe from the COVID-19 Pandemic” di Washington DC, pada 11 Oktober 2022. (Foto: Courtesy of KBRI DC)

Ia menambahkan bahwa negara-negara G20 juga “telah siap mengambil tindakan kolektif yang cepat, termasuk bekerja sama dengan inisiatif lain.”

Menteri Sri memaparkan beberapa inisiatif global untuk mengatasi kerawanan pangan yang telah diluncurkan oleh organisasi regional, internasional dan bahkan secara mandiri oleh beberapa negara, antara lain UN Global Crisis Response Group (GCRG), the G7 Global Alliance for Food Security (GAFS), the Global Agriculture and Food Security Program (GAFSP), International Finance Institutions Action Plan, dan Global Development Initiative. Selain itu, terdapat pula G20 Agricultural Market Information System yang digagas FAO.

Selain berbagai inisiatif itu, Bank Dunia juga berkomitmen menyediakan $30 juta untuk pendanaan baru atau yang sudah ada untuk berbagai proyek terkait ketahanan pangan dan nutrisi untuk beberapa tahun ke depan.

Sementara itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo juga menggarisbawahi kesiapan Indonesia, selaku Presidensi G20, untuk menerapkan strategi guna meningkatkan kapasitas produksi, menstabilkan harga pangan, menekan inflasi, menurunkan impor dan meningkatkan ekspor pangan.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo hadir di pameran "ODICOFF 2022" (One Day of Indonesian Coffee, Fruits, Floriculture) di Washington DC,pada 11 Oktober 2022. (Foto: Courtesy of VOA)

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo hadir di pameran “ODICOFF 2022” (One Day of Indonesian Coffee, Fruits, Floriculture) di Washington DC,pada 11 Oktober 2022. (Foto: Courtesy of VOA)

Diwawancarai secara terpisah oleh VOA, ia mengatakan “optimis” dengan kemampuan Indonesia bertahan di tengah potensi kerawanan pangan.

IMF: Indonesia Jadi Titik Terang

Rasa optimis serupa ditunjukkan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional IMF Kristalina Georgieva ketika melangsungkan pertemuan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin (10/10).

“Indonesia tetap menjadi titik terang di tengah memburuknya ekonomi global,” tulis Georgieva dalam unggahan di akun Instagramnya.

Secara terpisah di akun Instagramnya, Sri Mulyani mengatakan Georgieva memberikan apresiasi kepada Indonesia karena “pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan kondisi stabilitas politik dan fundamental ekonomi yang kuat, di tengah kondisi dunia yang berat.”

Meski begitu, ia mengakui bahwa sepertiga negara di dunia akan mengalami tekanan ekonomi dalam 4-6 bulan ke depan, baik karena kesulitan akibat beban utang yang tinggi, maupun karena lemahnya fundamental makro ekonomi dan isu stabilitas politik.

Pertemuan JFAMM pertama pada Selasa diharapkan akan menjadi dasar koordinasi erat yang diperlukan di masa depan untuk menentukan cara terbaik dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan. [em/rs]


Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *