Karena Dukungan Tak Memadai, Bank-bank Sampah Kesulitan Bertahan

Karena Dukungan Tak Memadai, Bank-bank Sampah Kesulitan Bertahan

Armawati Chaniago tidak mengira Bank Sampah Induk Sicanang mengalami sandungan berarti setelah delapan tahun beroperasi. Pendiri dan direktur bank sampah di Sicanang, Belawan, Medan, ini mengaku, lembaga yang dipimpinnya sudah mencatat banyak kemajuan dan bahkan dijadikan proyek contoh. Bukannya makin membesar, operasi bank sampahnya nyaris stagnan. Sampai-sampai ia berpikir untuk menutup programnya.

Namun, bukan itu keputusan yang diambil Armawati pada akhirnya. Mengingat pentingnya keberadaan bank sampah dalam usaha menyelamatkan lingkungan, dan juga dorongan teman-temannya, ia tetap melanjutkan program itu namun disertai perubahan.

“Kalau sampai menutup sih tidak, tapi kami akhirnya melakukan sejumlah penyesuaian. Dua puluh tiga staf kami yang tadinya full bergaji bulanan, kini menjadi pekerja borongan. Artinya menyesuaikan jumlah pekerja dengan banyaknya sampah yang kami kelola,” jelasnya.

Perempuan berusia 46 tahun ini mengatakan, bank sampah merupakan cara yang efektif untuk mengurangi penumpukan sampah yang tidak pernah terhenti. Program ini dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan sampah di kota-kota besar seperti Medan yang menghasilkan 1.500 hingga 2.000 ton sampah per hari.

Karena Dukungan Tak Memadai, Bank-bank Sampah Kesulitan Bertahan

Bank Sampah Induk Sicanang berdayakan ibu-ibu untuk memilah sampah (Dokumentasi Bank Sampah Induk Sicanang)

Jika dikelola dengan baik, bank sampah juga memiliki nilai ekonomis. Namun menjaga keberlangsungan operasi bukanlah hal yang mudah. Sebelumnya, Bank Sampah Sicanang yang berfungsi memilah sampah dari TPA (tempat pembuangan akhir) utama di kawasan itu, dijalankan oleh 23 staf tetap, sekarang hanya dikelola oleh empat staf tetap.

Biaya operasional sebelumnya terlalu tinggi. Bank sampah menghabiskan dana pribadi hingga Rp20 juta per bulan. Walhasil, menurutnya, pengeluarannya jauh lebih besar daripada pendapatannya.

Apakah perubahan ini memukul para pekerjanya? Armawati membantah.

“Pertama, kita memberdayakan masyarakat sekitar. Kedua, mereka itu para ibu yang notabene bukan pencari nafkah utama. Ketiga, mereka punya lebih banyak waktu dengan keluarga. Jadi mereka hanya bekerja ketika sampah datang. Dari segi pendapatan, ini berimbang.”

Bank Sampah Induk Sicanang, Dipromosikan jadi pusat riset pengelolaan sampah pemerintah Sumatera Utara dan pemerintah Korea Selatan. (Dokumentasi Bank Sampah Induk Sicanang)

Bank Sampah Induk Sicanang, Dipromosikan jadi pusat riset pengelolaan sampah pemerintah Sumatera Utara dan pemerintah Korea Selatan. (Dokumentasi Bank Sampah Induk Sicanang)

Armawati menjelaskan, rendahnya manfaat ekonomi yang diperoleh partisipan membuat operasi bank sampahnya megap-megap dan terancam gulung tikar.

Armawati mengungkapkan, pendapatan satu kelompok pemilah sampah daur ulang mencapai Rp 8 juta hingga Rp12 juta per tiga bulan dengan kontinuitas seminggu sekali rata-rata 100 kilogram sampah daur ulang. Ini artinya, satu orang hanya mendapatkan sekitar Rp250.000 hingga Rp350.000 per bulan.

Persoalan serupa dihadapi Zainab Yusuf, 50, pendiri dan kepala bank sampah di Bagan Deli, Belawan. Ia mengatakan masih sulit mendorong masyarakat untuk rutin mengumpulkan dan menyetor sampah di bank sampah yang dikelolanya karena banyak yang beranggapan jerih payah mereka tak sepadan dengan manfaat ekonomi yang bisa langsung mereka rasakan.

“Ada orang yang per bulannya hanya berhasil mengumpulkan satu ember sampah plastik yang beratnya maksimal dua kilogram. Mereka secara perorangan per minggu ada yang mendapatkan Rp17.000, ada yang Rp15.000, dan bahkan ada yang hanya Rp5.000,” jelasnya.

Zainab Yusuf, Pendiri dan Kepala Bank Sampah PAUD Fitri (Dokumentasi PAUD Fitri)

Zainab Yusuf, Pendiri dan Kepala Bank Sampah PAUD Fitri (Dokumentasi PAUD Fitri)

Ia sudah berulang kali memotivasi mereka, tapi hanya sekitar 60 orang yang membawa sampah mereka ke bank sampahnya. Hasilnya pun tidak banyak setelah diuangkan di pengumpul sampah daur ulang di desa Bagan Deli.

Zainab memberdayakan sebagian besar istri nelayan. Hasil dari sampah yang dipilah yang dikumpulkan oleh masyarakat dijual dan uangnya digunakan untuk membayar biaya sekolah anak-anak mereka di pusat pendidikan anak usia dini (PAUD) yang dikelolanya, PAUD Fitri. Tidak heran, bila ia kemudian menamakan organisasinya: Bank Sampah PAUD Fitri.

Menurut Armawati, bank sampah yang dikelolanya sebetulnya mendapat dukungan pemerintah dalam dua tahun pertama operasinya, meski tidak sepenuhnya. Sayangnya, dukungan itu tidak berlanjut. Saat itu, katanya, dukungan pemerintah terbatas untuk membayar gaji staf setiap bulan, tetapi tidak untuk operasional sehari-hari, seperti sewa gudang, transportasi, dan kebutuhan kantor.

Meski minim dukungan pemerintah, Armawati terus menjalankan program bank sampah hingga saat ini. Ia berhasil mengelola 16 kelompok masyarakat yang terdiri dari 46.000 orang di 268 titik di Sumatera Utara dan dua di Aceh. Dalam satu bulan, kelompok masyarakat ini mampu mendaur ulang sampah sebanyak 4,7 ton.

Sepanjang 2020, bank sampah mampu menghasilkan bahan baku industri dari 2.600 ton sampah dengan nilai ekonomi Rp6,8 miliar dengan mendaur ulang hanya 2 persen sampah Kota Medan dalam setahun. Artinya selain menyelamatkan lingkungan, bank sampah juga menghasilkan nilai ekonomi.

Sampah membiayai sekolah anak-anak usia dini di Bagan Deli, Belawan (Dokumentasi PAUD Fitri)

Sampah membiayai sekolah anak-anak usia dini di Bagan Deli, Belawan (Dokumentasi PAUD Fitri)

Tantangan bagi bank sampah, menurut Armawati, adalah, tidak adanya kemauan politik dari pemerintah untuk memberi bantuan. Tanpa dukungan pemerintah, menurutnya, bank sampah memang masih tetap bisa beroperasi. Tapi, operasi itu akan lebih baik lagi jika pemerintah memberi dukungan.

Dukungan pemerintah, menurutnya, antara lain, dapat berupa stimulus kepada kelompok-kelompok pemilah sampah. Pemerintah dapat memberi insentif ekonomi sehingga kelompok-kelompok itu tidak hanya mengandalkan keuntungan yang mereka peroleh dari bank sampah.

Zainab lebih menyoroti masalah penegakan hukum. Di kawasan pesisir di mana bank sampahnya beroperasi, contohnya, masih banyak anggota masyarakat yang terbiasa membuang sampah ke laut dan tidak mendapat denda atau hukuman dari pihak berwenang.

“Bantuan pihak ketiga yang sifatnya menekan itu diperlukan. Masyarakat itu kan takut pada pemerintah. Kalau pemerintah menekan masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, itu kan bisa menimbulkan efek jera,” jelas Zainab.

Akmal Saputra (Paling kiri), Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Sampah Provinsi Sumatera Utara (Dokumentasi pribadi)

Akmal Saputra (Paling kiri), Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Sampah Provinsi Sumatera Utara (Dokumentasi pribadi)

Akmal Saputra, Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Sampah Provinsi Sumatera Utara, mengakui, bantuan yang diberikan pemerintah daerah terhadap operasi bank-bank sampah di provinsinya memang terbatas dan tidak terus menerus. Meski demikian, bantuan itu sendiri tidak kecil. Berkat bantuan pemerintah provinsi, contohnya, Bank Sampah Induk Sicanang mendapat dukungan dari Jepang dan Korea Selatan.

“Dulu pada awal berdirinya, kita memberi keyakinan kepada negara-negara donor bahwa kita serius menangani sampah. Jadi kita memberikan rekomendasi bahwa Bank Sampah Sicanang itu serius sehingga akhirnya mereka mendapat bantuan berupa bangunan. Dalam hal ini, artinya, pemerintah daerah menyiapkan lahan, pemerintah Jepang menyediakan dana konstruksi bangunan, dan prasarana-prasarana lainnya seperti dump truck dan peralatan-peralatan operasional lainnya,” ungkap Akmal Saputra.

Jika diuangkan, menurut Akmal, nilainya mendekati Rp1 milliar, mengingat harga dump truck (truk jungkit) sekitar Rp500 juta dan biaya konstruksi bangunan seputar Rp200 juta.

Karena keunggulan dalam pengelolaannya, Bank Sampah Induk Sicanang, katanya, sering dipromosikan sebagai bank sampah yang menjadi contoh bagi pembangunan bank-bank sampah lainnya, dan sebagai pusat riset pengelolaan sampah ketika pemerintah Sumatera Utara menjalin kerja sama dengan pemerintah Korea Selatan.

Persoalan yang dihadapi bank-bank sampah di Sumatera Utara juga dialami banyak bank sampah lain di berbagai penjuru Indonesia, termasuk Bank Sampah Makassar, yang sebagian operasinya terintegrasi dengan pemerintah setempat.

Syamsuddin, Pendamping Bank Sampah Makassar (Dokumentasi pribadi)

Syamsuddin, Pendamping Bank Sampah Makassar (Dokumentasi pribadi)

Syamsuddin, salah satu pendamping Bank Sampah Makassar, mengatakan motivasi masyarakat untuk mengumpulkan dan memilah sampah sehingga memiliki nilai ekonomi masih rendah. Bahkan, masih banyak warga yang membuang sampah sembarangan.

“Pertama, tingkat kesadaran masyarakat tentang pencemaran lingkuangan itu masih sangat rendah. Kedua, masyarakat masih membuang sampah sembarangan, Ketiga, masyarakat kurang peduli bagaimana pengelolaan sampah itu sendiri,” terangnya.

Dalam sebulan, Bank Sampah Makassar hanya mampu mengumpulkan sembilan ton sampah kering. Jumlah itu relatif sangat kecil dibanding jumlah sampah yang diproduksi kota itu setiap bulannya, yakni 1.000 hingga 1.200 ton, meski itu juga mencakup sampah organik yang mudah terdekomposisi di alam.

Makassar sendiri menargetkan bahwa pada tahun 2025, bank-bank sampah di kota itu bisa menanggulangi sedikitnya 30 persen sampah yang diproduksi setiap bulannya.

Menurut Syamsuddin, Pemerintah Daerah Makassar membantu operasi bank sampah dengan ikut mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat, serta memberikan layanan penjemputan sampah hasil pemilahan dan bernilai ekonomi dari bank-bank sampah kecil yang biasa disebut bank sampah unit, ke bank sampah induk.

Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021 mencatat ada 11.556 bank sampah di 363 kota atau kabupaten di Indonesia. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2021 memang memasukkan pengelolaan sampah oleh bank sampah, namun implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Bank sampah bertujuan untuk mengatasi permasalahan perkotaan, namun biasanya dijalankan secara mandiri oleh masyarakat karena tidak adanya dukungan dari pemerintah. [ab/uh]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *