Inflasi Tahunan September Tembus 5,95 Persen, Imbas Kenaikan Harga BBM

Inflasi Tahunan September Tembus 5,95 Persen, Imbas Kenaikan Harga BBM

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi tahunan (year on year/yoy) sebesar 5,95 persen pada September 2022, sementara angka inflasi secara bulanan (month to month/mtm) mencapai 1,17 persen.

Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan kenaikan inflasi tersebut sebagai buntut dari kebijakan pemerintah dalam menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada awal September lalu.

Tangkapan layar Kepala BPS Margo Yuwono (Youtube BPS)

Tangkapan layar Kepala BPS Margo Yuwono (Youtube BPS)

“Jika dilihat penyumbang inflasi di September ini, di antaranya berasal dari kenaikan bensin, tarif angkutan dalam kota, beras, solar, tarif angkutan antar kota, tarif kendaraan online, dan juga bahan bakar rumah tangga,” ungkap Margo dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (3/10).

Margo menjelaskan laju inflasi tahunan ini merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2015, yang pada saat itu mencapai 6,25 persen. Sementara inflasi bulanan, katanya, merupakan yang tertinggi sejak Desember 2014 yang ketika itu mencapai 2,64 persen.

Pengendara sepeda motor mengantre untuk membeli BBM bersubsidi di SPBU Pertamina setelah pengumuman kenaikan harga BBM di Bekasi. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Pengendara sepeda motor mengantre untuk membeli BBM bersubsidi di SPBU Pertamina setelah pengumuman kenaikan harga BBM di Bekasi. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Secara historis, kata Margo, dampak dari kenaikan harga BBM subsidi terhadap inflasi tidak cukup panjang, yakni hanya sekitar dua bulan. Meski begitu, ia menekankan kebijakan pemerintah dan situasi global juga menjadi faktor penentu dari iaju inflasi ke depannya.

“Bahwa kenaikan harga BBM itu dampaknya tidak hanya di bulan yang bersangkutan, tapi juga bisa berdampak kepada bulan-bulan berikutnya, ini bicara tren data, bicara historis. Tapi apakah itu terjadi, ya nanti tergantung dari bagaimana berbagai kebijakan dari pemerintah misalnya melalui BI, bisa mengendalikan inflasi di bulan berikutnya. Kalau melihat sejarah itu hanya terjadi satu bulan, terus naik lagi. Kemudian di bulan berikutnya sudah landai kembali. Jadi shock-nya kenaikan BBM itu hanya dua bulan,” tuturnya.

Warga berbelanja minyak goreng di sebuah supermarket di Jakarta, 27 Maret 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Warga berbelanja minyak goreng di sebuah supermarket di Jakarta, 27 Maret 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Secara terperinci, Margo mengatakan dari 90 kota yang diamati oleh BPS, 88 kota di antaranya mengalami inflasi. Inflasi tertinggi tercatat di Bukit Tinggi yang mencapai 1,87 persen, dimana kenaikan harga menjadi penyebab utamanya. Inflasi terendah tercatat di Merauke yang mencapai 0,07 persen. Dua kota, yakni Manokwari dan Timika, dilaporkan mengalami deflasi masing-masing 0,64 persen, dan 0,59 persen.

Pemerintah Perkuat Jaring Pengaman Sosial

Dalam kesempatan yang sama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan kenaikan laju inflasi diklaim masih berada dalam kategori yang cukup ringan. Meski begitu, katanya, semua pihak terutama para kepala daerah harus tetap waspada, untuk bisa mengendalikannya di masing-masing daerahnya.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian Tito pada Minggu, 19 Juli 2020. (Foto: Screengrab)

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian Tito pada Minggu, 19 Juli 2020. (Foto: Screengrab)

“Kami juga sudah minta kepada Kepala BPS untuk mengumumkan juga per provinsi, kalau bisa juga diumumkan kabupaten/kota masing-maisng. Dengan demikian akan ada iklim kompetitif di antara rekan-rekan kepala daerah, bersinergi dengan semua unsur yang ada di daerahnya masing-masing untuk menekan inflasi. Kalau semua daerah bisa mengendalikan inflasinya maka otomatis angka nasional juga akan bisa dikendalikan,” ungkap Tito.

Guna meminimalisir dampak negatif dari inflasi tersebut, kata Tito, pemerintah juga akan memperkuat jaringan pengaman sosial. Menurutnya, masing-masing kepala daerah harus jeli dalam mencari solusi untuk menekan inflasi di wilayahnya masing-masing, karena penyebab inflasi di setiap daerah pasti berbeda-beda.

Ia menjelaskan, ada beberapa instrumen yang bisa digunakan oleh daerah untuk menekan inflasi. Pertama, katanya adalah instrumen APBD, yakni dua persen dari dana transfer umum bisa digunakan untuk mengendalikan inflasi. Kedua, menggunakan anggaran belanja tidak terduga. Menjelang akhir tahun ini, ungkap Tito, anggaran belanja tidak terduga untuk seluruh wilayah masih tersisa di atas Rp7 triliun.

“Sebagian mungkin bisa dialokasikan untuk menjaga kemungkinan terjadinya bencana, termasuk bencana alam, tapi sebagian lagi realisasi belanja yang real adalah untuk mengendalikan inflasi di daerah masing-masing termasuk memberikan subsidi untuk transportasi dari daerah produsen ke konsumen,” jelas Tito.

Selain itu, anggaran desa juga bisa digunakan untuk menekan inflasi. Dana desa tersebut bisa digunakan untuk memberikan dukungan bantuan kepada masyarakat di desa-desa masing-masing tentunya selain bersumber dari bantuan regular dari pemerintah pusat atau kementerian terkait.

Suasana di sebuah SPBU di Samarinda, Kalimantan Timur (Foto: dok). Pemerintah merencanakan penggunaan kartu pintar untuk mengatasi masalah BBM di tanah air.

Suasana di sebuah SPBU di Samarinda, Kalimantan Timur (Foto: dok). Pemerintah merencanakan penggunaan kartu pintar untuk mengatasi masalah BBM di tanah air.

Dampak Panjang Kenaikan Harga BBM Subsidi

Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan efek dari kenaikan harga BBM subsidi tidak hanya akan cukup panjang, tetapi juga menjalar ke berbagai sektor. Hal ini, katanya, terlihat dari biaya transportasi yang mengalami inflasi cukup tinggi, serta harga pangan yang juga belum turun signifikan di mana inflasinya masih berada di level tujuh persen.

Selain itu, katanya, dampak dari kenaikan harga BBM juga cukup terasa pada naiknya harga-harga elektornik, pakaian jadi, otomotif karena naiknya ongkos angkutan. Efek dari pelemahan nilai tukar rupiah juga harus diperhatikan oleh pemerintah. Harga-harga barang impor yang terkerek naik bisa mendorong inflasi. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) juga akan berdampak pada naiknya suku bunga pinjaman, yang artinya pelaku usaha juga akan meneruskan biaya kenaikan pinjaman mereka kepada konsumen.

“Jadi apakah inflasinya mungkin mencapai enam persen? Sangat bisa, 6-6,5 persen sampai akhir tahun. Dan nanti akan ada dorongan inflasi dari sisi permintaan pada periode natal dan tahun baru, dan itu bisa menyumbang inflasi musiman lebih tinggi. itu memang harus diwaspadai,” ungkapnya kepada VOA.

Bhima mengatakan penguatan jaringan pengaman sosial yang dilakukan oleh pemerintah saat ini belum cukup mampu meredam laju inflasi secara signifikan. Pasalnya, ada beberapa masalah yang tidak bisa diselesaikan di dalam negeri, salah satunya adalah pelemahan nilai tukar.

Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira (screenshot)

Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira (screenshot)

Selain itu, dengan ketidakpastian global saat ini, negara asal pengimpor juga akan melakukan berbagai kebijakan seperti melakukan proteksi dagang atau restriksi, yang tentunya akan berpengaruh sekali terhadap harga jual barang yang ada di Tanah Air.

“Jadi memang situasi global, inflasi ini merata di banyak negara. Jadi kita melihat ini harus koordinasi dengan negara asal impor pangan, memastikan stok pangan untuk Indonesia tidak terganggu. Kemudian menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan, ini kan (inflasi) sebabnya karena (naik harga) BBM, sebenarnya pemeirntah masih punya ruang untuk menurunkan harga BBM melihat dari surplus APBN yang cukup besar sampai Agustus. Jadi harusnya uang itu digunakan untuk menurunkan kembali harga BBM, harga minyak mentah juga turun,” pungkasnya. [gi/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *