IDAI Temukan 100 Kasus Anak Terinfeksi Gagal Ginjal Akut Misterius

IDAI Temukan 100 Kasus Anak Terinfeksi Gagal Ginjal Akut Misterius

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat lonjakan kasus gagal ginjal akut misterius dalam beberapa bulan terakhir pada anak-anak yang berusia di bawah enam tahun.

Dokter Spesialis Anak Konsultan Nefrologi dr Henny Adriani Puspitasari dalam kanal YouTube IDAI_TV, Senin (10/10), mengungkapkan sampai saat ini penyebab terjadinya infeksi tersebut masih belum diketahui dan sedang dalam proses investigasi.

“Di seluruh Indonesia cukup banyak, mungkin ada sekitar 100-an lebih dari Januari. Namun, dalam dua bulan terakhir kita melihat ada lonjakan kasus gangguan ginjal akut, lebih banyak dari yang kita temukan,” ungkap Henny.

Adapun gejala yang ditemukan pada anak-anak yang terkena gagal ginjal akut misterius ini diantaranya adalah menurunnya jumlah air seni secara drastis dan tiba-tiba, dan kemudian berlanjut dengan tidak mengeluarkan air seni sama sekali. Gangguan ginjal akut tersebut memburuk secara mendadak dan cepat, katanya

“Itu sebenarnya yang membuat kami sebagai dokter anak terutama yang bergerak di bidang ginjal, itu menjadi sebuah hal yang dalam tanda kutip, kok tidak biasanya,” tuturnya.

Anak-anak yang sakit dirawat oleh petugas kesehatan di sebuah rumah sakit di Agats, Kabupaten Asmat, 22 Januari 2018. (Foto: Antara/M Agung Rajasa via REUTERS)

Anak-anak yang sakit dirawat oleh petugas kesehatan di sebuah rumah sakit di Agats, Kabupaten Asmat, 22 Januari 2018. (Foto: Antara/M Agung Rajasa via REUTERS)

Selain itu, kata Henny, gejala gangguan ini pada anak-anak disertai demam tinggi hingga diare. Henny yang menyebut penyakit ini gangguan ginjal akut progresif atipikal menduga penyakit ini ada kaitannya dengan COVID-19.

Pasalnya, penyakit ini kebanyakan teridentifikasi pada anak-anak yang berusia di bawah enam tahun yang belum memiliki kekebalan terhadap COVID-19, karena belum bisa divaksinasi.

“Kita melihat bahwa sebagian besar anak-anak ini punya bukti terhadap infeksi COVID-19 baik yang saat ini sedang terjadi, maupun yang pernah terjadi sebelumnya atau yang kita sebut memiliki antibodi COVID-19. Lalu kita berpikir apakah ini berhubungan? Kita belum bisa mengkonfirmasi hubungannya, tapi kita tetap berpikir ini adalah sesuatu yang berkaitan,” tuturnya.

Maka dari itu, sambil menunggu hasil investigasi terkait penyakit ini, Henny meminta para orang tua waspada apabila memiliki anak di bawah usia enam tahun yang memiliki gejala-gejala seperti yang disebutkan sebelumnya. Apabila terdapat gejala-gejala tersebut, orang tua harus segera membawa anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.

Dokter Spesialis Anak Konsultan Nefrologi dr Henny Adriani Puspitasari mengatakan pihaknya menemukan 100 kasus anak yang menderita gagal ginjal akut misterius di Indonesia yang masih diinvestigasi penyebab pastinya ( screenshoot )

Dokter Spesialis Anak Konsultan Nefrologi dr Henny Adriani Puspitasari mengatakan pihaknya menemukan 100 kasus anak yang menderita gagal ginjal akut misterius di Indonesia yang masih diinvestigasi penyebab pastinya ( screenshoot )

“Sampai saat ini karena kita juga masih mempelajari penyebabnya, aksi utama kita adalah, kita ingin supaya moms and dads di rumah, kemudian para tenaga kesehatan yang ada di fasilitas kesehatan primer mengetahui gejala-gejala apa yang harus diwaspadai. Jadi kalau misalnya kita punya anak terutama di bawah usia enam tahun, yang dia mengalami demam, diare, ada gangguan saluran napas, muntah, kemudian kita harus memperhatikan produksi air kencing dari anak kita. Kita harus memastikan mereka dapat cairan yang cukup, kemudian kita harus rajin-rajin buka popoknya, ada kencingnya gak ya, atau berkurang tidak air kencingnya daripada biasa?,” jelasnya.

Perlu Investigasi Lebih Lanjut dan Mendalam

Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengungkapkan penyebab dari gagal ginjal akut misterius pada anak ini perlu diinvestigasi secara mendalam. Menurutnya, tidak semua penyakit bisa disangkut pautkan dengan COVID-19, hanya karena status pandemi masih ada.

Ahli epidemiologi, Pandu Riono dalam sebuah webinar, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Petrus Riski)

Ahli epidemiologi, Pandu Riono dalam sebuah webinar, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Petrus Riski)

“Ya kita harus pelajari bersama-sama, kenapa bisa terjadi seperti itu? Kenapa kok hanya (terjadi di) Jakarta, Surabaya atau beberapa kota besar saja? Ada yang mengatakan itu kaitanya dengan karena ini musim banjir, jadinya tikus sering membawa kotoran yang tergenang air, anak-anak main di air, dan kotorannya ada kuman yang namanya Liptoscirosis, itu juga bisa menyebabkan gangguan ginjal akut,” ungkap Pandu kepada VOA.

Menurutnya, untuk mengetahui penyebab pasti dari gagal ginjal akut misterius pada anak-anak membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Ia berharap, investigasi dapat dilakukan dengan seksama.

“Kalau kemungkinan ya mungkin saja ada, tapi kenapa kalau kemungkinan, kenapa kok hanya di beberapa kota itu. yang kena COVID-19 kan banyak. Masih harus diinvestigasi, disingkirkan kemungkinan-kemungkinan, itu tidak mudah,” tegasnya.

Senada dengan Pandu, ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengungkapkan memang dibutuhkan investigasi untuk mengetahui penyebab pasti dari gagal ginjal akut pada anak-anak tersebut.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

Lebih jauh, Dicky menjelaskan meskipun nanti akhirnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status pandemi COVID-19, bukan berarti dampak dari COVID-19 akan berhenti begitu saja. Bahkan, kata Dicky, bisa saja ke depannya akan ditemukan berbagai dampak menengah maupun panjang dari COVID-19 itu sendiri, yang akan terjadi terutama pada kelompok yang belum bisa terlindungi dari vaksin COVID-19 termasuk anak-anak yang berusia di bawah enam tahun.

“Ini adalah kelompok orang yang memiliki risiko besar, apalagi kalau infeksinya berulang, yaitu kelompok paling besar yang disebut dengan long COVID maupun dalam bentuk gejala kerusakan organ tubuh yang bisa dialami terutama organ tubuh ini yang sudah kita tahu ginjal dengan pankreasnya, kemudian hati, paru, otak selain tentu jantung termasuk. Ini yang cepat atau lambat akan kita temukan kasus-kasus infeksi maupun bentuk kegagalan organ lain yang timbul atau mengemuka pada kelompok itu,” ungkap Dicky kepada VOA.

Dicky mengatakan, momentum temuan kasus-kasus seperti ini harus dijadikan pembelajaran bagi pemerintah untuk bisa meningkatkan deteksi dini atau surveillance baik pada penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Selama pandemi COVID-19, katanya, sudah terbukti bahwa Indonesia lemah dalam hal ini.

“Di sisi lain dalam beberapa diskusi dengan sejawat di klinik anak, ada kasus-kasus infeksi yang berakhir kematian yang belum jelas penyebabnya, dan ini tentu harus menjadi upaya kita untuk memperkuat surveillance, artinya kita harus bisa meningkatkan satu surveillance yang berkontribusi pada registrasi kematian yang akhirnya akan membantu memperjelas bawah setiap kematian itu diketahui dengan tepat penyebab. Di masa pandemi kita sangat bisa melihat begitu lemahnya kemampuan kita dalam registrasi kematian, dan ini kalau tidak diperbaiki akan menjadi masalah besar bagi ancaman wabah berikutnya,” pungkasnya. [gi/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *