Harga Anjlok, Petani Sawit Harapkan Peran Lebih Pemerintah

Harga Anjlok, Petani Sawit Harapkan Peran Lebih Pemerintah

Petani sawit di Sekadau, Kalimantan Barat, harus menerima kenyataan hasil panen mereka dihargai tak seberapa oleh pabrik. Albertus Wawan misalnya, mengaku harga TBS yang mereka terima ada di kisaran Rp500 per kilonya, jauh lebih rendah dari harga normal yang diharapkan.

“Harga Rp500 atau harga di bawah Rp1.000 per kilo sebenarnya petani sudah tidak mendapat apa-apa. Cuma, masalahnya kalau kita tidak panen, nanti akan rusak itu sawit kita. Akan tumbuh brondolnya, akan butuh biaya lagi untuk semprot herbisida,” ujarnya kepada VOA, Senin (4/7).

Harga TBS sebenarnya ditetapkan pemerintah daerah. Di Sekadau, harga ditentukan dua kali dalam sebulan, untuk lima belas hari pertama dan lima belas hari terakhir. Saat ini, merujuk pada ketetapan pemerintah daerah, periode satu bulan Juli, harga TBS ada pada Rp2.500.

Harga Anjlok, Petani Sawit Harapkan Peran Lebih Pemerintah

Seorang pekerja memuat buah sawit milik PT Perkebunan Nusantara VIII Kertajaya di Banten, 19 Juni 2012. (Foto: REUTERS/Supri)

“Itu kan diterima di pabrik, belum potong biaya angkutan, penyeberangan, kemudian bongkar muat TBS. Itu jatuhnya ke petani harusnya sekitaran Rp1.500-Rp1.700. Itu untuk petani yang sudah bermitra dengan perusahaan,” tambah Wawan.

Pada praktiknya, harga di tingkat petani tetap di bawah Rp1.000 per kilonya. Di kalangan petani yang bukan merupakan mitra Pabrik Kelapa Sawit (PKS), harganya justru lebih anjlok lagi. Kelompok tani ini, sudah enggan mengurus kebun dan memilih untuk bekerja sebagai kuli atau pekerjaan serabutan lain.

“Ketergantungan kita dengan PKS itu sangat tinggi, karena lembaga petani maupun petani belum bisa mengolah sendiri sawitnya,” tambah Wawan.

“Harapan kita ke pemerintah, untuk menyelamatkan petani, setop dulu pungutan ekspor yang untuk BPDKPS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit -red) agar petani masih bisa bertahan. Karena di Kalimantan Barat ini, luas kebun sawitnya nomor dua di Indonesia, banyak daerah yang tergantung pada sawit,” ujar Wawan lagi.

Strategi Dana BPDPKS

Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (INAgri), Achmad Ya’kub, sepakat dengan pilihan untuk menghapus kewajiban menyetor dana bagi BPDPKS, sementara ini.

“Ini usulannya, pabrik membeli sawit, tetapi tidak terkena potongan dana itu. Efektif usulan petani itu, jadi tidak ada lalu lintas uang yang masuk ke pabrik, pabrik tidak perlu bayar pajak ke pemerintah,” kata Achmad ketika dihubungi VOA.

Asnimawati, gadis 13 tahun, bekerja di perkebunan kelapa sawit di Pelalawan, Provinsi Riau. (Foto: AFP/Adek Berry)

Asnimawati, gadis 13 tahun, bekerja di perkebunan kelapa sawit di Pelalawan, Provinsi Riau. (Foto: AFP/Adek Berry)

Selama ini, pemerintah memang menetapkan pungutan ekspor sawit kepada industri. Namun, kenyataannya, pungutan itu sebenarnya dibebankan kepada petani ketika menjual sawit. Jika dihilangkan, dana itu tentu cukup membantu menolong petani mengatasi situasi sulit saat ini.

Achmad juga menekankan pentingnya pengawasan dari pemerintah, terkait kepatuhan PKS membeli sawit petani sesuai harga yang ditetapkan setiap periodenya.

“Harusnya, pemerintah langsung melakukan pengawasan di PKS-PKS. Paling efekif menerjunkan dinas pertanian dan Pemda untuk memastikan harga pembelian, sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah di lokasi tersebut,” tambah Achmad.

Ekosistem bisnis sawit selama ini memang tidak berimbang. Industri berkonsentrasi pada produksi CPO, dengan pendirian pabrik dan penguasaan lahan. Sementara, kata Achmad, petani sibuk pada peningkatan produksi dan perluasan lahan, tanpa belajar pengolahan pasca produksi. Peran pemerintah penting untuk memperbaiki ekosistem sawit yang stagnas sejak tahun 1980-an ini, kata Achmad.

Dalam jangka menengah, jalan keluar bisa dirintis dengan mendorong koperasi petani mengolah sawit untuk minyak goreng. Achmad mengatakan, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki belum lama berkunjung ke Sumatra untuk melihat upaya ini. Minyak goreng yang diproduksi memang berwarna merah dan memiliki bau, tetapi fungsinya sama. Diperlukan sosialisasi lebih agar masyarakat bisa menerima produk minyak goreng olahan koperasi petani ini.

“Kita dorong ekosistem supply chain kelapa sawit ini tidak tergantung teknologi tinggi dan modal besar. Jadi level masyarakat pun bisa melakukan itu. Tantangan ke depan justru mempopulerkan minyak ini karena berbau dan warnanya merah. Jadi butuh waktu agar konsumen beradaptasi,”ucapnya.

Menkop UKM Teten Masduki bertemu petani sawit di Agam, Sumatra Barat membahas produksi minyak merah. (Foto: Humas Kemenkop UKM)

Menkop UKM Teten Masduki bertemu petani sawit di Agam, Sumatra Barat membahas produksi minyak merah. (Foto: Humas Kemenkop UKM)

Rintisan Minyak Merah

Pada 30 Juni 2022 lalu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki memang berkunjung ke Agam, Sumatera Barat. Disana akan berdiri pabrik pengolahan kelapa sawit menjadi CPO (crude palm oil), minyak goreng hingga minyak makan merah. Pendirinya adalah koperasi petani sawit setempat.

”Saya harapkan jika pabrik ini terbangun maka kita akan lebih mampu menjaga suplai minyak goreng di masyarakat,” kata Teten Masduki dalam pernyataan resminya.

Pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit oleh koperasi ini sangat penting, lanjut Teten.

“Supaya petani tak lagi bergantung kepada pabrikan industri besar, dan petani mampu memproduksi sendiri,” ujarnya beralasan.

Kemenkop UKM saat ini memang sedang menginisiasi pilot project program hilirisasi produk sawit rakyat melalui inovasi minyak makan merah, sebagai functional product (food dan non-food) melalui koperasi. Program itu memanfaatkan teknologi produksi sederhana untuk mengolah CPO, hingga dapat menghasilkan produk akhir berupa minyak makan merah yang lebih sehat dari minyak goreng komersil karena mempertahankan fitonutrien, berupa vitamin A, E dan Squalene.

Pemerintah Janjikan Perbaikan

Pemerintah sendiri sampai saat ini masih berupaya menemukan keseimbangan target dari sisi hulu hingga hilir terkait pengendalian minyak goreng. Dalam rapat evaluasi kebijakan pengendalian minyak goreng, Jumat (1/7), Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyinggung upaya memperbaiki harga TBS.

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan

“Saat ini harga minyak goreng telah mencapai Rp14 ribu per liter di Jawa-Bali, sehingga kebijakan di sisi hulu dapat kita mulai relaksasi secara hati-hati untuk mempercepat ekspor dan memperbaiki harga Tandan Buah Segar di tingkat petani,” kata Luhut dalam pernyataan resmi kementerian.

Karena kapasitas tangki di pabrik minyak sakit diperhitungkan akan penuh, pemerintah juga akan melakukan percepatan realisasi ekspor. Upaya ini juga menjadi solusi atas rendahnya harga TBS di tingkat petani.

“Saya minta Kemendag untuk dapat meningkatkan pengali ekspor menjadi tujuh kali untuk ekspor sejak 1 Juli ini, dengan tujuan utama untuk menaikkan harga TBS di petani secara signifikan,” tambah Luhut.

Petani Selalu Menjadi Korban

Dr Hempri Suyatna, Dosen dan peneliti di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (DPSK) Fisipol UGM. (Foto: courtesy)

Dr Hempri Suyatna, Dosen dan peneliti di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (DPSK) Fisipol UGM. (Foto: courtesy)

Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Hempri Suyatna, menilai dalam rantai kebijakan pemerintah, petani memang sering berada dalam prioritas rendah. Kasusnya tidak hanya terjadi di komoditas kelapa sawit, tetapi juga di berbagai komoditas lain.

“Kalau saya lihat, pemerintah tidak memiliki blue print yang jelas dalam penanganan persoalan minyak goreng, sehingga yang menjadi korban dalam gonjang-ganjing saat ini adalah petani kelapa sawit,” kata Hempri kepada VOA, Senin (4/7).

Hempri mengakui, pengaruh industri sawit lebih besar ke pemerintah daripada petani. Kecenderungan itu membuat kebijakan pemerintah cenderung menguntungkan industri, dan bukan sebaliknya.

“Kita tidak bisa memungkiri, bagaimana relasi bisnis dan politik ini selalu mewarnai kebijakan ekonomi di setiap rezim. Dan seringkali masyarakat menjadi obyek semata karena posisi tawar yang lemah,” tambahnya memberi alasan.

Hempri menyebut ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam konteks sawit ini. Dia menyarankan, dari sisi produksi, bentuk-bentuk subsidi dan insentif untuk pengembangan pertanian sawit perlu dilakukan. Selain itu, perlu ada evaluasi atas kebijakan ekspor dengan mempercepat ekspor minyak sawit mentah dan bahan baku minyak goreng sawit.

“Ini harus konsisten dilakukan, dengan blue print yang jelas. Dalam konteks ini, termasuk meningkatkan pemberian insentif kuota ekspor kepada produsen. Dengan demikian, keseimbangan hulu dan hilir tetap bisa terjaga,” tandasnya. [ns/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *