Gen Z Curahkan Emosi di Lembaran Kertas

Gen Z Curahkan Emosi di Lembaran Kertas

Fakta bahwa journaling kembali populer paling tidak dibenarkan Fifi Theresiani, 24, pemilik Paperie Lab, toko online alat tulis dan jurnal khusus. Perempuan berusia 24 tahun yang juga bagian dari generasi Z ini mengatakan, pandemi ikut mendongkrak popularitas journaling.

“Sebelum pandemi, 100 buku belum tentu terjual dalam enam bulan. Pada masa pandemi, 1.000 buku terjual selama enam bulan. Peningkatannya 10 kali lipat,” jelasnya.

Terhitung sejak pertama kali membuka penjualan online, Paperie Lab kini telah berhasil menjual lebih dari 20.000 buku, dan angka itu terus meningkat secara signifikan.

Buku yang dimaksud Fifi tentunya adalah buku untuk keperluan journaling. Lulusan desain komunikasi visual President University ini memulai bisnis tersebut beberapa tahun lalu karena melihat betapa banyak orang-orang seusianya yang rajin menuliskan apa yang mereka hadapi sehari-hari dalam buku.

Fifi Theresiani-- Pemilik toko buku online Paperie Lab (Dokumentasi Paperie Lab)

Fifi Theresiani– Pemilik toko buku online Paperie Lab (Dokumentasi Paperie Lab)

Ia pun melihat peluang bisnis ini. Ia memulainya dengan menawarkan buku yang disebut gratitude journal. Intinya, dalam buku itu, penggunanya bisa menuliskan apa saja yang menjadi keberhasilan mereka pada saat itu, meski sangat kecil sekalipun. Ketika pertama kali ditawarkan, peminatnya tidak banyak. Namun, pada masa pandemi, permintaannya luar biasa melonjak. Fifi menjelaskan apa yang bisa dituliskan dalam buku itu.

“Kayak small wins gitu setiap harinya. Apa-apa saja yang bisa kita syukuri. Apalagi, selama masa pandemi lalu, berita-berita cenderung negatif. Saya menawarkan gratitude journal untuk membantu mencari hal-hal positif setiap harinya,” jelasnya.

Buku-buku yang ditawarkan Paperie Lab, atau toko-toko sejenisnya, berbeda dengan buku diary yang dikenal generasi-generasi sebelumnya. Buku-buku itu disertai berbagai pengingat (prompter) yang memandu pemiliknya untuk menulis.

“Misalnya, letter to your future self, what are grateful for today?, what have you learned today?,” lanjutnya.

Menurut Fifi, pelanggan toko online-nya umumnya berada dalam kisaran usia 18 hingga 30 tahun, dengan konsentrasi terbesar pada usia di bawah 24 tahun. Mereka yang berstatus pelajar umumnya tertarik membeli study planner dan gratitude journal, sementara mereka yang sudah bekerja tertarik pada work binder atau buku persiapan pernikahan (wedding planner book).

Fakta generasi Z menggemari journaling juga terpantau Maria Jane Simanjuntak, seorang psikolog klinis dan dosen di Universitas Pembangunan Jaya. Ia bahkan menyarankannya.

Bukan Sekadar Buku Diari-- Buku-buku journaling dewasa ini disertai berbagai pengingat untuk memandu pemiliknya menulis (Dokumentasi Paperie Lab)

Bukan Sekadar Buku Diari– Buku-buku journaling dewasa ini disertai berbagai pengingat untuk memandu pemiliknya menulis (Dokumentasi Paperie Lab)

Journaling, katanya, merupakan bentuk terapi yang direkomendasikan. Perempuan yang akrab dipanggil Jane ini mengatakan, journaling berfungsi sebagai jembatan antara pasien dan terapis. “Journaling dalam dunia psikologi adalah metode atau alat untuk mendukung berjalannya proses terapi atau psikoterapi,” jelasnya.

Salah satu psikolog klinis di mindpeers.co, penyedia jasa telekonsultasi kesehatan mental yang berbasis di India ini mengatakan, praktik mencurahkan emosi, perasaan, dan pengalaman dalam tulisan bagi sebagian orang bisa menjadi terapi dan membantu mereka mengenal diri mereka sendiri. Jenis penjurnalan ini, katanya, adalah yang paling umum di kalangan penghobi.

Maria Jane Simanjuntak-- Psikolog klinis dan dosen di Universitas Pembangunan Jaya ((Dokumentasu Pribadi)

Maria Jane Simanjuntak– Psikolog klinis dan dosen di Universitas Pembangunan Jaya ((Dokumentasu Pribadi)

Namun, penting juga untuk dicatat bahwa seseorang tidak boleh mendiagnosis diri sendiri atau memilih jenis jurnal sendiri sebagai pengobatan tanpa berkonsultasi dengan profesional jika ada kekhawatiran tentang masalah psikologis.

“Ketika berbicara ada gangguan mental, diagnosisnya harus ditetapkan dulu oleh profesionalnya, dalam hal ini psikolog atau psikiater. Kalau dia self diagnosed, maka terapi journaling-nya pada umumnya tidak menimbulkan perubahan,” ungkap Jane.

Jane mengatakan, metode journaling dalam pengobatan harus dilakukan selangkah demi selangkah di bawah pengawasan profesional dan tidak dapat ditangani sendiri secara sembarangan meskipun mungkin terlihat mudah.

Di bidang psikologi, jenis-jenis penjurnalan harus disesuaikan dengan tipe kognitif seseorang dan kondisinya saat menjalani terapi. Seseorang tidak akan memiliki jenis jurnal yang sama dengan yang lain, meskipun keduanya memiliki kepribadian atau gejala yang sama.

“Kita tidak bisa pukul rata bahwa ketika depresi, misalnya, gratitude journal yang paling tepat. Bisa saja jurnal isi pikiran, atau jurnal emosi, yang harus mereka petakan terlebih dahulu sebelum sampai ke gratitude journal,” jelasnya.

Jane lebih jauh mengatakan bahwa journaling tidak sesuai bagi mereka yang memiliki gangguan mental yang disebut kepribadian ganda (dissociative personality disorder).

Seperti banyak teman sebayanya, Winda Prastika Johan, 23, seorang guru, mengaku journaling adalah bagian hidupnya, dan sebagai salah satu cara yang bisa membantunya menemukan jati diri.

“Menurut aku journaling itu bukan sebuah aktivitas. Journaling adalah bagian dari hidup aku. Bagi aku, buku jurnal itu adalah tempat yang sangat aman. Aku bisa menuliskan apa saja tanpa khawatir akan di-judge, tanpa harus menutup-nutupi. Ini sangat membantu aku dalam proses self-discovery,” jelas Winda.

Lebih jauh, Winda mengatakan, aktivitas journaling sangat penting dalam kehidupannya. Ia merasa aktivitas journaling memberi memori konkret perjalanan hidup. Aktivitas yang satu ini, menurutnya, membuatnya sadar dan bersyukur akan keberhasilan-keberhasilan yang dicapainya, meski kecil sekalipun.

Mengapa pula memilih pena dan buku, ketimbang notebook, iPad atau perangkat digital lainnya untuk menuliskan perasaan hati?

Fifi menjawab, “Sensasinya beda. Ide-ide lebih banyak mengalir sewaktu menggunakan pena dan kertas ketimbang perangkat digital.”

Winda menjawab,“Menulis dengan pena dan kertas melibatkan banyak proses. Saat menggerakkan tangan dan jari, lebih banyak otot yang bergerak. Sebagai akibatnya otak kita lebih terstimulasi.”

Fifi dan Winda mengatakan, bau kertas dan alat tulis juga memberi sensasi tersendiri ketika digunakan. [ab/uh]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *