Dampak Harga BBM Tinggi dan Inflasi Bagi Diaspora Indonesia di AS

Dampak Harga BBM Tinggi dan Inflasi Bagi Diaspora Indonesia di AS

Inflasi tinggi dan harga bensin yang sempat naik hampir dua kali lipat berdampak besar bagi kehidupan kebanyakan rakyat Amerika. Bukan hanya karyawan biasa, mereka yang memiliki atau mengurusi bisnis pun merasakannya. Apa perubahan yang mereka hadapi dalam hidup? Bagaimana mereka mencari jalan untuk mengatasinya dan apa pandangan mengenai masa depan mereka sewaktu menghadapi situasi seperti sekarang ini?

Awal tahun ini, harga rata-rata ritel BBM semua grade di AS tercatat di kisaran $3,413 per galon, menurut data US Energy Information Administration. Harga yang telah perlahan-lahan naik terus sejak tahun lalu itu kemudian menembus angka $5 per galon pada 11 Juni lalu. Kenaikan harga BBM, ditambah dengan laju inflasi 8,6 persen pada Mei lalu, angka tertinggi dalam 40 tahun lebih, diiringi dengan berbagai kenaikan harga barang dan jasa lainnya.

Dampak Harga BBM Tinggi dan Inflasi Bagi Diaspora Indonesia di AS

Irma Meitia, pegawai pemerintah negara bagian New York di Albany, New York. (Foto: pribadi)

Irma Meitia, pegawai negeri di ibu kota negara bagian New York, Albany. Baginya, “Inflasi sangat memukul dari segi keuangan. Cukup berat. Sebagai contoh, penghasilan tidak naik, dan untuk memenuhi kebutuhan saya sampai kerja (di) tiga (tempat).”

Memiliki dua pekerjaan sampingan sudah ia lakukan sejak sebelum inflasi melonjak tinggi. Namun kini, lanjutnya, ia selalu menyambar setiap kesempatan untuk bekerja lembur. Pasalnya, Irma mengaku tidak dapat menghilangkan kebiasaan menyisihkan sebagian penghasilan untuk ditabung, dan ia tidak ingin tabungannya terkuras untuk biaya hidupnya. Dengan harga BBM yang sekarang ini, misalnya, Irma harus mengeluarkan dana bensin 100-115 persen lebih banyak daripada biasanya. Ia tetap mengendarai mobilnya sendiri meskipun harga BBM naik, karena ini hal yang paling praktis baginya.

“Kalau pekerjaan itu hanya satu, cukup naik bus. Jauh lebih murah. Tetapi untuk menghemat waktu, mobil sangat dibutuhkan jika kita punya pekerjaan lebih dari satu dan sibuk setiap hari,” jelasnya.

Tidak bisa berhemat dari pengeluaran untuk bensin juga dirasakan oleh Tri Narmini, shift manager di restoran cepat saji Arby’s di bandara BWI Baltimore, Maryland.

Tri Narmini, shift manager di restoran Arby’s di bandara BWI, Baltimore, Maryland. (foto: dok. pribadi)

Tri Narmini, shift manager di restoran Arby’s di bandara BWI, Baltimore, Maryland. (foto: dok. pribadi)

Tri mengatakan tidak ada kendaraan umum ke tempat kerjanya dari tempat tinggalnya di ibu kota negara bagian itu, Annapolis. Namun ketika harga BBM naik sedemikian tinggi, ia bersyukur tidak lagi menjadi supir Uber, pekerjaan yang sempat ditekuninya selama sekitar enam tahun.

Sebagai manajer, ia mengikuti perkembangan kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan restorannya. Bukan hanya itu, sekarang setiap pesanan ke pemasok disertai dengan fuel surcharge, atau tarif tambahan untuk mengimbangi harga BBM. Ini menambah biaya produksi, yang kemudian diatasi oleh perusahaannya dengan menaikkan harga jual makanan.

Reaksi pelanggan, kata Tri, “It’s okay, (itu) kalau mereka yang mengerti, ya mengerti. Tapi sebagian orang enggak mengerti. Masya Allah, marahnya. ‘Whaaat?’ sampai seperti itu.”

Tri Narmini melayani pembeli di restoran Arby’s di bandara BWI, Baltimore. (foto: dok. pribadi)

Tri Narmini melayani pembeli di restoran Arby’s di bandara BWI, Baltimore. (foto: dok. pribadi)

Tri memaklumi jika pelanggan restorannya mengeluh. Harga salah satu menu paket kombo sarapan yang sebelum inflasi berkisar $7-8, misalnya kini naik menjadi sekitar $12. Tidak ada lagi menu sekitar 1 dolar, harga setiap makanan dalam paket kombo dihitung untuk setiap jenisnya. Meski demikian, ia menjamin rasa dan porsi makanan di tempat kerjanya itu tidak berubah.

Adiwi Ayundari bisa menjamin kualitas dan rasa masakan yang ditawarkan usaha kateringnya tidak berubah. Tapi untuk mempertahankan porsinya, ia susah melawan harga yang naik terus. Pengusaha catering di kota Rockville, Maryland, ini, mengatakan hampir semua bahan baku naik, termasuk kontener makanannya.

Adiwi Ayundari, pengusaha catering di kota Rockville, Maryland. (Foto: pribadi)

Adiwi Ayundari, pengusaha catering di kota Rockville, Maryland. (Foto: pribadi)

“Semuanya serba naik, kasihan juga customer, kalau misalkan mahal-mahal. Tapi ya bagaimana, saya juga bingung. Saya misalkan baru kemarin menaikkan harga, tahu-tahu harga sudah naik lagi. Apa saya harus berubah-ubah terus? Kan nggak enak juga berjualan seperti itu,” komentarnya.

Adiwi punya kiat mengatasinya. Ia mencermati toko-toko yang sedang mendiskon harga keperluan dapurnya dan mengatur rute belanjanya untuk menghemat BBM. Selain itu, ia terpaksa mengurangi sedikit porsi masakannya. Untuk jajanan pasar misalnya, dari semula tujuh kue dalam satu paket, ia menguranginya menjadi enam. Potongan ayam olahannya, ia kurangi sedikit ukurannya. Untuk biaya pengiriman makanan, ia menaikkannya dari $5 hingga $8-$10 tergantung jaraknya. Adiwi mengatakan, pelanggan ternyata lebih mengeluhkan kenaikan biaya pengiriman itu daripada harga makanannya.

Di luar bisnisnya, ia menyatakan kenaikan harga telah memengaruhi beberapa aktivitas dan rencana keluarganya. Adiwi yang biasa makan di luar rumah bersama suami dan kedua anaknya pada akhir pekan, kini harus berhitung ulang. Rencana berlibur ke LA, ia tunda sampai situasinya memungkinkan. Dan hobi touring pada musim panas dengan motor besar bersama suaminya, tidak akan seaktif musim-musim sebelumnya.

Membatasi perjalanan berlibur juga diterapkan oleh Tri dan Irma. Pada masa libur musim panas seperti sekarang, Tri membatasi perjalanan liburan hanya ke kota-kota yang dapat ditempuh sekitar satu jam. Ia dan suaminya bertindak cepat ketika kontrak apartemennya berakhir. Bukannya memperpanjang kontrak, ia memilih pindah ke apartemen yang jauh lebih kecil, yang membuatnya berhemat beberapa ratus dolar setiap bulan.

Irma Meitia, bekerja paruh waktu di sebuah toko ritel di New York. (Foto: pribadi)

Irma Meitia, bekerja paruh waktu di sebuah toko ritel di New York. (Foto: pribadi)

Sementara itu Irma, yang biasanya senang berlibur dengan melakukan road trip, hingga kini bahkan belum merencanakan liburan. Padahal ia sudah melakukan penghematan dalam banyak hal. Misalnya, membeli baju kerja profesionalnya di thrift store untuk busana kelas butik, dan membeli makanan dengan harga murah di supermarket karena sudah hampir kedaluwarsa.

Yang jelas, ia tidak takut menghadapi situasi ekonomi mendatang. Irma pernah menjalani situasi yang jauh lebih sulit beberapa tahun silam, ketika tidak memiliki pekerjaan dan nyaris tinggal di jalan karena tidak bisa membayar sewa rumah.

Sekarang, lanjutnya, “Paling tidak saya akan bertahan sebagai pegawai negeri. Ada gaji tetap. Alhamdulillah banget. Optimis situasi akan membaik, kita harus selalu optimis ya.”

Yang ia khawatirkan adalah apabila pemerintah tidak segera bertindak dan situasi ekonomi terus memburuk, kriminalitas akan meningkat.
Senada dengan Irma, Adiwi menyatakan, “Aku tetap semangat, optimis. Semangat. Yang namanya cari uang harus senang.”

Begitu pula Tri, yang tidak mengkhawatirkan pekerjaannya. “Kalau saya insyaAllah niat baik, rezeki ada saja. yang penting sehat. Kalau sering takut, hidup jadi stress. Yang penting jalani saja.” [uh/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *