Cegah Kekerasan, Pencegahan dan Pengawasan di Lingkungan Sekolah Harus Ditingkatkan

Cegah Kekerasan, Pencegahan dan Pengawasan di Lingkungan Sekolah Harus Ditingkatkan

Hasil pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama Januari-Juli 2022 menemukan 31 persen anak lelaki dan 69 persen anak perempuan dari total 52 anak menjadi korban kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Usia korban dalam rentang 5-17 tahun.

Dari wilayah kejadian, kekerasan seksual itu terjadi di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, dan Kota Depok (Provinsi Jawa Barat), Kabuapten Mojokerto, Kabupaten Jombang, dan Kabupaten Kediri (Provinsi Jawa Timur), Kabupaten tangerang dan Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten), Kabupaten Pekalongan (Provinsi Jawa Tengah), serta Kabupaten Karimun (Provinsi Kepulauan Riau).

Cegah Kekerasan, Pencegahan dan Pengawasan di Lingkungan Sekolah Harus Ditingkatkan

Keterangan foto: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti. (Courtesy: KPAI)

Komisioner KPAI Retno Listyarti, Sabtu (23/7), menjelaskan temuan itu adalah kasus-kasus yang sudah menjadi penyelidikan atau penyidikan polisi. Dia menambahkan temuan KPAI ini untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Kemendikbudristek dan Kementerian Agama dalam merumuskan bentuk-bentuk pencegahan terjadinya kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk kekerasan seksual, pengawasan, dan perlindungan terhadap peserta didik.

“Ini cukup mengejutkan karena sebagian besar pelaku adalah guru atau ustad, jumlahnya kalau kita gabung 80 persen. ternyata peserta didik, laki dan perempuan, semuanya punya kerentanan menjadi korban kekerasan seksual,” kata Retno.

Petugas kesehatan melakukan tes antigen COVID-19 pada siswa SMP di Surabaya, pada 9 Juni 2022. (Foto: AFP/Juni Kriswanto)

Petugas kesehatan melakukan tes antigen COVID-19 pada siswa SMP di Surabaya, pada 9 Juni 2022. (Foto: AFP/Juni Kriswanto)

Menurut Retno, guru menjadi pelaku kekerasan seksual paling banyak karena mereka memiliki kesempatan dan soal relasi kuasa antara pendidik dengan anak didik. Dia menegaskan kalau ada sistem pencegahan, pengawasan dan pengaduan yang baik, guru tidak akan memanfaatkan relasi kuasa itu untuk melakukan kekerasan seksual kepada anak didiknya.

Sistem pencegahan itu, tambahnya, berupa satuan tugas antikekerasan di tiap lembaga pendidikan yang berisi bukan hanya pihak sekolah terkait tapi juga masyarakat sekitar. Juga harus ada sistem pengaduan yang tidak tunggal, sehingga tidak menjadikan seklah sebagai satu-satunya tempat mengadu bagi korban. Juga pelaku kekerasan seksual harus dipidanakan, tidak boleh ada mediasi untuk berdamai antara pelaku dan korban, sehingga bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Di samping itu, lanjut Retno, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama lebih banyak, seperti madrasah dan pesantren, yakni 75 persen. Sedangkan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan di bawah kontrol Kementerian Pendidikan sebanyak 25 persen.

Retno menilai salah satu faktor penyebab kekerasan seksual di lembaga pendidikan seperti madrasah dan pesantren karena Kementerian Agama belum memiliki regulasi yang mengatur tentang pencegahan dan penindakan terhadap kekerasan termasuk kekerasan seksual. Karena itu, KPAI mendrong Kementerian Agama untuk segera merumuskan aturan tentang pencegahan dan penindakan terhadap kekerasan, termasuk kekerasan seksual, di lembaga pendidikan yang berada di bawah kewenangannya.

Para siswa mengenakan masker untuk membantu mencegah penyebaran COVID-19 pada hari pertama pembukaan kembali sekolah di sebuah sekolah dasar di Jakarta, Senin, 30 Agustus 2021. (Foto: AP)

Para siswa mengenakan masker untuk membantu mencegah penyebaran COVID-19 pada hari pertama pembukaan kembali sekolah di sebuah sekolah dasar di Jakarta, Senin, 30 Agustus 2021. (Foto: AP)

Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anggi Afriansyah menjelaskan kekerasan di lembaga pendidikan dalam beberapa tahun terakhir memang mencuat, tapi bukan isu yang baru tiba-tiba muncul. Dia mengakui kehadiran media sosial makin mempercepat penyembaran isu kekerasan di lembaga pendidikan.

Menurutnya, dulu orang tidak terlalu mengetahui atau paham soal isu kekerasan di lembaga pendidikan karena informasi yang tersiar tidak terlalu terbuka seperti sekarang. Dia mengakui lembaga pendidikan belum bisa menangani masalah kekerasan di lingkungan mereka sendiri.

Anggi menilai isu kekerasan di lembaga pendidikan hanya menjadi kontroversi ketika ada satu kasus yang mendapat sorotan masyarakat secara luas.

“Tapi kemudian upaya preventifnya saya lihat memang sangat sulit dan tampaknya agak lamban dideteksi, baik oleh institusi pendidikan, institusi berbasis agama, atau pun di keluarga sendiri. Jadi orang baru tahu ada peristiwa tindak kekerasan ketika ada korban,” ujar Anggi.

Anak-anak bersama semua elemen masyarakat di Surabaya dalam koalisi yang digagas ALIT menyerukan stop kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak

Anak-anak bersama semua elemen masyarakat di Surabaya dalam koalisi yang digagas ALIT menyerukan stop kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak

Padahal, lanjut Anggi , sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kekerasan di Sekolah bertujuan untuk menciptakan sekolah aman dan nyaman. Lalu ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Anggi menekankan kedua aturan tersebut sudah disosialisasikan ke lembaga-lembaga pendidikan, tapi pelaksanaannya sangat bergantung pada ruang lingkup pendidikan masing-masing. Selain itu juga sangat problematik ketika guru terlibat dalam tindakan kekerasan atau banyak pembiaran, seperti kasus perundungan atau bullying.

Dia mengakui sulit dipercaya dalam banyak kasus, guru atau orang yang justeru dihormati adalah pelaku kekerasan di lembaga pendidikan. Hal ini, lanjutnya, terjadi antara lain karena mekanisme kontrol terhadap guru kurang. Apalagi guru diyakini banyak orang tidak mungkin melakukan perbuatan tercela.

Siswa SD yang memakai masker sedang mencuci tangan usai sekolah, di Jakarta, 30 Agustus 2021. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Siswa SD yang memakai masker sedang mencuci tangan usai sekolah, di Jakarta, 30 Agustus 2021. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Karena itu, perlu ada aturan di setiap lembaga pendidikan yang melarang murid memasuki ruang personal gurunya. Sebab jika sudah berada di ruang personal, sangat sulit melakukan kontrol ketimbang di ruang publik. Selain itu, harus ada kecurigaan terhadap orang-orang yang memiliki tendensi untuk melakukan kekerasan seksual.

Jika ingin mengimplementasikan dua aturan menteri pendidikan terkait kekerasan di lembaga pendidikan, Anggi mengatakan harus ada satuan tugas. Saat ini yang terjadi kalaupun ada, satuan tugasnya tidak berfungsi dan baru beroperasi ketika ada tindakan kekerasan atau masalah. Dia mengakui pencegahan kekerasan di lembaga pendidikan memang sulit dilaksanakan karena sempitnya ruang dialog dan tidak ada konsep kasih sayang.

Anggi menambahkan peran orang tua harus lebih dioptimalkan untuk pencegahan kekerasan di sekolah. Dia menyarankan orang tua harus menyaring konten yang ditonton anak dan memberi pemahaman kepada anak soal konten yang ditonton anak karena anak gampang meniru apa yang mereka saksikan.

Dia mengakui ketika ada laporan kekerasan di lembaga pendidikan, seringkali tidak ada sanksi terhadap lembaga pendidikan. Dia mengeaskan sanksi terhadap lembaga pendidikan sangat penting sehingga lembaga pendidikan menjadi lebih sadar tentang pentingnya pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan. Yang sering menjadi masalah adalah korban terzalimi, sedangkan pelaku hanya dikenai sanksi ringan atau kemudian didorong untuk mediasi untuk memaafkan pelaku.

Pelaksaan Tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek Anang Ristanto mengatakan mengatakan sejak tahun lalu pihaknya melakukan program evaluasi satuan pendidikan dengan mengukur hasil belajar literasi, numerasi dan karakter serta kualitas lingkungan belajar, termasuk keamanan sekolah. Hasilnya untuk mendorong sekolah dan pemerintah daerah menciptakan lingkungan bebas dari perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi.

Dia menambahkan upaya menghapus tiga dosa besar pendidikan (intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual) juga dilakukan melalui kampanye penguatan karakter. Kementerian Pendidikan juga bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait, termasuk KPAI dalam penindakan dan pencegahan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk kekerasan seksual. [fw/ft]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *