Bahas Penolakan Pendirian Gereja, Kementerian Agama akan Undang Wali Kota

Bahas Penolakan Pendirian Gereja, Kementerian Agama akan Undang Wali Kota

Keinginan jemaat gereja HKBP Maranatha Cilegon untuk memiliki rumah ibadah terusik dengan adanya penolakan dari sejumlah orang yang menamakan dirinya “Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon.” Bahkan Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta ikut menandatangani penolakan tersebut.

Analis Kebijakan dan Subkoordinator Pengembangan Dialog dan Wawasan Multikultural Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama, Paulus Tasik Galle kepada VOA, Sabtu (10/9), mengatakan pihaknya akan segera memanggil wali kota Cilegon ke Kementerian Agama, tetapi belum bisa dipastikan tanggalnya.

Pertemuan yang akan membahas terkait penolakan pendirian gereja HKBP Maranatha tersebut juga nantinya akan dihadiri oleh para tokoh agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan juga tokoh agama lain yang tidak tergabung dalam FKUB.

Bahas Penolakan Pendirian Gereja, Kementerian Agama akan Undang Wali Kota

Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin (GKI Yasmin) di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi menggelar ibadah Paskah di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat Minggu 27/3 (VOA/Fathiyah).

Menurut Paulus, penolakan masyarakat Cilegon itu didasarkan pada surat bupati tahun 1975 yang berisi imbauan untuk tidak mendirikan rumah ibadah non-muslim di Cilegon, yang saat itu masih wilayah kabupaten Serang. Ketika itu, lanjutnya, memang penduduk di wilayah itu 99 persen menganut agama Islam. Namun, saat ini situasinya sudah berbeda, di mana bermacam-macam pemeluk agama kini tinggal di sana.

Beragam Penganut Agam di Cilegon

Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, kompisisi umat Kristen di Cilegon telah mencapai 16.528.513, sementara umat Katolik mencapai 6.907.873. Jumlah tersebut setara dengan 9,86%. Sementara komposisi umat nonmuslim secara keseluruhan mencapai 12,82%.

Selain itu, surat bupati tahun 1975, kata Paulus, juga masih mendasarkan pada surat keputusan bersama (SKB) dua menteri (menteri agama dan menteri dalam negeri) No. 1 Tahun 1969 yang salah satunya mengatur pendirian rumah ibadah. Sementara yang berlaku saat ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

Pagar gereja GKI Yasmin yang terbengkalaui dan dipenuhi tanaman liar. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

Pagar gereja GKI Yasmin yang terbengkalaui dan dipenuhi tanaman liar. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

“Pada kenyataannya tentu Cilegon sudah bukan lagi seperti dikatakan 99 persen (Muslim) karena tentu dinamika penduduk, mobilisasi masyarakat karena mungkin karena Kratau Steel tentu membawa banyak perubahan. Kehadiran para karyawan, macam-macam pekerja yang datang untuk bekerja awalnya tetapi setelah itu kan mereka membutuhkan sebuah rumah ibadah,” ujar Paulus.

Terkait pendirian rumah ibadah, lanjut Paulus, seharusnya sikap kepala daerah merujuk pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. PBM tersebut mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

Selain itu, ada juga persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah. Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat. Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Keempat, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. Jika persyaratan pertama terpenuhi sedangkan persyaratan kedua belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.

Para jemaah mengenakan masker saat menghadiri misa di hari pertama pembukaan gereja setelah pelonggaran pembatasan di tengah pandemi virus corona di Jakarta, 12 Juli 2020. (Foto: Reuters)

Para jemaah mengenakan masker saat menghadiri misa di hari pertama pembukaan gereja setelah pelonggaran pembatasan di tengah pandemi virus corona di Jakarta, 12 Juli 2020. (Foto: Reuters)

Setara Institute: Wali Kota Cilegon Intoleran

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan menilai penolakan yang ikut dilakukan oleh Wali Kota Cilegon dan Wakil Wali Kota Cilegon atas pendirian gereja menggambarkan sikap intoleran dan diskriminatif.

Menurutnya sebagai kepala daerah, keduanya seharusnya menfasilitasi dan menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam konstitusi.

“Kalau kita cermati misalnya dia banyak ngeles soal banyak warga yang menolak, ya kalau ada warga yang menolak, bagi dia kewajibannya adalah memediasi agar penolakan itu tidak terjadi bukan justru menjadi bagian dari kelompok yang menolak itu, kata Halili.

Halili Hasan meminta Pemerintah Kota Cilegon tidak tunduk pada kelompok yang menolak pembangunan gereja di kawasan tersebut.Ia mengingatkan agar pejabat pemerintah patuh pada konstitusi.

Wali Kota Cilegon Bela Diri

Wali Kota Cilegon Helldy Agustian menyatakan apa yang dilakukannya demi memenuhi keinginan masyarkat Cilegon yang terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan ormas.

Ditambahkannya, pihaknya belum pernah menerima permohonan apapun namun panitia pendirian gereja sempat datang mendatangi kantonya untuk menyampaikan proses persyaratan pembangunan rumah ibadah yang belum terpenuhi.

Penelitian tentang toleransi di Indonesia yang dilakukan Setara Institute pada April 2022 menunjukkan Cilegon masuk dalam daftar 10 kota dengan indeks toleransi terendah. Kota lainya yaitu Banda Aceh, Depok, Pariaman, Langsa, Sabang, Padang Panjang, Padang, Pekanbaru dan Makasar. [fw/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *