AS Khawatir dengan Geliat China di Kawasan Pasifik

AS Khawatir dengan Geliat China di Kawasan Pasifik

Gedung Putih melangsungkan KTT Kepulauan Pasifik pada 28-29 September ini. Pengamat menilai KTT ini merupakan upaya Amerika mendekati negara-negara kepulauan Pasifik sebagai bentuk kekhawatiran Amerika dan sekutunya seperti Australia dan Jepang atas aktifnya China di kawasan Pasifik.

Dalam KTT Kepulauan Pasifik yang berakhir hari Kamis (29/9), Amerika memastikan tercapainya “visi bersama” kemitraan dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik, termasuk janji bantuan baru Amerika.

Diwawancarai VOA Kamis malam, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Prof.Evi Fitriani menilai KTT itu merupakan upaya Amerika mendekati negara-negara Kepulauan Pasifik karena khawatir dengan geliat Tiongkok di kawasan Asia Pasifik.

Selama 15 tahun terakhir lanjut Evi, China begitu aktif melakukan diplomasi mendekati negara-negara kepulauan Pasifik, termasuk Solomon dan Fiji. Sementara Amerika sebelumnya seakan tidak memberikan perhatian atau bersahabat dengan negara-negara itu.

Negara yang dijuluki Tirai Bambu itu telah banyak sekali memberikan bantuan ekonomi pada negara-negara tersebut, yang akhirnya membuat negara-negara itu mengukuhkan kebijakan Satu Cina mereka dengan tidak lagi mengakui keberadaan Taiwan sebagai wilayah independen.

Kepulauan Solomon pada hari Rabu (28/9) bahkan secara terang-terangan menyatakan tidak akan menandatangani deklarasi antara Amerika dan negara-negara kepulauan Pasifik yang dicapai dalam KTT itu. Evi kembali menyitir kedekatan hubungan Solomon dan Tiongkok yang pada April lalu menandatangani pakta keamanan bersama. Langkah yang menurut Eva semakin memicu kekhawatiran Amerika, Australia dan Selandia Baru, yang menilai secara tradisional negara-negara Kepulauan Pasifik ini berada di bawah kekuasaan mereka.

“Jadi Amerika dan sekutunya melihat masuknya China dan dekatnya dengan negara-negara ini harus dibendung. China pasti melihat manuver ini dan kemungkinan besar Tiongkok sudah mengatur strategi juga dengan Solomon sehingga Solomon menolak,” ujar Prof Evi.

Deklarasi yang dirancang setelah negosiasi berpekan-pekan antara negara-negara kepulauan Pasifik dan para pejabat pemerintahan Biden ini mencakup isu-isu penting, antara lain pembangunan berkelanjutan, penanganan perubahan iklim, perdagangan dan keamanan di kawasan Pasifik.

Koordinator Klaster Kajian Konflik, Pertahanan, dan Keamanan Pusat Penelitian Politik LIPI, Muhammad Haripin. (Courtesy: VOA)

Koordinator Klaster Kajian Konflik, Pertahanan, dan Keamanan Pusat Penelitian Politik LIPI, Muhammad Haripin. (Courtesy: VOA)

Hal senada disampaikan pengamat keamanan di Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN, Muhamad Haripin, mengatakan pertemuan Amerika dan negara-negara kepulauan Pasifik ini merupakan bagian persaingan antara Amerika dan Tiongkok, yang sama-sama ingin menjadikan wilayah ini sebagai bagian dari pengaruhnya.

“Karena pembacaan China terhadap Asia juga sangat mengkhawatirkan buat Beijing karena tahun lalu juga penandatangan Aukus antara Amerika, Inggris dan Australia. Sekarang yang namanya Samudera Hindia itu kapal-kapal selam bertenaga nuklir dari Amerika Serikat bisa berlayar,” ungkap Haripin.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi sebelumnya menyerukan agar kawasan Indo-Pasifik tidak didominasi oleh satu negara manapun juga. Menurutnya tanpa stabilitas, perdamaian dan penghormatan hukum internasional maka tidak mungkin akan dapat memanfaatkan potensi besar di kawasan tersebut.

Retno menyerukan paradigma baru saat kompetisi di Indo-Pasifik untuk kemajuan bersama. Selain isu keamanan, tambahnya, kerjasama kongkret yang harus didorong adalah sektor maritim, transisi energy berkelanjutan dan ramah lingkungan, perdagangan dan investasi, konektivitas serta implementasi tujuan pembangunan berkesinambungan. [fw/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *