Angka Kematian Tinggi, Kemenkes Bentuk Tim Selidiki Penyakit Gagal Ginjal Akut pada Anak

Angka Kematian Tinggi, Kemenkes Bentuk Tim Selidiki Penyakit Gagal Ginjal Akut pada Anak

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pihaknya telah membentuk tim investigasi terkait penyakit gagal ginjal akut misterius pada anak yang saat ini belum diketahui penyebabnya. Tim tersebut terdiri dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ahli epidemiologi, dan ahli patologi.

“Kemudian kami meningkatkan pengawasan serta pemeriksaan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya. Saat ini tim sedang turun ke lapangan untuk melakukan penyelidikan epidemiologi,” katanya kepada VOA, Senin (17/10)

Menurut Nadia, pihaknya sudah meminta seluruh fasilitas layanan kesehatan dan Dinas Kesehatan di provinsi untuk berkoordinasi terkait penyakit tersebut. Kemenkes juga meminta kepada pihak terkait untuk melaporkan apabila menemukan gejala gagal ginjal akut yang belum diketahui penyebabnya itu.

“Kami sudah mengeluarkan suatu kewaspadaan dengan adanya surat edaran terkait tata laksana untuk gagal ginjal akut. Kami sudah punya surat keputusan dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan soal tata laksana termasuk bagaimana untuk pelayanan kesehatan itu waspada terkait kemungkinan gagal ginjal akut,” ucapnya.

Berdasarkan data yang diperoleh Kemenkes dari IDAI, sebanyak 152 kasus penyakit gagal ginjal akut misterius pada anak ditemukan di 16 provinsi hingga 14 Oktober 2022. Penyakit itu pada umumnya menyerang anak berusia 1 hingga 5 tahun. Penderita penyakit itu diawali dengan gejala infeksi pada saluran pencernaan dan pernapasan.

Kemenkes mengakui saat ini terjadi peningkatan kasus gagal ginjal akut misterius pada anak. Peningkatan itu mulai terlihat sejak Agustus 2022.

“Kemudian di September itu terjadi peningkatan yang dilaporkan cukup besar tapi di Oktober angkanya agak menurun. Tapi Oktober belum sampai dengan akhir bulan. Dibandingkan dengan September itu ada sekitar 78 kasus yang dilaporkan. Di Agustus ada 36 kasus, sebelumnya hanya 2 sampai 5 kasus dari Januari,” ungkap Nadia.

Adanya peningkatan kasus gagal ginjal akut misterius pada anak tersebut juga berdampak terhadap angka kematian yang disebabkan penyakit itu. Angka kematian akibat penyakit gagal ginjal akut misterius pada anak yang diterima Kemenkes hampir 50 persen dari jumlah kasus yang dilaporkan.

DKI Jakarta mencatat 25 anak yang dilaporkan meninggal akibat gagal ginjal :” Bali 11 anak, dan Nusa Tenggara Timur dua anak. “Masih tinggi karena memang ini penyakit baru dan permasalahannya kita belum tahu penyebabnya. Kalau belum tahu penyebabnya akan sulit untuk melakukan pengobatannya. Itu mengapa angka kematian cukup tinggi,” ujar Nadia.

Kendati demikian, masyarakat diminta untuk tidak perlu panik terkait penyakit gagal ginjal akut misterius pada anak. Pasalnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penyakit tersebut belum perlu mendapatkan perhatian khusus.

“Masyarakat tidak perlu panik, ini bukan suatu penyakit menular seperti kondisi COVID-19. Tapi bagaimana pun juga kita harus melindungi anak-anak Indonesia,” pungkas Nadia.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman mengatakan, pemerintah harus menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait temuan kasus gagal ginjal akut misterius yang terus meningkat.

“Apalagi menyebabkan kematian harus ditetapkan KLB dan tentunya juga dilaporkan kepada WHO dan berkoordinasi untuk mencari penyebabnya. Selain adanya tim yang dibentuk, tentu langkah-langkah lain harus diambil adalah membentuk tim teknis atau klinis sampai level terbawah misalnya wilayah yang memiliki kasus gagal ginjal akut,” ucapnya kepada VOA.

Dicky menyarankan agar masyarakat menjaga pola hidup bersih dalam segala aspek terutama yang berkaitan dengan anak. Ia juga menyarankan, masyarakat berkonsultasi dengan dokter sebelum memberikan obat-obatan pada anak.

“Apabila anak menderita suatu penyakit biasakan membawanya ke dokter maupun tenaga kesehatan sehingga bisa tertangani dan tidak melakukan pengobatan sendiri. Selain itu pemerintah juga perlu meningkatkan literasi dan edukasi pada tenaga kesehatan bagaimana pentingnya soal pemberian obat pada anak benar-benar selektif,” tandasnya. [aa/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *