Amnesty International Indonesia Desak TGIPF Telusuri Jenis Gas Air Mata  

Amnesty International Indonesia Desak TGIPF Telusuri Jenis Gas Air Mata  

Direktur Eksektutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak agar Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menelusuri jenis gas air mata yang digunakan polisi untuk membubarkan massa di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada 1 Oktober lalu. Pasalnya, penggunaan gas air mata itu telah menyebabkan sedikitnya 130 orang meninggal dunia dan 300an lainnya luka-luka.

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia (foto: VOA/Made Yoni).

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia (foto: VOA/Made Yoni).

“Kami mendesak TGIPF, Komnas HAM, dan seluruh pihak yang melakukan penyelidikan untuk menelusuri jenis gas air mata yang ditembakkan di dalam tragedi Kanjuruhan,” kata Usman, Rabu (12/10).

Menurut Usman, ada dua tipe gas air mata yakni jenis chloracetanophone dan chlorobenzalmonolonitrile. Apalagi jenis chlorobenzalmonolonitrile dinilai memiliki dampak lima kali lipat dibandingkan chlorobenzalmonolonitrile. Untuk itu TGIPF diminta untuk memastikan jenis gas air mata yang digunakan polisi dalam tragedi Kanjuruhan.

“Itu sebabnya gas air mata di dunia dilarang untuk dibawa ke dalam stadion pertandingan sepak bola karena dampaknya bukan tidak mematikan lagi, tapi bisa membunuh,” ucapnya.

Dalam beberapa pedoman internasional, gas air mata bukan lagi tergolong sebagai senjata yang tidak mematikan. Namun, gas air mata sudah dinilai sebagai senjata yang kurang mematikan. Kendati demikian, gas air mata dinilai akan tetap menimbulkan efek fatal apabila digunakan dengan cara yang keliru. Apalagi ditembakkan ke dalam area stadion yang dipenuhi oleh puluhan ribu orang.

“Tapi sekarang dalam perkembangannya pengunaan gas air mata itu bisa mematikan dan mengakibatkan luka yang fatal bahkan kematian,” ujar Usman.

Amnesty International Indonesia juga menilai pernyataan polisi yang mengatakan bahwa korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan tidak disebabkan oleh gas air mata itu sangat prematur.

“Pernyataan prematur, kurang simpatik, dan mendahului proses investigasi yang masih berlangsung,” ungkap Usman.

Atas nama keadilan dan akuntabilitas terkait tindakan aparat keamanan dalam tragedi Kanjuruhan, Amnesty International Indonesia menyarankan agar kasus ini tidak boleh berhenti pada aksi simbolis maupun sanksi administratif.

Tembakan Gas Air Mata Jadi Penyebab Utama Banyaknya Korban Tewas

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, tembakan gas air mata menjadi penyebab utama banyaknya jatuh korban meninggal dunia dalam tragedi Kanjuruhan. Penembakan gas air mata pertama kali ditembakkan ke arah tribun selatan Stadion Kanjuruhan sekitar pukul 22.08 WIB atau 20 menit usai peluit panjang ditiup oleh wasit.

“Tim sedang mendalami titik krusial yang mengakibatkan banyak korban meninggal. Hal ini yang memicu kepanikan penonton dan muncul dinamika di lapangan menjadi ricuh,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (12/10).

Bukan hanya itu, Komnas HAM juga menemukan tentang informasi penggunaan gas air mata termasuk sejumlah karakter senjata yang digunakan oleh aparat keamanan dalam tragedi Kanjuruhan.

Petugas keamanan (bawah) di lapangan usai pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. (Foto: AFP)

Petugas keamanan (bawah) di lapangan usai pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. (Foto: AFP)

“Kami melihat langsung senjatanya. Kami cukup lengkap soal ini termasuk soal yang melakukan penembakan menggunakan gas air mata Brimob dan Sabhara,” ungkap Anam.

Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, penggunaan gas air mata sekali pun dalam tingkat tertinggi tidak mematikan. Tak hanya itu, polisi juga menyebut korban meninggal dunia dan luka-luka saat tragedi Kanjuruhan diakibatkan karena kekurangan oksigen. Hal itu merujuk pernyataan para ahli yang dikutip oleh polisi.

“Mengutip dari para ahli gas air mata dalam tingkat tertinggi pun tidak mematikan. Dari para penjelasan dokter ahli dan spesialis yang menangani para korban baik yang meninggal dunia maupun luka menyebutkan tidak satu pun penyebab kematian adalah gas air mata. Penyebab kematian adalah kekurangan oksigen karena terjadi berdesak-desakan kemudian terinjak-injak,” katanya, Senin (10/10).

Seperti diketahui, sedikitnya 132 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan usai pertandingan sepak bola Liga 1 antara Arema FC Malang melawan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10) malam. Tragedi itu berawal saat sejumlah penonton mencoba masuk ke dalam lapangan hanya untuk memberikan semangat dan pelukan kepada pemain Arema FC usai dikalahkan Persebaya. Namun, aksi itu malah dibalas polisi dengan tembakan gas air mata ke arah tribun penonton. [aa/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *