Usulan cuti melahirkan 6 bulan, jangan sampai jadi bumerang

Usulan cuti melahirkan 6 bulan, jangan sampai jadi bumerang

Ditambah lagi adanya usulan bagi ayah untuk bisa mendapat cuti 40 hari.  Perempuan 25 tahun ini mengaku, ketika memeriksakan kandungannya ke dokter kandungan Rabu (15/6) lalu, dia dan suami mendapatkan kabar kurang mengenakkan dari dokter kandungan langganannya. Posisi kepala si jabang bayi tidak juga berbalik, sehingga Fitri harus bersiap untuk menjalani operasi caesar untuk persalinannya.

Ketika ayah mendapatkan cuti 40 hari, dengan kondisi yang mungkin dialaminya nanti, suami bisa membantu dan mendampinginya dalam waktu cukup lama untuk memulihkan diri pascaoperasi. Selain itu, suami juga bisa membantunya merawat si bayi. 

“Terus kalau nanti saya sudah harus masuk kerja lagi, kan kira-kira bayiku sudah umur empat sampai lima bulanan ya. Jadi lebih tatag (tenang) saja kalau mau ditinggal kerja,” imbuhnya.

Ketika Fitri antusias menyambut aturan baru cuti melahirkan, Nabila malah sebaliknya. Sebagai seorang ibu yang baru memasuki trimester pertama kehamilan, dia mengaku senang dengan adanya usulan cuti melahirkan 6 bulan dan 40 hari cuti ayah. Namun di saat yang sama, dia juga waswas dengan respons perusahaan jika RUU KIA sah diteken sebagai UU dan aturan cuti baru diberlakukan. 

“Perusahaan tempat saya bekerja skalanya kecil. Jadi kalau ada yang cuti melahirkan, itu bukan mencari pengganti dari karyawan kontrak, tetapi kerjaan si karyawan yang cuti ini malah dilimpahkan ke timnya. Jadi temen-temen kerja ini sering protes karena tambah beban kerjaan,” ungkap pekerja di salah satu perusahaan media swasta di Bandung ini, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (28/6).

Kondisi itu pun dialaminya ketika mengajukan cuti melahirkan anak pertamanya dua tahun lalu. Karena berbagai protes dari rekan-rekan kerja dan juga desakan untuk segera kembali bekerja itu, pada akhirnya sempat membuat Nabila mengalami stres berat hingga menyebabkan air susunya sulit keluar. 

Parahnya, dia juga sempat menyalahkan kesulitan yang dialaminya kepada putra sulungnya yang baru lahir. “Mungkin kalau buat perusahaan besar oke, tapi buat perusahaan kecil mending yang biasa-biasa saya kebijakannya. Yang ada malah kalau mengajukan cuti 6 bulan, kami malah sekalian disuruh bikin surat resign (pengunduran diri),” ujarnya.

Kurangi risiko kematian

Untuk mengatasi stunting dan masalah gizi lainnya yang masih banyak terjadi di Indonesia, peraturan cuti melahirkan 6 bulan dan juga cuti ayah 40 hari memang layak diterapkan. Apalagi, prevalensi angka stunting masih cukup tinggi dan jauh dari target yang di bawah 14% pada 2024.

Menukil hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan 2021, tingkat stunting baduta (bayi di bawah 2 tahun) dan balita (bayi di bawah 5 tahun) masih sebesar 24,4%. Artinya, masih ada sekitar 6 juta anak yang mengalami gagal pertumbuhan karena kurangnya asupan gizi saat berada di dalam kandung maupun setelah dilahirkan. Selain itu, berdasarkan pendataan keluarga tahun lalu, ada 21,9 juta keluarga berisiko stunting.

Di saat yang sama, cuti hamil 6 bulan juga dinilai dapat mengurangi risiko kehamilan dan kematian pada ibu melahirkan. Kasus kematian ibu melahirkan pun masih tetap menjadi momok di Tanah Air. Sebelum 2021, rerata angka kematian ibu melahirkan diperkirakan sebesar 4.000-4.900 kasus. Namun, hingga akhir Desember tahun lalu angkanya naik menjadi sekitar 6.800 kasus. 

“Dengan cuti enam bulan maka perempuan hamil bisa mengambil cuti sejak usia kandungan 36 minggu sehingga tidak banyak beraktivitas yang berpotensi meningkatkan risiko pada kehamilannya,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, kepada Alinea.id, Jumat (1/7). 

Sedangkan waktu sisa cuti dapat digunakan untuk mengupayakan pemberian ASI eksklusif bagi bayi. Namun, untuk memastikan tumbuh kembang anak berjalan dengan baik, tanggung jawab ini tidak bisa begitu saja dibebankan hanya kepada ibu. Ayah, lanjut Hasto, pun memiliki tanggung jawab sama besarnya untuk merawat anak. 

Belum lagi, kehadiran ayah di awal kelahiran juga dinilai membuat ibu merasa lebih nyaman dan tenang. Hal ini jelas mengurangi risiko baby blues serta depresi pasca elahirkan bagi ibu. 

“Makanya sebelum, saat dan sesudah melahirkan, seorang ibu harus betul-betul merasa terlindungi, aman, terayomi, dan tenang. Jadi kalau suami bisa dapat cuti 40 hari itu juga sudah bagus,” ungkapnya. 

Seperti yang telah diketahui, dalam UU Ketenagakerjaan suami hanya diperbolehkan mengambil cuti selama 2 hari untuk menemani istri melahirkan. Mengingat beban tanggung jawab dalam mengasuh anak yang seharusnya sama antara ibu dan ayah, penggagas RUU KIA sekaligus Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Luluk Nur Hamidah menyebut, waktu tersebut sudah jelas kurang. 

“Bahkan bisa dikatakan enggak ada cuti,” katanya, kepada Alinea.id, Kamis (30/6). 

Usulan cuti melahirkan 6 bulan, jangan sampai jadi bumerang

Usulan cuti melahirkan baru ini tampaknya tidak mendapatkan sambutan baik dari kalangan pemberi upah alias pengusaha. Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, usulan ini dikhawatirkan dapat menambah beban biaya dan operasional perusahaan. Sebab, ketika karyawan mengambil cuti melahirkan, perusahaan masih harus tetap membayarkan gaji penuh kepadanya di tiga bulan pertama dan 75% di bulan ke empat hingga cuti berakhir. Belum termasuk bonus dan tunjangan untuk karyawan tersebut. 

Di saat yang sama, agar pekerjaan kantor tidak terhambat, perusahaan mau tak mau harus mencari pengganti dan mempekerjakan orang baru untuk sementara waktu. Dengan demikian, jelas beban pengeluaran perusahaan menjadi dobel. 

“Karena tidak bisa memberhentikan mereka, apakah nanti malah tidak menghambat adanya lapangan pekerjaan baru untuk para pekerja baru yang produktif?” ujar Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (30/6).

Selain perusahaan besar, aturan cuti hamil ini juga dikhawatirkan akan semakin menyulitkan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pasalnya, meskipun lebih banyak pekerja merupakan pelaku atau karyawan UMKM, pendapatan usaha kecil jauh lebih rendah ketimbang usaha besar. 

Apalagi, jika berbicara tentang pengendalian stunting, usulan cuti baru ini diberlakukan kepada seluruh pekerja, baik itu karyawan perusahaan besar, UMKM, maupun pegawai pemerintahan. “Padahal, kalau UMKM itu kan lebih banyak yang dalam satu usaha jumlah karyawan hanya beberapa orang saja. Malah juga banyak yang self-employee (wiraswasta) dan enggak punya karyawan. Nah ini gimana? Harusnya negara yang menanggung ini,” imbuh Anton. 

Ketika usulan cuti ini disahkan, para pengusaha berpeluang untuk lebih banyak merekrut pekerja laki-laki yang tidak memerlukan cuti melahirkan. Pun pertimbangan ulang untuk memberikan jabatan strategis kepada pekerja perempuan. 

Bahkan, perusahaan bisa saja hanya akan mempekerjakan karyawan kontrak untuk menghindari lebih banyak pengeluaran. “Kalau misalkan tujuannya memang untuk menurunkan stunting, bisa dengan cara lain selain perpanjangan cuti. Seperti misalnya dengan mewajibkan perusahaan untuk membangun fasilitas kesehatan dan menyusui untuk ibu yang memiliki bayi, atau bisa dengan menyediakan daycare,” katanya. 

Perlu pengawasan

Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengamininya. Dia menilai, untuk menghindari protes keras dari pengusaha dan ketakutan akan jaminan pekerjaan bagi para pekerja perempuan, DPR perlu membahas dengan detail usulan ini. Apalagi, sampai sekarang belum ada teknis yang jelas terkait penerapan cuti melahirkan anyar ini. 

Tidak hanya itu, ketika cuti ini diterapkan, artinya akan berbenturan pula dengan aturan cuti melahirkan yang sudah terdapat dalam UU Tenaga Kerja. “Makanya harus dibahas jelas dengan pemerintah dan pengusaha juga. Takutnya, kalau disahkan akan bentrok dengan yang ada di UU Ketenagakerjaan dan aturan cuti di KIA ini hanya aturan di atas kertas saja,” jelas dia, kepada Alinea.id, Rabu (29/6). 

Namun, jika aturan ini disahkan, pemerintah harus dapat menjamin pekerjaan karyawan yang tengah mengambil cuti. Sebab, tanpa adanya pengawasan yang lebih baik, akan sangat mungkin aturan ini menjadi bumerang bagi pekerja perempuan, kalau dia bertemu dengan pemberi kerja yang diskriminatif.

Di saat yang sama, pemerintah dan pengusaha tampaknya harus duduk bersama untuk mendiskusikan masalah pembayaran upah karyawan yang sedang cuti. Hal ini menjadi penting karena di Indonesia, cuti melahirkan punya kecenderungan elitis yang hanya mengaver pekerja di sektor formal saja. Padahal, pada 2021 pekerja informal memiliki porsi sebesar 59,45% atau mencapai 77,91 juta pekerja. 

Di mana porsi penduduk perempuan yang bekerja di sektor informal mencapai 63,8%. Lebih besar dari pekerja laki-laki yang hanya 56,61%. Dengan demikian, hanya 0-9% pekerja perempuan yang bisa merasakan cuti melahirkan. 

“Bagi perempuan pekerja informal ini, siapa yang akan menanggung cuti melahirkan mereka? Enggak ada. Padahal, di negara-negara yang sudah menerapkan cuti melahirkan dalam jangka waktu lama, itu gaji ditanggung pemerintah,” kata Dosen Hukum Ketenagakerjaan UGM Nabiyla Risfa Izzati, kepada Alinea.id, Jumat (1/7). 

Ilustrasi. Foto Alinea.id/Annisa R.

Ihwal posisi yang kosong ketika pekerja cuti, langkah paling baik yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah dengan mempekerjakan karyawan kontrak. Dengan catatan, pekerja kontrak tersebut harus diinfokan secara jelas, jika mereka hanya direkrut sementara waktu untuk mengisi posisi yang sedang kosong. 

“Lagi-lagi ini menjadi penting bagi pemerintah untuk ikut membiayai gaji cuti melahirkan ini. Jadi nanti negara yang bayar upah pekerja yang cuti dan pengusaha bayar upah pekerja kontrak,” urainya. 

Terlepas dari hal tersebut, Nabiyla memandang jika cuti melahirkan dan cuti ayah ini penting diterapkan di Indonesia. Karena dari berbagai penelitian yang ada, cuti melahirkan sudah terbukti efektif untuk kesejahteraan ibu dan bayi. 

Namun, dengan lemahnya hukum ketenagakerjaan nasional, dia menilai aturan ini perlu lebih detail. “Kayak misalnya di aturan cuti ayah. Itu memang diperbolehkan 40 hari, tapi hanya maksimalnya saja yang disebutkan. Tidak ada aturan tentang minimalnya,” imbuh dia. 

Sementara itu, External Communication & Corporate Digital Senior Manager Danone Indonesia Indah Tri Novita mengungkapkan, cuti melahirkan selama 6 bulan dan juga cuti ayah akan sangat mungkin memberikan keuntungan bagi perusahaan. Berdasarkan pengalaman penerapan cuti 6 bulan dan cuti ayah 10 hari yang telah dilakukan sejak Agustus 2016 lalu, justru berdampak positif, terutamanya terkait produktivitas kerja karyawan. 

Sebab, mereka sudah lebih siap dan tidak khawatir karena sudah memberikan ASI eksklusif dan anak sudah diberikan MPASI (makanan pengganti ASI) ketika ibu harus kembali ke kantor. Selain itu, loyalitas karyawan terhadap perusahaan juga dapat ditingkatkan melalui pemberian cuti melahirkan ini. 

“Untuk mendukung 1.000 hari pertama anak, kami juga menerapkan flexible working hours, mendukung pemberian ASI eksklusif di tempat kerja dengan menyediakan ruang laktasi yang sesuai dengan standar, pemberian asuransi kesehatan hingga dukungan ibu menyusui melalui buddy sistem antarkaryawan,” jelas Indah, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (29/6).

Sementara untuk menjaga produktivitas kerja selama karyawan cuti, mereka diharuskan untuk memberikan pemberitahuan jauh-jauh hari kepada atasan. Sehingga, perusahaan dapat mencari karyawan pengganti dan melakukan penyerahan tugas terhadap karyawan baru tersebut. 

“Saya pikir kebijakan ini bisa menarik generasi milenial karena banyak para milenial yang mencari lingkungan kerja yang ramah keluarga,” tuturnya.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *