Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto Dinggap Melanggar UU MK

Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto Dinggap Melanggar UU MK

Jakarta: Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah menilai DPR telah melanggar undang-undang yang dibuat oleh mereka terkait pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto dari jabatannya. Undang-Undang UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) mengatur mekanisme pemberhentian jabatan Hakim Konstitusi yakni saat masa jabatan yang bersangkutan telah habis atau telah mencapai usia 70 tahun.
 
“Jika pun pemberhentian itu dilakukan di tengah masa jabatan karena tersandung pelanggaran etik atau melakukan tindak pidana, pemberhentian hanya bisa dilakukan melalui Keputusan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi,” terang Hendardi, di Jakarta, Jumat, 30 September 2022.
 
Dia menerangkan DPR sebagai salah satu dari tiga lembaga pengusul Hakim MK mengabaikan seluruh ketentuan yang termaktub dalam UU MK. Pasalnya DPR mencopot Aswanto dan menggantinya dengan Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Adapun alasan yang dilontarkan Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, pada Jumat, 30 September 2022, pencopotan itu dilakukan karena aduan masyarakat dan tindakan Aswanto dalam memutus perkara yang tidak sejalan dengan kehendak DPR sebagai pembentuk UU.
 
“Argumen ini bukan hanya keliru tetapi mempunyai daya rusak bagi institusi MK. DPR menganggap 3 orang hakim MK jalur DPR adalah wakilnya, yang harus berkomitmen mengamankan produk kerja DPR,” jelas dia.

Sementara itu, Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ismail Hasani mengatakan pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yakni DPR, Presiden dan Mahkamah Agung (MA). Dia menegaskan pengisian hakim MK bukan ditujukan untuk mewakili kepentingan institusi, melainkan memastikan independensi, integritas, dan kontrol dari Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan Konstitusi.
 
“Peragaan nalar sebagaimana diadopsi DPR akan membonsai kelembagaan dan hakim-hakim MK,” ucap dia.
 
Dia menilai argumen DPR bahwa tindakannya merupakan keputusan politik menyesatkan. Ismail mengatakan DPR sebagai institusi politik seharunsya tetap patuh pada UU MK dan seluruh prosedur yang telah ditetapkan dan menjadi kesepakatan politik.
 
“Apabila DPR hendak mengganti hakim MK, yang harus dilakukan adalah mengubah batasan masa jabatan hakim MK dan kewenangan kocok ulang seperti diinisiasi melalui perubahan keempat UU MK,” terang dia.

Ia menilai kekacauan terkait jabatan hakim MK dimulai dari DPR saat mengubah ketentuan batas usia Hakim Konstitusi hingga 70 tahun atau maksimal 15 tahun serta menjabat tanpa ketentuan kocok ulang atau evaluasi dari lembaga pengusul, melalui revisi UU MK. Ia menyarankan agar Presiden Joko Widodo menolak pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah.
 
“Kecuali DPR dan presiden mengubah terlebih dahulu UU MK. Reformasi MK harus dituangkan dalam UU antara lain meningkatkan kepatuhan pada asas-asas beracara, khususnya menolak setiap perkara yang berkaitan dengan kelembagaan, kewenangan, termasuk praktik tidak etis,” jelas dia.
 
Saat ditanya mengenai polemik pergantian Hakim Konstitusi Aswanto yang mendadak, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan MK belum dapat berkomentar mengenai hal tersebut. Termasuk soal wacana bahwa usulan itu datang dari MK.
 
“Belum ada tanggapan,” ucap Fajar
 

(LDS)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *