Pemeriksaan fakta dalam pemilu di Indonesia

Pemeriksaan fakta dalam pemilu di Indonesia

Dikatakan, kalau jurnalis menulis itu memang harus dipastikan dulu bahwa fakta yang disampaikan itu hanya dan hanya fakta. Bukan sesuatu hal yang baru sebenarnya. Tapi dengan datangnya era internet dan media sosial, kemampuan periksa fakta itu perlu juga ditingkatkan dengan pemahaman jurnalis terhadap penggunaan banyak aplikasi.

Ratna membagikan pengalaman di pemilu 2019 dan kira-kira apa saja yang akan dihadapi di pemilu 2024. Juga dia membagi sedikit tantangan di skala regional mengingat risetnya juga fokus ke tiga negara Indonesia, Filipina, dan Malaysia.

“Kalau kita lihat sebenarnya ada empat elemen yang signifikan. Ada banyak versi yang menyebutkan, kalau kita membicarakan topik tentang demokrasi, tentu akan ada banyak elemen,” cetusnya.

Ratna memakai teori yang disebut oleh Larry Diamond dari Stanford yang menyoroti empat elemen signifikan, yang penting, untuk tetap mendukung dan menjaga kualitas demokrasi. Pertama, adalah pemilu yang bebas dan adil. Kenapa demikian? Karena ini menjamin adanya keberlangsungan pergantian pemimpin yang dipilih berdasarkan keinginan dari publik, dari para pemilih, yang diharapkan bisa meneruskan leadership kepemimpinannya, sehingga membawa sebuah negara menjadi demokrasi. Negara dalam berdemokrasi ke arah kemajuan yang lebih baik lagi.

Lalu, adanya partisipasi publik. Elemen kedua ini yang signifikan terhadap peran dari banyak pihak, termasuk media, untuk membentuk apa yang dinamakan sebagai infomed-voters. Jadi, pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara bukan hanya karena ikut atau datang dengan basis informasi yang salah. Tapi mereka mengetahui segala sesuatu, sehingga diharapkan tidak memilih kandidat yang korupsi misalnya. Selanjutnya, perlindungan hukum dan jaminan hukum.

“Saya akan menyorot partisipasi publik. Pada era-era periset awal, tahun-tahun ’50-an sampai ke awal tahun 2000, itu ada konsep yang berangkat dari premis bahwa ketika orang dengan pendidikan yang lebih rendah, dia akan membuat keputusan yang kira-kira kurang lebih tidak akan sama dengan orang-orang yang pendidikannya lebih tinggi dari tingkat literasi,” serunya.

Ratna mengatakan, orang-orang dengan pendidikan terbatas, misalnya, tidak membekali diri mereka dengan informasi. Berbeda dengan mereka yang berpendidikan lebih tinggi.

“Jadi, jalan keluarnya adalah tingkat pendidikan dinaikkan, dengan harapan warga negara itu dapat membuat keputusan politik yang jauh lebih rasional. Berangkat dari informasi yang terpercaya dan juga bisa diuji kebenarannya,” ucap Ratna.

Diuraikan, pengambilan keputusan yang lebih berkualitas dan lebih baik ini diharapkan juga dapat menghasilkan kualitas para pemimpin politik yang juga jauh lebih baik. Misalnya tidak mengobral janji, tidak menyampaikan janji yang jauh dari fakta dan sebagainya.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *