MK Minta Pemerintah Buat Kajian Ganja untuk Medis

MK Minta Pemerintah Buat Kajian Ganja untuk Medis

Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pemerintah segera mengkaji dan penelitian mengenai narkotika golongan 1 untuk keperluan pelayanan kesehatan atau terapi. Hasil kajian dapat digunakan untuk menentukan kebijakan, termasuk perubahan undang-undang.
 
Hal itu ditegaskan Mahkamah dalam pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 yang dimohonkan orang tua dari penderita cerebral palsy, di Gedung MK, Jakarta, Rabu, 20 Juli 2022. Para pemohon ingin agar minyak cannabis (CBD oil) yang merupakan turunan dari narkotika jenis golongan 1 dapat dilegalkan untuk terapi.
 
“Melalui putusan a quo, Mahkamah menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti putusan a quo berkenaan dengan pengkajian dan penelitian narkotika golongan 1 untuk keperluan pelayanan kesehatan atau terapi,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pertimbangan Mahkamah.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Para pemohon, yakni pemohon I Dewi Pertiwi merupakan ibu kandung dari anak berusia 16 tahun bernama Musa yang sedang menderita cerebral palsy atau lumpuh otak. Pemohon II Santi Warastuti ibu kandung anak 12 tahun bernama Pika Sasikirana yang menderita epilepsi, pemohon III Nafiah Muharyanti ibu anak perempuan bernama Masayu Keynan, 10, yang menderita epilepsi dan cerebral palsy.
 
Lalu, pemohon IV Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform dan pemohon VI Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Mereka mempersoalkan ketentuan pada Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika yang melarang penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan. Padahal anak dari para pemohon membutuhkan terapi.
 
Pada pokoknya para pemohon menginginkan agar narkotika jenis golongan 1 bisa digunakan untuk pelayanan kesehatan atau terapi dan meminta MK menyatakan pasal itu konstitusional bersyarat.
 
Mahkamah memandang ada kebutuhan pemanfaatan narkotika golongan 1 untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau terapi. Tetapi, mengingat efek dari narkotika golongan 1 tersebut berpotensi menimbulkan ketergantungan yang tinggi, sebelum ada hasil dari pengkajian dan penelitian, narkotika golongan 1 hanya dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk penelitian atau terapi.
 

Menurut Suhartoyo, penggunaan narkotika jenis golongan 1 secara ilegal diancam pidana karena negara ingin benar-benar melindungi keselamatan bangsa.
 
“Mahkamah dapat memahami dan memiliki rasa empati pada penderita penyakit tertentu namun mengingat hal tersebut belum merupakan hasil yang valid dari kajian dan penelitian ilmiah,” tegas Hakim Konstitusi Suhartoyo.
 
Menurut Mahkamah, lembaga pemerintah dan swasta atau pemerintah tersendiri dapat melakukan kajian ilmiah. Negara wajib menjamin setiap warga negara mendapatkan hak pelayanan kesehatan sehingga menjadi alasan pentingnya dilakukan pengkajian dan penelitian tersebut untuk pelayanan kesehatan atau terapi, reagensia diagnostik dan reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan dan rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
 
Meskipun pada pertimbangannya Mahkamah meminta pemerintah melakukan kajian, Mahkamah pada akhirnya menolak permohonan para pemohon yang menguji ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika terhadap UUD 1945. Mahkamah beralasan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika telah menegaskan narkotika golongan 1 hanya dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan.
 
Oleh karena itu, apabila dibutuhkan perubahan pemanfaatan narkotika jenis golongan 1 tersebut harus didahului dengan kajian dan penelitian ilmiah agar tidak menimbulkan korban.
 
“Menyatakan permohonan pemohon V dan VI tidak dapat diterima. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan.
 

(JMS)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *