KSP: Pemerintah Berupaya Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat secara Paralel

KSP: Pemerintah Berupaya Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat secara Paralel

Jakarta: Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan tidak ada jalan tunggal untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa Lalu. Sampai saat ini, terdapat 13 peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang belum diselesaikan berdasarkan penyelidikan Komnas HAM.
 
Penyelesaiannya, terang Dani, sapaan Jaleswari, dilakukan secara paralel. Hal itu ia sampaikan menanggapi Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo.
 
“Pengalaman di berbagai negara mengajarkan ada dua jalan yang perlu ditempuh, yaitu jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial. Jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial berbeda, tetapi perlu ditempuh kedua-duanya untuk memastikan tercapainya aspek-aspek keadilan transisional sebagai metode menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu,” papar Dani melalui keterangan tertulis, Sabtu, 20 Agustus 2022.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial, imbuh dia, bersifat saling melengkapi bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh. Jalur yudisial diatur oleh UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sementara itu, sambung Dani, jalur non-yudisial dapat dilakukan melalui produk eksekutif. Adapun pembentukan tim penyelesaian non-yudisial disebut guna mempercepat pemulihan hak-hak korban.
 
“Keduanya dapat dijalankan secara paralel. Mekanisme non-yudisial merupakan upaya pemerintah memberi prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat,” terang Dani.
 
Ia menegaskan pemerintah berkomitmen untuk melakukan pendekatan non-yudisial yang paralel dengan proses yudisial. Hal itu, ujarnya, melalui dua jalur yaitu upaya legislatif, pemerintah mengajukan kembali rancangan undang-undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru, kemudian dibahas dengan DPR. 
 
Alasan dihidupkan kembali RUU KKR, terang Dani, karena urgensi terhadap pemenuhan hak korban dan keluarga korban. Sedangkan upaya eksekutif membuat Keputusan Presiden (Keppres) tentang Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu.
 
“ Keppres yang ditandatangani oleh Presiden telah melalui proses pemikiran yang matang dan pembahasan yang panjang dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, tidak terkecuali korban pelanggaran HAM,” papar Dani.
 

Lebih jauh ia menjelaskan tim penyelesaian non-yudisial yang akan dibentuk memiliki tiga mandat yakni pengungkapan kebenaran, rekomendasi reparasi bagi korban dan mengupayakan kasus pelanggaran HAM berat tidak berulang.

Pemerintah menjanjikan bahwa tim itu akan beranggotakan tokoh-tokoh yang berintegritas, kompeten dan memiliki pemahaman HAM yang memadai, dan merepresentasikan kelompok yang bisa menjamin tercapainya tujuan pemenuhan HAM.
 
Pada Pidato Sidang Tahunan MPR, DPR dan DPD RI, Selasa, 16 Agustus 2022, Presiden Jokowi menyampaikan telah menandatangani Keppres tersebut. Dani mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat lalu adalah komitmen presiden yang dinyatakan dalam Nawa Cita.
 
“Sejak menjabat Presiden RI tahun 2014, Presiden Jokowi telah berupaya keras menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden memerintahkan memerintahkan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM bekerja memenuhi unsur-unsur dan proses hukum untuk penyelesaian kasus HAM,” ujar Dani.
 
Pada peringatan Hari HAM Sedunia 9 Desember 2014 di Yogyakarta, imbuhnya, Presiden Jokowi menemui korban pelanggaran HAM untuk mendengarkan aspirasi mereka. Kemudian pada 2015 juga sempat digagas pembentukan Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran dan pada 2016 digelar simposium nasional tentang peristiwa 1965/1966 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional di 2016 tetapi mendapat penolakan publik dengan berbagai alasan. 
 
Pada Mei 2018, sambung Dani, Presiden Jokowi menerima audiensi keluarga korban pelanggaran HAM di Istana guna mendengar aspirasi dan harapan para korban. Masih pada tahun yang sama, dibentuk Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan pada 2019 dimulai pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi setelah UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Saat ini, terang Dani, dilakukan proses persidangan persidangan dugaan pelanggaran HAM di Paniai tahun 2014 yang akan digelar di Pengadilan Negeri Makassar.
 
Berdasarkan rekomendasi Komnas HAM ada 13 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang perlu diselesaikan. Sembilan peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM diundangkan yaitu Peristiwa 1965/1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1983-1984, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Paksa 1997/1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999, Peristiwa Dukun Santet 1999, Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.
 
Lalu empat peristiwa yang lain terjadi setelah tahun 2000 yaitu, Peristiwa Wasior 2001; Peristiwa Wamena 2003, Peristiwa Jambo Keupok 2003; dan Peristiwa Paniai 2014.
 

(END)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *