KPAI: Siswa Didorong PTM, Tapi Kekerasan Seksual Terus Terjadi

KPAI: Siswa Didorong PTM, Tapi Kekerasan Seksual Terus Terjadi

Jakarta: Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Retno Listyarti menyampaikan  keprihatinan terhadap makin maraknya kekerasan seksual yang terus terjadi di lingkungan lembaga pendidikan.  Padahal Pemerintah sedang mendorong pembelajaran tatap muka (PTM) diterapkan seluruh sekolah di Indonesia, termasuk sekolah-sekolah berasrama.
 
“Namun, kasus-kasus kekerasan terhadap anak seperti perundungan dan kekerasan seksual terhadap anak didik di Lembaga Pendidikan terus terjadi, bahkan mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai SMA/SMK atau sederajat,” sesal Retno dalam siaran persnya yang diterima Sabtu, 23 Juli 2022.
 
Menurut Retno, korbannya juga tak hanya perempuan, namun juga anak laki-laki.  Sehingga keduanya memiliki kerentanan yang sama untuk menjadi korban kekerasan seksual di satuan Pendidikan. 





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Untuk itu, Retno mendesak terutama Kementerian Agama untuk segera membuat regulasi setingkat Peraturan Menteri Agama (PMA) terkait pencegahan dan penanggulangan berbagai bentuk kekerasan di satuan Pendidikan.  Desakan ini disampaikan Retno dalam momentum peringatan Hari Anak Nasional 2022
 
“Saatnya negara hadir melalui regulasi untuk memastikan perlindungan bagi anak selama berada di lingkungan madrasah dan pondok pesantren,” kata Retno.

Data Kekerasan Seksual 

Dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional (HAN), Retno Listyarti (Komisioner KPAI) merilis  kasus-kasus kekerasan seksual khusus yang terjadi di lembaga pendidikan sepanjang Januari sampai Juli 2022.  Data diambil dari hasil pemantauannya di media massa berdasarkan kasus yang keluarga korban sudah melaporkannya ke pihak kepolisian. 
 
Dari Januari-Juli tercatat 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah dalam wilayah kewenangan Kemendikbudristek 3 (25 persen) dan 9 (75 persen) satuan Pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. 
 
Berdasarkan jenjang Pendidikan, kasus kekerasan terjadi dijenjang Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2 (16,67 persen) kasus, jenjang SMP sebanyak 1 (8,33 persen) kasus, Pondok Pesantren 5 (41,67 persen) kasus, Madrasah tempat mengaji/tempat ibadah 3 (25 persen) kasus, dan 1 (8,33 persen) tempat kursus musik bagi anak usia TK dan SD.  Rentang usia korban antara 5-17 tahun. 
 
Korban berjumlah 52 anak dengan rincian 16 (31 persen) anak laki-laki dan 36 (69 persen) anak perempuan.  Sedangkan pelaku total berjumlah 15 orang yang terdiri dari 12 guru (80 persen),  1 (6,67 persen) pemilik pesantren, 1  (6,67 persen) anak pemilik pesantren, dan 1 (6,67 persen)  kakak kelas korban. 
 
Adapun rincian guru yang dimaksud di antaranya adalah guru Pendidikan agama dan Pembina ekstrakurikuler, guru musik, guru kelas, guru ngaji, dan lainnya.  Adapun modus pelaku di antara adalah mengisi tenaga dalam dengan cara memijat, memberikan ilmu sakti (Khodam), dalih mengajar fikih akil baliq dan cara bersuci, mengajak menonton film porno, ritual kemben untuk menyeleksi tenaga kesehatan.
 
Kemudian dipacari dan janji dinikahi, membersihkan tempat tidur, membersihkan rumah dalam lingkungan pondok kemudian pelaku menjadikan kesempatan tersebut untuk melakukan perbuatan bejatnya terhadap para korban. Bahkan mengancam korban dikeluarkan dari keanggotaan ekstrakurikuler, melakukan pencabulan saat proses kegiatan pembelajaran, korban ditugaskan membersihkan tempat tidur, kemudian tersangka menjadikan kesempatan tersebut untuk melakukan perbuatan bejatnya terhadap para korban.
 
“Bahkan memaksa korban melakukan aktivitas seksual dalam ruangan kosong dan toilet,” terang Retno. 
 
Sedangkan menurut wilayah kejadian terdiri dari Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur dan Kota Depok (Provinsi Jawa Barat); Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang dan Kabupaten Kediri (Provinsi Jawa Timur); Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang (Provinsi Banten); Kabupaten Pekalongan (Provinsi Jawa Tengah); dan Kabupaten Karimun (Provinsi Kepulauan Riau). 

Putusan Berat Pelaku

Menurut Retno, sebagian kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan yang sampai di pengadilan, sebagian diputus berat. Di antaranya adalah putusan hukuman mati bagi terdakwa pemerkosaan 13 santriwati di Bandung, Herry Wiryawan (HW).
 
Herry dijatuhkan hukuman tersebut oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat.  Selain HW, hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual di Pengadilan Negeri Kudus pada 19 Juli 2022 menjatuhkan vonis 18 tahun penjara dan denda Rp10 juta kepada AL.
 
Ustad yang melakukan pencabulan kepada delapan santriwati TPQ di Kecamatan Gebog Kudus, Jawa Tengah. Majelis hakim berpendapat terdakwa terbukti bersalah dengan melakukan pencabulan para korban yang merupakan anak di bawah umur.
 
Putusan ini, sesuai tuntutan dari jaksa, yakni 18 tahun penjara. Apabila denda Rp 10 juta tidak mampu dibayarkan, maka akan diganti hukuman penjara selama lima bulan. 
 
“KPAI mengapresiasi putusan majelis Hakim PN Kudus terhadap terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak di satuan Pendidikan, harus ada efek jera,” ujar Retno. 
 
Sebelumnya, pada Mei 2022, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan hukuman kepada seorang pendeta di Medan bernama Benyamin Sitepu dengan hukuman penjara selama 10 tahun. Terdakwa terbukti bersalah melakukan pencabulan 6 orang siswinya.
 
Dalam amar putusan majelis hakim, terdakwa merupakan mantan kepala sekolah salah satu sekolah dasar swasta di Kota Medan. 
 

 

 

(CEU)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *