Kisah Perang Bali, Upaya Masyarakat Lokal Mengusir Penjajah

Kisah Perang Bali, Upaya Masyarakat Lokal Mengusir Penjajah

Jakarta: Belanda menginjakkan kaki di Bali pada 1841 dan memaksa masyarakat Bali untuk tunduk dan mengakui pemerintahan Belanda. Namun, keinginan Belanda terbentur oleh adat istiadat dan tradisi Bali yang kental, salah satunya menghapus Hukum Tawan Karang.
 
Hukum Tawan Karang adalah peraturan di mana kapal yang terdampar di pulau Bali menjadi hak untuk raja-raja Bali. Hal ini tentu sangat ditentang oleh Belanda, sehingga pada awalnya mereka menawarkan perjanjian, tetapi ditolak mentah-mentah oleh raja-raja Bali.
 
Selanjutnya, Belanda menuntut raja-raja Bali agar mengakui pemerintahannya, melindungi perdagangan milik Belanda, dan semua raja Bali harus tunduk terhadap pemerintah kolonial Belanda. Tuntutan-tuntutan ini tentunya ditolak, tidak hanya oleh para raja, tapi juga rakyat Bali.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Akhirnya, terjadilah perang pada 1846 yang memaksa raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian perdamaian. Adapun bunyi perjanjian itu adalah:

  1. Pasukan Belanda ditempatkan di wilayah Buleleng
  2. Benteng kerajaan Buleleng akan dibongkar oleh pasukan Belanda
  3. Biaya perang ditanggung oleh raja Buleleng.

Tapi sekali lagi, rakyat Bali tidak menghiraukan semua perjanjian itu. Akhirnya, Belanda mulai melakukan serangan besar-besaran. Dalam perang di Bali ini, ada tiga pertempuran yang terjadi, yaitu 1846, 1848, dan 1849.
 
Pada perang yang berlangsung di1846, Belanda mengirim 1.700 pasukannya untuk menaklukkan rakyat Bali, tapi mereka tetap berhasil mengusir penjajah dari Belanda itu. Dua tahun kemudian, ekspedisi kedua berlangsung, Belanda mengirim pasukan dalam jumlah yang lebih besar. Lagi-lagi, Bali berhasil memukul mundur Belanda berkat kepemimpinan I Gusti Jelantik.
 
Pada ekspedisi terakhir, Belanda dipimpin oleh Jenderal Andreas Victor Michiels dengan membawa angkatan perang sebanyak 100 kapal, 5.000 prajurit terlatih, dan 3.000 pelaut. Pada 28 Maret 1849, Michiels memimpin pasukannya ke Buleleng dan 2 hari kemudian ke Singaraja tanpa banyak perlawanan dan esoknya sebuah perundingan diusahakan terhadap kerajaan tersebut namun gagal.
 
Kegagalan Belanda yang kesekian kalinya ini kemudian menggerakan Michiels untuk merencanakan serangan ke Jagaraga. Pada saat yang sama, sebagian pasukan di bawah pimpinan Jan van Swieten, sibuk menahan pasukan di depan dan May Cornelis Albert de Brauw,  melakukan beberapa kerja tak resmi yang dengan cepat dapat menduduki Goa Lawah dan Kusamba.
 
Hingga pagi hari, pengepungan di bagian barat dirasakan rakyat Bali dan serangan di depan oleh Van Swieten diulang kembali, yang membuat Jagaraga jatuh dan pasukan Bali melarikan diri. Perang ini terjadi selama 2 hari 2 malam. (Annisa Ambarwaty)
 

 

(REN)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *