Kasus Sambo, Kanjuruhan, dan Teddy Minahasa Dinilai Momentum Reformasi Polri

Kasus Sambo, Kanjuruhan, dan Teddy Minahasa Dinilai Momentum Reformasi Polri

Jakarta: Institusi Polri telah diterpa tiga masalah yang menarik perhatian banyak masyarakat dalam tiga bulan terakhir. Salah satunya, kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J yang melibatkan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo.
 
Kasus kedua, tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 132 orang akibat penggunaan gas air mata oleh aparat. Teranyar, penangkapan Irjen Teddy Minahasa terkait kasus peredaran narkotika jenis sabu.
 
Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun DPR dinilai perlu melihat tiga peristiwa itu sebagai momentum reformasi Polri. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu mengatakan, pembenahan Polri harus mengikuti reformasi TNI pada 1998.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Kalau omongannya enggak ke arah reformasi kepolisian, ya enggak ada gunanya. Saya mohon maaf. Pak Jokowi harus menyiapkan paket reformasi di tubuh kepolisian, secara struktural, kultural, dan institusional,” kata Ersamus kepada Media Indonesia, Sabtu, 15 Oktober 2022.
 

Presiden Jokowi telah mengumpulkan dan memberi arahan kepada 559 pejabat Polri di Istana Negara pada Jumat, 14 Oktober 2022. Namun, Erasmus menilai arahan Presiden agar polisi menghilangkan gaya hidup mewah maupun pentingnya menindak anggota polisi yang terlibat dalam kejahatan judi daring maupun narkotika belumlah cukup.
 
Menurut Erasmus, Indonesia memerlukan lembaga baru untuk mengawasi kerja aparat penegak hukum. Sebab, sistem yang ada saat ini dinilai belum mampu mengusut tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri secara komprehensif.
 
“Propam, Komjak (Komisi Kejaksaan), Kompolnas (Komisi Kepolsian Nasional) satuin aja dalam lembaga yang punya kewenangan menyidik,” ujar dia.
 
Penangkapan Teddy di tengah lemahnya tingkat kepercayaan masyarkat terhadap Polri, lanjut Erasmus, juga dinilai bukan fenomena puncak gunung es. Alih-alih, ia menyebut bahwa kejadian itu sebagai, ‘Gunung es buatan’. Artinya, Erasmus menduga bahwa proses hukum yang ditujukan kepada Teddy hanyalah gimik Polri.
 
“Kalau mau dibilang gimik silakan, mau dibilang untuk mendongkrak citra kepolisian, ya dugaan itu masuk akal,” ungkap dia.
 

(AGA)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *