Invisible Hands dalam Praktik Oligopoli di Industri Peternakan

Invisible Hands dalam Praktik Oligopoli di Industri Peternakan

tribunwarta.com – Oleh:

Tugas: Akuntansi Manajemen Lanjutan

Mahasiswa: Dedi Irawan (NIM: 5121231012)

Dosen: Prof. Apollo Daito

Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Pancasila

Sektor peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, terutama untuk menaikkan pendapatan perkalita di daerah pedesaan. Mengingat besarnya potensi sektor peternakan Indonesia, dilengkapi kondisi geografis yang sangat mendukung pengembangan industri, industri peternakan harus bisa dioptimalkan menjadi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Meskipun banyak UMKM dan industri rumah tangga terlibat dalam industri ini, dalam praktiknya, lebih dari 90% pasar peternakan unggas di Indonesia dikuasai oleh perusahaan berskala besar. Empat besar perusahaan peternakan unggas nasional bahkan menguasai lebih dari 80% pangsa pasar nasional. Tulisan ini mencoba melihat tatakelola industri peternakan Indonesia untuk mengetahui adanya praktik oligopoli, serta adanya kemungkinan peran “tangan-tangan tak terlihat (invisible hands)” dalam menentukan arah industri peternakan di Indonesia.

Dalam ekonomi, invisible hand adalah metafora yang dipakai Adam Smith untuk menyebut manfaat sosial yang tak terduga-duga berkat tindakan individu. Frasa ini digunakan Smith dalam penjelasannya mengenai pemerataan pendapatan (1759) dan produksi (1776). Frasa tersebut hanya muncul sebanyak tiga kali dalam tulisan-tulisannya, namun mampu merangkum gagasannya bahwa upaya seseorang untuk mengejar kepentingan pribadinya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat apabila tindakan mereka secara langsung bertujuan untuk memakmurkan masyarakat.

Dikutip dari Jurnal Persaingan Usaha Edisi 3 tahun 2010, meningkatnya jumlah pelaku usaha di pasar tidak serta merta menjadikan perusahaan dalam satu industri bersaing satu sama lain. Pada kondisi tertentu, persaingan dengan sengaja dihilangkan agar para pemain besar di industri tersebut memperoleh profit secara maksimal melalui kesepakatan di antara pelaku usaha dengan tujuan agar mereka tidak bersaing satu sama lain. Tindakan koordinasi diantara mereka merupakan upaya memaksimalkan profit bersama. Kesepakatan seperti ini sering terjadi membentuk struktur pasar oligopoli.

Sebelum krisis Covid-19 melanda, sektor peternakan memberi kontribusi dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,57% senilai Rp148 triliun. Dari sisi investasi, sektor peternakan mampu menyerap Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp842,9 miliar dan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar USD159,7 juta. Investasi pada komoditas menjadi primadona di sektor ini dengan nilai prosentase investasi PMA mencapai 82,14% dan PMDN 86,78%. Sedangkan dari sisi penyerapan tenaga kerja, data Biro Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2017 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 3,84 juta tenaga kerja yang bekerja di sektor peternakan. Angka ini merupakan 3,17% dari total tenaga kerja nasional.

Besarnya potensi sektor peternakan Indonesia ditunjang kondisi geografis yang sangat mendukung pengembangan industri, harus bisa dioptimalkan menjadi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Namun untuk itu, diperlukan kajian dan riset komprehensif yang bisa menghasilkan sebuah kesimpulan yang presisi dan relevan untuk pengambilan keputusan strategis yang tepat, baik strategi di tingkat nasional maupun strategi di level korporasi. Tulisan ini dapat menjadi literasi awal untuk berbagai inisiasi yang dapat dilakukan dalam rangka mencari solusi dan memberikan usulan bagi pengembangan industri peternakan, khususnya di industri unggas dan produk unggas di Indonesia.

Meski mengalami pertumbuhan cukup baik, namun kondisi industri peternakan unggas di Indonesia dapat dikatakan belum mencapai tahapan keunggulan kompetitif dibandingkan negara lainnya seperti Brazil, Thailand, Malaysia dan Korea Selatan. Selain itu, Indonesia juga termasuk negara net importir untuk produk input unggas seperti bibit DOC, bahan baku pakan dan obat-obatan.

Pada 2016 KPPU pernah menyatakan bahwa industri unggas di Indonesia dikuasai oleh 12 pemain besar. KPPU sendiri pernah memeriksa 12 perusahaan terkait adanya indikasi kartel dalam produksi dan pemasaran produk unggas. Dua belas perusahaan pengolahan daging ayam tersebut akhirnya ditetapkan bersalah oleh Ketua Majelis sidang perkara dugaan kartel daging ayam. Mereka dianggap secara sengaja melakukan afkir dini atau pembunuhan dua juta bibit ayam dengan tujuan untuk mengurangi stok daging ayam di pasar dan membuat harganya melambug tinggi. Seluruh perusahaan dianggap bersalah dan langsung dijatuhi hukuman. Dua di antaranya mendapat hukuman denda paling besar yakni mencapai Rp 25 miliar per perusahaan.

Mengutip Guru Besar FEM IPB Didin Damanhuri seperti ditulis dalam artikel di CNN Indonesia, pemerintah perlu merevisi aturan di Undang-Undang (UU) 41 Tahun 2014 tentang Perubahan UU 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan). Sebab, aturan UU tersebut memungkinkan praktik oligopoli oleh segelintir pihak di industri perunggasan. Salah satu aturan menyebut penyelenggaraan peternakan dapat dilakukan secara tersendiri dan/atau terintegrasi. Namun, pada praktiknya di lapangan, integrasi ini rupanya banyak dilakukan oleh beberapa perusahaan yang sama dari hulu ke hilir, sehingga menciptakan oligopoli.

Tinjauan Literatur

Hannah Arendt, seperti dikutip dari tulisan Prof. Apollo Daito dalam Kompasiana (dikutip 11/12/2022 pukul 15.47 WIB), bidang ekonomi berbeda dengan bidang politik. Yang terakhir adalah panggung publik di mana pendapat bersaing satu sama lain di depan umum. Sementara bidang manajemen bisnis dan manajemen dan organisasi, menurut Arendt, sejalan dengan visi Aristoteles, sebenarnya merupakan perluasan dari ruang privat, yang tidak cocok dengan profil publik yang diperlukan untuk tindakan. Mungkin di sinilah letak penjelasan atas tidak adanya neoliberalisme dalam daftar ideologinya yang membatasi tindakan: neoliberalisme terutama bersifat ekonomi, dan karena itu tidak dianggap serius dalam hal tindakan.

Aspek politis dan invisible hands meskipun tidak bisa terlihat, namun kental terasa pada praktik pasar oligopoli, berupa jenis pasar dengan persaingan tidak sempurna yang hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan tertentu. Pasar oligopoli memiliki jumlah produsen dan konsumen yang tidak seimbang sehingga dapat memunculkan gap tinggi yang berpengaruh terhadap harga pasar. Para produsen juga saling bersaing dengan ketat dan membuat perusahaan atau produsen baru sulit masuk ke dalamnya.

Ciri-ciri pasar oligopoli adalah sebagai berikut:

    Penjualan bersifat homogen,

    Ada dua produsen atau lebih,

    Memerlukan strategi marketing yang matang,

    Harga saing relatif sama,

    Sulit ditembus produsen baru,

    Kebijakan dari produsen utama berpengaruh pada produsen lain.

Ciri-ciri pasar oligopoli berlaku sepenuhnya di industri peternakan unggas dan produk unggas Indonesia. Tajamnya persaingan industri ini mendorong para pelaku industri peternakan untuk meningkatkan daya saingnya. Apalagi jika kaitannya dalam menghadapi daya saing produk-produk sejenis. Tentunya daya saing itu berbeda-beda tergantung jenis ternaknya. Prospek agribisnis peternakan akan cenderung membaik seiring dengan kemajuan ekonomi yang terefleksi dalam dua indikator kunci, yaitu:

    Kapasitas volume absorbsi pasar semakin besar.

    Harga pasar cenderung meningkat setidaknya dalam produk tanaman pangan bisa dikatakan cenderung relatif.

Struktur dan Kinerja Pasar

Struktur pasar didefinisikan sebagai jumlah penjual dan pembeli serta besarnya pangsa pasar (market share) yang ditentukan oleh adanya diferensiasi produk, serta dipengaruhi oleh keluar masuknya pendatang atau pesaing. Jaya (2001) menyatakan bahwa struktur pasar menunjukkan atribut pasar yang dipengaruhi sifat dan proses persaingan. Sebuah pasar dikatakan terkonsentrasi jika ada beberapa jumlah perusahaan dalam produksi atau ada distribusi yang tidak merata dari pangsa pasar. Konsentrasi rendah dari industri menunjukkan kekuatan pasar kurang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan terkemuka.

Konsentrasi mengindikasikan derajat tingkat market power. Kekuatan pasar adalah kemampuan suatu perusahaan untuk mempengaruhi dengan kuat kuantitas dan harga di pasar. Market power muncul jika market share mencapai 15 persen. Jika market share mencapai 25-30 persen, derajat monopoli dapat menjadi lebih signifikan. Market share lebih dari 40-50 persen biasanya memberikan market power yang lebih besar (Sheperd, 1997).

Komponen struktur industri terdiri dari jumlah perusahaan di industri, konsentrasi industri, dan hambatan masuk industri. Di industri peternakan, meningkatnya rasio harga daging ayam broiler terhadap harga pakan sebelumnya telah meningkatkan secara signifikan jumlah perusahaan di industri. Namun seiring membesarnya perusahaan-perusahaan di dalam industri, ada indikasi sulitnya “entry and exit” suatu perusahaan dalam industri broiler dewasa ini, meskipun tingkat keuntungan diasumsikan normal dikarenakan keseimbangan harga dan permintaan

Di sisi lain, perilaku merupakan tindakan apa yang dilakukan perusahaan terkait harga produk, tingkat produksi, produk, promosi dan variabel kunci lainnya. Perilaku dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu harga dan non harga. Kategori non harga termasuk iklan, kemasan, kualitas produk dan sebagainya (Greer, 1992). Perilaku pasar merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu. Scherer (1990) menyatakan terdapat tiga kriteria untuk melihat perilaku industri yaitu strategi harga, kondisi entry, dan tipe produk.

Perilaku strategis perusahaan hanya ada pada pasar oligopoli. Perilaku industri dapat dilihat pada kebijakan strategis perusahaan dalam menentukan jumlah dominasi output, penentuan harga, advertensi, pemilihan teknologi, kegiatan dalam pasar, serta dalam kebijakan produk. Perilaku perusahaan-perusahaan juga mengenal adanya integrasi vertikal berupa merger. Integrasi vertikal dapat menimbulkan ekonomisasi dan berdampak terhadap persaingan. Alasan-alasan untuk melakukan integrasi vertikal dan merger antara lain adalah untuk meningkatkan pangsa pasar, pertumbuhan, mendapatkan laba yang lebih tinggi, efisiensi dan juga untuk mengurangi ketidakpastian usaha. Integrasi dan konglomerasi termasuk dalam kegiatan merger (Hasibuan, 1994).

Perilaku pasar, di sisi lain adalah perilaku aktual dari pembeli dan penjual di pasar. Ini termasuk kebijakan harga, kegiatan untuk meningkatkan hambatan masuk dan kegiatan mencari kegiatan untuk membangun regulasi untuk membatasi persaingan.

Kinerja Pasar

Permintaan barang atau jasa yang meningkat akan meningkatkan harga barang tersebut dan sebaliknya produksi barang dan jasa yang meningkat akan menurunkan harga barang atau jasa tersebut, ceteris paribus. Integrasi vertikal memiliki hubungan positif dan sangat signifikan dengan harga jual perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa integrasi vertikal yang dijalankan di industri broiler merupakan integrasi semu, di mana semestinya dengan integrasi, usaha menjadi lebih efisien dan harga produk menjadi rendah. Hal ini disebabkan karena perusahaan peternakan terbagi dalam unit-unit industri yang terpisah yang pada masing-masing unit perusahaan terdapat margin pemasaran (Yusdja et al., 2004). Biaya per unit menunjukkan efisiensi dari segi biaya dan sangat signifikan dipengaruhi oleh integrasi vertikal.

Perusahaan terintegrasi akan mampu mengurangi inefisiensi alokatif dengan melakukan diversifikasi risiko, memastikan penawaran atau pasar, menangkap peluang atau skala ekonomis, menginternalkan eksternalitas produksi, penentuan harga, dan keputusan pasar (Klein et al., 1978). Sementara itu, produksi broiler perusahaan berhubungan positif dengan biaya per unit. Gopinath et al. (2002) menyatakan suatu industri dengan kondisi keseimbangan simetris dengan kebebasan masuk dan keluar, tingkat rata-rata pertumbuhan dalam industri berbanding terbalik dengan jumlah perusahaan.

Kompleksitas Industri Peternakan Indonesia

Sub sektor peternakan merupakan basis ekonomi yang berpotensi tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satu sub sektor peternakan yang mengalami pertumbuhan pesat adalah sektor perunggasan. Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Produk unggas memberi kontribusi terhadap konsumsi protein sebesar 11,00% (Susenas, 2011) dan berkontribusi terhadap konsumsi protein hewani sebesar 60,73% (Bahri, 2008).

Selain itu, sektor perunggasan telah menyerap tenaga kerja lebih dari 1000 orang per tahun. Pertumbuhan produksi unggas cukup prospektif dan progresif. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan produksi yang cenderung naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, produksi ayam broiler dari perusahaan besar (terintegrasi) yang menguasai pasar lebih dari 85% telah mencapai lebih dari 2,5 juta ton (GPPU, 2014). Sementara kebutuhan hanya sebesar 2,3 juta ton. Hal ini berarti kebutuhan daging ayam broiler dapat dipenuhi dari dalam negeri (self sufficient). Dari aspek permintaan, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap produk unggas terutama daging ayam cenderung naik rata-rata sekitar 9,3% per tahun (Susenas Tahun 2013, diolah Puska Dagri, 2013).

Analisis Struktur Industri

Struktur industri diukur dengan rasio konsentrasi dan analisis market pada industri peternakan mendapatkan hasil seperti di bawah ini. Berdasarkan tingkat konsentrasi, stuktur pasar dihitung dari kelompok perusahaan yang terdiri dari 4 perusahaan yang memiliki output lebih tinggi dari perusahaan lain dalam lingkup yang sama. Berdasarkan data tahun 2021, empat perusahaan terbesar di industri peternakan Indonesia menguasai 81% market share. Ini termasuk dalam kategori menengah ke atas dimana dapat disimpulkan telah terjadi oligopoli ketat atau perusahaan dominan dengan competitive fringe.

Data Penjualan 4 Besar Perusahaan Peternakan

Sales*

CR4

2021

2021

1

Charoen Pokphand Indonesia Tbk

51.698

37,4%

2

Japfa Comfeed Indonesia Tbk

45.725

33,1%

3

Malindo Feedmill Tbk

9.130

6,6%

4

PT Sierad Produce Tbk

5.439

3,9%

Total

111.992

81,0%

Indeks HHI 4 Besar Perusahaan Peternakan

Sales 2021

Market share

HHI

1

Charoen Pokphand Indonesia Tbk

51.698

50,0%

61,7%

2

Japfa Comfeed Indonesia Tbk

45.725

18,4%

22,7%

3

Malindo Feedmill Tbk

9.130

7,5%

9,3%

4

PT Sierad Produce Tbk

5.439

5,1%

6,3%

5

Wonokoyo Group

NA

3,3%

6

Lainnya (termasuk industri rakyat)

NA

14,9%

Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri dengan besar 0-100% dari total market share. Indeks Hirschman-Herfindhal (HHI) mengukur tingkat konsentrasi pasar industri dengan memperhitungkan semua titik pada kurva konsentrasi, menjadi jumlah pangsa pasar kuadrat dari perusahaan indutri. Analisis HHI pada keempat perusahaan terbesar di industri peternakan ini menunjukkan PT Charoen Pokphand pada tahun 2021 menguasai pasar secara dominan, diikuti tiga perusahaan lain, yaitu PT Japfa Comfeed, PT Malindo Feedmill, dan PT Sierad Produce. Jaya, W.K (2014) mendefinisikan hambatan masuk pada sebuah pasar sebagai semua hal yang memungkinkan terjadinya penurunan, peluang, atau kecepatan masuknya pesaing baru. Salah satu yang menjadi penghalang masuknya pasar adalah hadirnya perusahaan besar di Indonesia, terlihat dari indikator market share.

Analisis perilaku industri dilakukan secara deskriptif untuk memperoleh informasi tentang perilaku perusahaan dalam suatu industri. Analisis ini dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku secara kualitatif sulit diukur. Kuncoro, M (2007) mendefinisikasi perilaku industri sebagai pola tanggapan dan penyesuaian berbagai perusahaan dalam suatu industri untuk mencapai tujuannya dan menghadapi persaingan. Perilaku dapat dilihat pada bagaimana perusahaan menentukan harga, penjualan, promosi produk, atau iklan, serta berbagai kegiatan lain yang dapat terjadi di pasar, hingga research & development.

Dilihat dari segi peluang pasar, pengembangan agribisnis peternakan memiliki prospek yang baik, khususnya untuk memenuhi permintaan pasar domestik yang masih akan terus mengalami akselerasi seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan urbanisasi. Pasar internasional mungkin belum dapat ditembus karena membutuhkan dukungan sistem rantai pasok yang mampu menyediakan produk dengan mutu, volume dan waktu terjamin. Oleh karena itu, pasar internasional di masa datang akan lebih merupakan ancaman daripada kesempatan bagi agribisnis peternakan Indonesia.

Dilihat dari sisi produksi, hanya usaha peternakan ayam, khususnya ayam ras pedaging dan petelur, yang mempunyai kemampuan paling tinggi untuk memanfaatkan peluang pasar domestik yang ada. Peternakan ayam ras telah berkembang menjadi suatu industri yang cukup terintegrasi secara vertikal dan amat dinamis karena didukung oleh perusahaan berskala besar, termasuk perusahaan multinasional, khususnya di segmen hulu (industri pakan dan DOC), yang bertindak sebagai motor penggerak rantai pasok, sehingga disamping dapat memenuhi permintaan pasar domestik, juga mempunyai daya saing yang cukup memadai. Sebaliknya, peternakan non-ayam ras (sapi, sapi perah, kerbau, kambing, domba, babi, ayam buras) mengalami kendala produksi sehingga selama ini telah terperangkap ke dalam titik keseimbangan rendah (low equilibrium trap) karena didominasi oleh usaha peternakan rakyat skala kecil, bersifat sebagai usaha sambilan dengan modal serta kapasitas manajemen terbatas.

Prospek Industri Perunggasan Indonesia

Prospek industri perunggasan 2022 tak bisa dilepaskan dari kondisi fundamental ekonomi. Dalam kondisi pandemi, sejumlah bisnis, termasuk hotel, restoran, dan catering (horeka) yang selama ini banyak menyerap produk unggas, masih harus membatasi kapasitas. Padahal, biaya operasional, seperti gaji karyawan, listrik, sewa kantor, dan biaya tetap lainnya harus dibayar penuh.

Banyak pihak optimistis perekonomian bakal kembali pulih pada tahun 2022 seiring membaiknya kondisi pasca pandemi Covid-19. Untuk kesekian kalinya di kala krisis atau resesi, pertanian dengan subsektor peternakan mampu menjadi penyelamat ekonomi bangsa. Alasannya, pangan adalah kebutuhan primer dan esensial yang tidak bisa ditunda saat pandemi atau normal. Bahkan, di saat pandemi masyarakat sangat dianjurkan untuk menyantap makanan bergizi yang bisa mendongkrak imunitas tubuh sebagai benteng melawan Covid-19.

Selain itu, mengacu pada piramida Abraham Maslow, konsumen kini bahkan telah menggeser kebutuhan mereka dari mengejar puncak piramida, yakni aktualisasi diri dan esteem ke dasar piramida, yakni makanan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga. Karena itu, jikapun di tahun 2022 ekonomi belum sepenuhnya pulih, bisa dipastikan permintaan terhadap produk pertanian, termasuk produk unggas, seperti broiler dan telur (ayam buras, ras petelur, itik, itik manila, dan puyuh), tetap tidak tergantikan.

Yang menggembirakan, di tengah pandemi, usaha perunggasan yang semula belum masif seperti broiler, kini kian berkembang, seperti ternak ayam kampung dan puyuh. Catatan Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia, pandemi telah mendorong usaha pembibitan ayam kampung. Juga pemasaran yang inovatif, yaitu membangun outlet, gerai, atau reseller secara daring. Diyakini, satu hingga dua tahun ke depan akan berdiri usaha berskala besar.

Namun, industri perunggasan, terutama daging ayam, pada 2021 masih rentan guncangan. Beberapa faktor yang mempengaruhinya adalah:

Pertama, surplus produksi masih berlanjut. Merujuk laporan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (2020), tahun 2021 sektor ini mengalami suplus 344.967 ton daging ayam (9,8 persen dari kebutuhan). Surplus itu diperkirakan bertahan di tahun 2022, bahkan berpotensi mengalami kenaikan. Angka yang dirilis saat Rembug Perunggasan Nasional pada 10 Desember 2020, surplus produksi daging ayam pada Desember 2020 diperkirakan 18,7 persen. Sementara surplus telur ras pada 2021 (Kementan, 2020) mencapai 119.852 ton (2,4 persen). Surplus ini adalah hasil perencanaan produksi 1,5-2 tahun lalu. Cara cutting dipastikan tidak menghentikan atau mengurangi produksi mendadak guna menyesuaikan dengan permintaan.

Kedua, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Akibat dari belum pulihnya daya beli masyarakat, hasil produksi pertanian, termasuk unggas dan produk unggas, tidak seluruhnya terserap pasar. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dilakukan pemerintah salama masa pandemi, membuat kapasitas operasi usaha tidak optimal. Padahal mereka inilah yang menyerap produksi petani atau peternak. Akhirnya, terjadi diskoneksi supply-demand. Kondisi ini terjadi tidak hanya di sektor peternakan, tetapi juga untuk produk aneka sayuran dan produk peternakan lainnya.

Hasil pertanian atau peternakan yang tak terserap pasar membuat petani atau peternak kehabisan modal berproduksi pada musim berikutnya. Jika mereka berhenti produksi dan terjadi dalam skala luas dan masif, tentu berujung pada ancaman ketersediaan pangan bagi 280 juta warga negara Indonesia.

Inisiasi Teknologi sebagai Solusi di Sektor Peternakan

Tahun 2021, pemerintah masih mengalokasikan anggaran besar untuk mitigasi pandemi. Anggaran kesehatan Rp 168,71 triliun dan perlindungan sosial Rp 421,71 triliun. Tahun 2020, anggaran pemulihan ekonomi nasional mencapai Rp 695 triliun. Namun tidak ada alokasi anggaran yang mengalir khusus ke petani atau peternak yang notabene adalah pengusaha mikro dan kecil.

Karena itu, perlu segera dibuat aneka langkah guna melindungi petani atau peternak. Pertama, cara cutting dan afkir dini seperti saat ini, hanya menolong dalam jangka pendek. Kedua, sembari menyelesaikan solusi jangka pendek, pemerintah dan otoritas pengawas persaingan usaha mesti fokus mendesain solusi jangka panjang, dan menuntaskan integrasi hulu-hilir yang fokus daya saing. Ini penting sebagai bagian dari antisipasi masuknya daging ayam dari luar negeri, seperti Brasil.

Sampai saat ini, preferensi konsumen masih membeli daging segar, bukan beku. Jika harga karkas bisa dijaga pada level kompetitif, hampir pasti sulit bagi daging ayam impor merebut pasar daging ayam di negeri ini.

Di dalam dunia peternakan IoT berpengaruh di dalam pengembangan industri pada aspek precision farming dan prescriptive farming. IoT adalah konsep dimana suatu objek mampu berkomunikasi dan berinteraksi virtual melalui interkoneksi jaringan internet sehingga menciptakan manfaat bagi masyarakat. Objek tersebut mentransfer data melalui jaringan tanpa harus berhubungan langsung manusia ke manusia atau manusia ke komputer. Dalam prescriptive farming, peternak memperoleh pengetahuan melalui penyuluhan maupun bimbingan-bimbingan secara teknis, serta akses informasi mengenai pengembangan usaha serta dinamika pemasaran dan sebagainya. Informasi harga merupakan salah satu contoh prescriptive farming.

Informasi harga menjadi satu aspek terpenting dalam pemasaran. Harga menjadi salah satu tolok ukur dalam pengambilan kebijakan serta potret dinamika pemasaran, bagaimana kondisi permintaan dan penawaran produk peternakan tercermin dari harga yang terbentuk di pasar. Di dalam menghadapi gejolak harga yang terjadi, pemerintah harus memiliki instrumen untuk memantau perkembangan pasar komoditas peternakan melalui informasi harga dari seluruh wilayah Indonesia.

Pembangunan sistem informasi pasar bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja Pelayanan Informasi Pasar (PIP) dengan meningkatkan kualitas penyajian informasi pemasaran hasil peternakan. Untuk saat saat ini, informasi harga masih belum dapat diandalkan karena masih sulit diakses sehingga belum optimal memberi manfaat bagi penyusunan kebijakan serta belum optimal mendukung kinerja pengembangan usaha pemasaran produk peternakan Indonesia.

Kesimpulan dan Saran

Adanya praktik oligopoli yang kuat diindustri peternakan, sementara di sisi lain industri ini menyentuh langsung kehidupan masyarakat, membuat para ekonom mengusulkan agar UU Peternakan di revisi. Salah satu aturan menyebut penyelenggaraan peternakan dapat dilakukan secara tersendiri dan/atau terintegrasi. Namun, pada praktiknya di lapangan, integrasi ini rupanya banyak dilakukan oleh beberapa perusahaan yang sama dari hulu ke hilir, sehingga menciptakan oligopoli. Seharusnya dalam undang-undang tidak boleh ada unsur yang dapat dinegosiasikan dan tidak boleh ada integrasi vertikal.

Untuk mencegah fluktuasi harga di pasar akibat penguasaan industri oleh segelintir pihak bisa dicegah dengan kebijakan harga acuan dari kementerian. Ketentuan ini tertuang Peraturan Menteri Perdagangan (Kemendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.

Berdasarkan analisis prospek pasar industri peternakan seperti di atas, maka usaha pengembangan agribisnis peternakan disarankan agar difokuskan pada dua program, yaitu:

    Pemantapan dan perluasan industri peternakan ayam ras; dan

    Akselerasi pertumbuhan aneka usaha peternakan (non ayam ras). Pemantapan dan perluasan industri ayam ras meliputi pembenahan sistem rantai pasok integratif sehingga lengkap, padu-pakan dan sinergis dalam satu alur vertikal serta bersaing sehat antar rantai pasok.

Perluasan dilakukan dengan pengembangan rantai pasok di wilayah bahan baku khususnya di luar Jawa dan Sumatera. Pengembangan industri ayam ras dapat dilaksanakan oleh swasta secara mandiri. Peranan pemerintah difokuskan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan.

Meski diketahui terdapat pemain besar dalam industri ini, tentunya peluang tetap ada bagi pengusaha kecil. Invisible hands sekali lagi menentukan keberpihakan akan perkembangan industri ini ke depan, apakah akan memberi peluang kepada industri kecil atau malah cenderung melanggengkan oligopoli.

Mengikuti era yang serba digital maka kita harus memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu. Penggunaan teknologi tentunya tidak hanya sebatas dalam proses bagian produksi peternakan, namun juga dalam rantai pasok dan pendistribusian hasil ternak. Harapan dengan penggunaan teknologi mampu mengefisienkan proses dalam industri peternakan dari proses produk, distribusi, bahkan hingga pemasaran. Tentunya diharapkan penggunaan teknologi ini dapat menciptakan kedaulatan pangan.

Dari sisi supply dan demand, industri peternakan Indonesia sebesarnya sudah dalam posisi surplus, artinya supply lebih tinggi dari demand. Tingginya angka produksi tersebut juga sejalan dengan tingginya permintaan terhadap produk perunggasan oleh masyarakat Indonesia. Tahun 2021 tercatat bahwa produksi telur ayam mencapai 5,52 juta ton dengan permintaan sebesar 5,48 ton. Sedangkan untuk daging unggas pada tahun 2021 sektor ini mampu memproduksi 4 juta ton atau setara sekitar 3,4 juta ekor ayam hidup, dengan konsumsi daging ayam hanya sebanyak 3,1 juta ton atau setara 2,7 juta ekor.

Namun di sisi lain, data menunjukkan jika konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk perunggasan masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti faktor rendahnya daya beli, harga produksi yang tinggi sehingga mengakibatkan harga produk unggas menjadi tinggi.

Dukungan teknologi di berbagai lini di industri perunggasan sangat penting untuk diperhatikan. Adanya teknologi tepat guna yang didukung oleh pengembangan digitalisasi, internet of things (IoT), hingga big data, dapat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas sektor industri peternakan. Aspek lain yang juga memberikan pengaruh signifikan adalah isu perubahan iklim. Aspek ini seharusnya menjadi bahan riset signifikan sehingga dapat menemukan solusi yang dapat diterapkan di industri peternakan.

Industri peternakan Indonesia berkembang cukup baik seiring dengan makin tingginya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia. Produk unggas dan turunannya sejauh ini mampu menjadi pilihan dalam rangka memenuhi kebutuhan protein masyarakat Indonesia. Pemenuhan kebutuhan itu sejauh ini mampu di-supply oleh industri nasional, baik yang berasal dari industri berskala besar maupun UMKM atau industri berbasis kerakyatan.

Namun berdasarkan pembahasan di atas, terdapat beberapa masalah laten di industri peternakan Indonesia. Antara lain adalah produksi yang terpusat pada sekelompok perusahaan berskala nasional yang menguasai pasar mendekati 90%. Sebagian perusahaan ini memiliki sumber daya yang besar, mempunyai akses ke sumber pendanaan berskala besar, memiliki akses ke pasar global dan nasional, serta terkadang menguasai industri dari hulu hingga hilir. Sisanya dipasok oleh pelaku UMKM dan industri rumah tangga yang berlangsung dengan karakteristik usaha mikro kecil dengan ciri minim sumberdaya, minim riset dan penggunaan teknologi, serta dijalankan dengan manajemen keluarga. Tidak jarang industri rumah tangga ini juga merupakan perpanjangan tangan dari industri besar dengan sistem plasma.

Atas berbagai kondisi yang ada, perlu dirumuskan strategi level nasional dan strategi level korporasi yang komprehensif dan berasal dari riset yang memadai. Di level nasional, level konsumsi masyarakat terhadap produk unggas harus ditingkatkan. Selanjutnya perlu dilakukan proteksi atas industri nasional melalui regulasi yang tidak bertentangan dengan ketentuan WTO. Aspek lain yang dibutuhkan adalah adanya berbagai kebijakan yang mendukung kemudahan ekspor, menjadi sektor peternakan sebagai Proyek Strategis Nasional, hingga pengembangan usaha rakyat melalui pengembangan UMKM. Sementara di level korporasi harus dipastikan terjadinya peningkatan level daya saing melalui berbagai program yang dijalankan secara berkelanjutan, mulai dari research & development (R&D), optimalisasi teknologi digital (IoT, big data, cyber risk, dan lainnya), pengembangan program pembibitan yang unggul, dan berbagai keputusan strategis lainnya.

Daftar Pustaka

Diskursus Akuntansi Manajemen Lanjutan, Prof. Apollo Daity, Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Pancasila 2022, Jurusan Akuntansi

Ridwan, Fitriwamati, Sumarni, 2017 — Struktur Pasar dan Keberlanjutan Industri Broiler di Sumatera Barat, Universitas Andalas, Padang

Database Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), https://kppu.go.id

Jurnal Persaingan Usaha Edisi 3 — Tahun 2000, KPPU: https://www.kppu.go.id/docs/ jurnal/JURNAL_3_2010_ok.pdf

Database Kementerian Perdagangan, https://satudata.kemendag.go.id

Survei Ekonomi Nasional Tahun 2013

Biro Pusat Statistik (BPS), https://www.bps.go.id

Swasembada Enterprise, https://swasembada.id

https://www.ocbcnisp.com/en/article/2022/03/21/pasar-oligopoli

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210827183640-92-686520/potensi-oligopoli-ekonom-nilai-uu-peternakan-perlu-direvisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *