Ide PPHN Lewat Konvensi MPR Ngaco Secara Ketatanegaraan

Ide PPHN Lewat Konvensi MPR Ngaco Secara Ketatanegaraan

Jakarta: Pakar hukum konstitusi Bivitri Susanti menyebut upaya menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui konvensi ketatanegaraan tidak bisa diterima secara keilmuan. Upaya penghadiran PPHN lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR dinilai hal yang mengada-ada.
 
“Itu ngaco secara keilmuan. Mengada-ada banget. Memang salah satu sumber hukum tata negara adalah konvensi, tapi konvensi artinya praktik yang berulang-ulang kayak pidato presiden 17 Agustus. Tapi kalau mengubah suatu substansi, materi, muatan konstitusi atau UU, tidak ada,” ujarnya di Jakarta, Kamis, 28 Juli 2022.
 
Bivitri menyatakan konstitusi Indonesia memang sudah tidak lagi punya PPHN. Dengan model pemilihan presiden langsung seperti sekarang, tidak ada haluan negara yang perlu diberikan kepada presiden karena presiden dipilih berdasarkan visi-misi.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Saya juga orang yang tidak setuju. Karena saya kira argumen dasarnya itu memang konstitusi,” ujarnya.
 
Menurut dia, konvensi ketatanegaraan itu adalah praktik ketatanegaraan yang berulang-ulang dan sudah diterima sebagai praktik. Konvensi ketatanegaraan tidak bisa mengubah konstitusi ataupun UU.

Tanpa konsekuensi

Hal senada disamapikan Direktur PSHK Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Anang Zubaidy. Dia menilai tidak tepat upaya menghadirkan PPHN lewat konvensi ketatanegaraan.
 
“Hanya kalau pertanyaannya apakah PPHN itu bisa masuk sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan menurut saya tidak tepat. Karena dia tidak dilakukan berulang-ulang, terlebih lagi setelah MPR mengalami perubahan secara struktur maupun kewenangan pascaamandemen UUD,” ujarnya.
 

Dia menyebut konvensi ketatanegaraan sebenarnya hukum tidak tertulis. Dia mengatakan sebagai konvensi ketatanegaraan ketika ada perbuatan hukum yang berulang-ulang, dilakukan terus menerus, dan seolah-olah menjadi keharusan untuk dilakukan.
 
Namun, praktik tersebut tidak mempunyai landasan hukum tertulis misalnya upacara ataupun pidato presiden pada sidang MPR. Oleh karena itu, PPHN tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan.
 
“Hanya kalau pertanyaannya apakah PPHN itu bisa masuk sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan menurut saya tidak tepat. Karena dia tidak dilakukan berulang-ulang, terlebih lagi setelah MPR mengalami perubahan secara struktur maupun kewenangan pasca amandemen UUD,” ucap dia.
 
Dia menilai jika hal itu dipaksakan akan membawa dampak yang cukup rumit. “Kalau dia (PPHN) masuk sebagai konvensi, jelas tidak bisa ada konsekuensi. Kalau dipaksakan, ke mana? Siapa yang mau dipaksakan? Karena dia tidak punya konsekuensi,” katanya.
 
Zubaidy menduga ada pihak yang ingin mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi dengan kewenangannya. “Menurut saya begini, MPR ataupun DPD yang menginginkan itu sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan, karena mereka menganggap MPR pascaamendemen ini kan sebagai lembaga yang tidak punya kewenangan. Dia ada kayak tidak ada. Kemudian, cari-cari alasan, peluang yang bisa digunakan. Bisa jadi begitu,” tegas dia.
 
Rapat Gabungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersama pimpinan fraksi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebelumnya menyetujui rencana menghidupkan PPHN tanpa melalui amandemen UUD 1945 sebagaimana inisiasi Ketua MPR Bambang Soesatyo.
 
Kendati demikian, partai-partai belum sepakat dengan bentuk payung hukum PPHN. Fraksi Golkar menolak usul PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR tersebut.
 
“Rekomendasi Badan Pengkajian MPR adalah wacana penetapan TAP MPR RI sebagai dasar hukum PPHN tanpa harus melakukan amandemen UUD 1945, yang oleh Badan Pengkajian MPR disebut konvensi ketatanegaraan. Terhadap wacana ini, Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak,” kata Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Idris Laena.
 

(JMS)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *