Guru Besar Unesa Paparkan Tragedi Kanjuruhan dari Aspek Psiko Sosio-Sains

Guru Besar Unesa Paparkan Tragedi Kanjuruhan dari Aspek Psiko Sosio-Sains

Jakarta: Kejadian di Stadion Kanjuruhan, Malang yang memakan ratusan korban menjadi tragedi luar biasa dalam sejarah sepak bola di Indonesia dan dunia. Insiden ini harus menjadi pembelajaran bersama dan bahan evaluasi total untuk memperbaiki ‘culture’ sepak bola Tanah Air.
 
Guru Besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Tjipto Prastowo menjelaskan tragedi itu dari perspektif ilmu kebumian. Dia memaparkan earth sciences membedakan bencana kebumian menjadi dua.
 
Pertama, bencana geologi contohnya seperti gempa tektonik, erupsi vulkanik, dan tsunami. Bencana geologi cenderung bersifat non-antropogenik yang berarti tidak dipicu oleh aktivitas manusia karena tidak bisa dicegah, tetapi bisa dikurangi dampak negatifnya.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Kedua, bencana hidrometeorologi bersifat antropogenik yang berarti dipicu oleh aktivitas manusia karena seharusnya bisa dicegah. Contoh bencana kategori ini, seperti banjir bandang, banjir rob, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, tanah longsor dan likuifaksi.
 
“Bencana hidrometeorologi bersifat antropogenik ini contohnya juga seperti kecelakaan transportasi (darat, laut, udara), kecelakaan industri (Chernobyl case), termasuk tragedi Kanjuruhan,” ujar Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unesa itu dikutip dari laman unesa.ac.id, Rabu, 5 Oktober 2022. 
 
Dia menjelaskan bencana hidrometeorologi (antropogenik) seharusnya bisa dicegah maka terminologi bencana alam sebagai terjemahan natural disaster kurang tepat. 
 
“Saya meyakini sungguh-sungguh bahwa alam diciptakan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia dan bukan sebaliknya: memberikan bencana. Dengan demikian, dengan segala kerendahan hati saya mengajak semua pihak untuk menyebut bencana geologi dan bencana hidrometeorologi sebagai bencana kebumian bukan bencana alam,” tutur dia.
 
Tjipto menjelaskan dalam Bahasa Inggris bencana kebumian adalah earth-related disaster sedangkan bencana alam adalah natural disaster. Kedua terminologi tersebut beda makna. Tragedi Kanjuruhan bisa juga dilihat dari sudut pandang psiko-sosiologi.
 
Dia mengatakan akhir-akhir ini begitu banyak masalah sosial mulai distribusi minyak goreng sampai penegakan hukum (law enforcement) yang rendah. Bukan tak mungkin, massa pendukung tim sepakbola yang mayoritas berasal dari golongan akar rumput sudah punya masalah sejak keberangkatan dari rumah.
 
Seperti belum bekerja atau sudah bekerja, tetapi gaji rendah, perut lapar tak punya uang, atau punya uang tapi tak seberapa. Kecemburuan sosial ada di mana-mana. Stratifikasi membelah massa menjadi polarisasi dua golongan, yaitu yang merasa “kalah dan dikalahkan” dan yang “diklaim menang”.
 
Polaritas yang besar memicu friksi sosial. Reaksi massa adalah erupsi sosial dari dalam dapur magma yang tertekan. Tragedi Kanjuruhan dengan demikian adalah tragedi sosial, tragedi kemanusiaan yang jelas menjadi petunjuk bencana antropogenik bisa menjadi pemicu kematian sia-sia.
 
“Tanpa harus menyalahkan pihak mana pun dan siapa pun atas jatuhnya 100 lebih korban jiwa di tragedi Kanjuruhan, mari belajar dari sekarang. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Ini harus menjadi pelajaran untuk memperbaiki budaya sepak bola, pertandingan, supporter dan sistem pengamanannya ke depan,” tutur dia. 
 

 

(REN)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *