Eks Presiden Sri Lanka Hanya Boleh Tinggal 15 Hari di Singapura

Eks Presiden Sri Lanka Hanya Boleh Tinggal 15 Hari di Singapura

Singapura: Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa hanya diperbolehkan berada di Singapura selama 15 hari. Sumber mengatakan, tidak ada perpanjangan dari pemerintah Singapura terkait hal tersebut.
 
Menurut sumber itu, Rajapaksa berusaha ‘mendekati’ India agar mereka bersedia menerima kehadiran dirinya. Namun, pemerintah Perdana Menteri India Narendra Modi menolak.
 
Sumber itu mengatakan, India tak mau melawan rakyat Sri Lanka.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Rajapaksa kabur dari Sri Lanka saat protes besar-besaran melanda di negaranya. Ia sempat dicegat petugas imigrasi saat berusaha ke luar negeri.
 
Namun, militer kemudian membawa dia dan rombongan ke pangkalan angkatan laut. Saat itu, Maladewa dan India menjadi opsi negara tujuan sebelum Rajapaksa mengakhiri pelariannya di Uni Emirat Arab.
 
India dengan tegas menolak. Negeri Bollywood menyampaikan keberpihakan mereka kepada warga Sri Lanka.
 
Pada Jumat pekan lalu, Rajapaksa akhirnya terbang ke Singapura. Pemerintah setempat menyatakan lawatan itu merupakan kunjungan pribadi.
 
Baca juga: Tiba di Singapura, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa Ajukan Pengunduran Diri
 
“(Rajapaksa) tak meminta suaka, dan dia juga tak diberikan suaka,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Singapura, dikutip dari News 18, Senin, 18 Juli 2022.
 
Dari Singapura, Rajapaksa mengirim surat pengunduran diri ke parlemen Sri Lanka via surel. Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe untuk menjadi presiden sementara menggantikannya.
 
Warga menyambut pengunduran diri resmi Rajapaksa dengan gembira. Parlemen Sri Lanka kemudian dijadwalkan menggelar pemungutan suara untuk mencari pengganti Rajapaksa pada 20 Juli.
 
Jelang pemilihan presiden baru itu, Wickremesinghe mendeklarasikan status darurat. Langkah ini diambil sebagai upaya meredam protes dan mencari solusi di tengah jeratan krisis ekonomi.
 
Sri Lanka berada dalam kekacauan akibat krisis ekonomi parah. Pada April lalu, negara Asia Selatan itu dinyatakan bangkrut.
 
Harga bahan pangan, terutama barang impor, dan bahan bakar melonjak. Warga protes, tak banyak juga yang menyatakan mereka kelaparan.
 

(FJR)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *