Drama Diskriminasi Sawit RI Oleh Uni Eropa, Berapa Lama Lagi?

Drama Diskriminasi Sawit RI Oleh Uni Eropa, Berapa Lama Lagi?

tribunwarta.com – Uni Eropa, sejak Februari 2019 lalu terus melancarkan serangan-serangan untuk mematikan sawit RI. Sudah episode ke-berapa?

Untuk informasi selengkapnya, simak artikel Finansialku di bawah ini!

Rubrik Finansialku

Drama Diskriminasi Sawit RI oleh Uni Eropa Masih Berapa Episode Lagi?

Diskriminasi Uni Eropa (UE) terhadap kelapa sawit Indonesia nyatanya belum usai.

Sejak ‘penyerangan’ awal UE, saat Komisi Eropa menyusun berkas Delegation Regulation of ILUC (Indirect Land Use Change)-RED II (Renewable Energy Directive) pada 8 Februari 2019 lalu, nyatanya Indonesia masih terus dapat tekanan dari UE dengan aturan-aturan yang dinilai timpang.

Kebijakan itu, kemudian diterbitkan secara formal pada 13 Maret 2019 yang kemudian kebijakan (Delegated Act) dikukuhkan tiga bulan kemudian, tepatnya 10 Juni 2019.

Kebijakan itulah tombak awal mula diskriminasi kelapa sawit Indonesia mulai dirasakan. Pasalnya, setelah kebijakan itu diresmikan, kelapa sawit resmi dicoret dalam program energi hijau di negara-negara Uni Eropa.

Serupa efek domino, setelah kelapa sawit tercoret dari rancangan program itu, biodiesel berbasis kelapa sawit juga kena imbasnya, yang harus rela untuk dicoret mulai 2030 nanti.

Download Sekarang! Ebook PERENCANAAN KEUANGAN Untuk USIA 30-an, GRATIS!

Alasan Uni Eropa mencoret kelapa sawit dari program energi hijau ini karena RED II mencap kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan.

[Baca Juga: Prospek Komoditas Minyak Sawit di Ketidakpastian Perang Dagang]

Bukan hanya itu, UE juga pernah secara terang-terangan menuding pemerintah sudah memberikan subsidi yang berlebihan terhadap pengusaha kelapa sawit. Hal ini tentu membuat harga kelapa sawit anjlok ketika diekspor ke Eropa.

UE lalu membuat keputusan untuk mengenakan tarif ekspor atau bea masuk terhadap empat perusahaan biodiesel Indonesia sebesar 8-18 persen.

Empat perusahaan itu terdiri dari Ciliandra Perkasa yang dikenai bea masuk 8%, Wilmar Group yang ditarik 15,7%, Musim Mas Group dipalaki 16,3%, dan Permata Group yang harus bayar bea masuk terbesar, 18%.

Berkali-kali dihujani serangan diskriminasi, Indonesia tentu tidak bisa tinggal diam. 9 Desember 2019 lalu, pemerintah Indonesia secara resmi menggugat UE di WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia.

Tuntutan ini dilakukan melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTR) di Jenewa, Swiss, sebagaimana diulas oleh laman finance.detik.com, Minggu (29/12/19).

Perjuangan Indonesia tidak dilakukan sendiri. Negeri Jiran, yang ternyata juga didiskriminasi selama bertahun-tahun, berbondong-bondong menciptakan Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) atau Dewan Negara Produsen Sawit tahun 2015 lalu sebagai tameng hukum.

Diskriminasi ini nyatanya dirasakan bukan cuma oleh Indonesia dan Malaysia, tapi juga negara berkembang penghasil kelapa sawit lainnya seperti Nigeria.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman periode 2016-2019 seperti dikutip dari laman finance.detik.com, Rabu (21/8/19), mengatakan;

“Kan Afrika juga, Nigeria produksi kelapa sawit, kita harus melawan ramai-ramai diskriminasi yang dibuat oleh Uni Eropa tadi, karena saya jelaskan itu tidak adil juga. Jadi kita harus bersama-sama melawan itu. Spirit Asia-Afrika.”

Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Perekonomian sempat membalas ancaman itu dengan mengingatkan bahwa Indonesia adalah pembeli terbesar pesawat Airbus buatan Eropa.

“Kami ingatkan, Indonesia the biggest buyer Airbus dan masih ada order 200 unit pesawat.”

Terkait penarikan bea masuk, Indonesia juga balas dendam dengan berencana untuk mengenakan tarif bea masuk 20-25 persen kepada setiap impor produk olahan susu dari Eropa.

Kata Enggartiasto Lukita selaku Menteri Perdagangan periode 2016-2019 tahun lalu;

“…. Saya fair pada mereka. Kita juga akan terapkan tarif yang sama pada saatnya. Jadi cari saja sumber baru. Seperti Australia, New Zealand, Amerika Serikat.”

Atas serangan bertubi-tubi itu, Indonesia juga sempat menduga kalau UE sedang melancarkan kampanye hitam (black campaign) terhadap produk kelapa sawit Indonesia.

Mereka menyebarkan ketakutan pada masyarakat dan konsumen kalau produk kelapa sawit Indonesia bisa merusak lingkungan dan memiliki dampak yang tidak baik.

[Baca Juga: Inilah Dampak Bagi Emiten CPO Akibat Pengembangan Bea Cukai CPO ke India]

Mendengar itu, UE, melalui Kuasa Usaha Ad Interim Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Charles Michel-Geurts menepis dugaan tersebut.

“Kami tidak punya urusan dengan perusahaan makanan yang memberi label ‘free palm oil’ pada produk mereka. Itu adalah kesadaran pasar sendiri. Kesadaran untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik.”

Apabila ditilik dari jumlah pemakaiannya dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti rapeseed, bunga matahari, kacang kedelai buatan Amerika Serikat yang terbukti lebih banyak makan lahan, minyak kelapa sawit justru malah diketahui sembilan kali lebih efisien.

Minyak nabati lainnya malah membutuhkan luas tanah lima hingga sembilan kali lebih banyak dari pada kelapa sawit.

Minyak kelapa sawit nyatanya cuma mempergunakan 6,6 persen dari total penggunaan tanah bumi, sekaligus telah menghasilkan 38,7% kebutuhan minyak nabati untuk keperluan pangan dunia.

Indonesia juga tidak melanggar perjanjian apapun terkait kelapa sawit ini, justru berbanding terbalik dengan Amerika Serikat yang tutup mata pada Kesepakatan Paris soal perubahan iklim.

Belum beres UE serang Sawit Indonesia…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *