Di balik sengkarut tunggakan gaji guru PPPK

Di balik sengkarut tunggakan gaji guru PPPK

Aris mengaku stres berat karena kelimpungan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, hingga kini belum ada kejelasan dari pemerintah terkait kapan gaji guru PPPK bakal dibayarkan. Aris hanya mendengar Pemkab Serang saat ini tak punya duit untuk membayar tunggakan gaji guru PPPK. 

“Jujur kepikiran terus saya soal ini. Sejauh ini, saya cuma denger sedang diperjuangkan Bu Bupati dengan pemerintah pusat. Kalau makin lama (tak digaji), saya bingung mau bagaimana,” ujar pria yang sudah hampir sepuluh tahun mengabdi sebagai guru honorer itu. 

Total ada sebanyak 1.682 PPPK di Kabupaten Serang yang hingga kini belum menerima gaji. Mereka merupakan lulusan tes CPNS dan PPPK yang digelar pemerintah pusat setahun sebelumnya. Berbeda dengan pekerja honorer, PPPK berhak mendapat tunjangan dan gaji ke-13. 

Pekan lalu, Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah mengatakan Pemkab Serang belum punya solusi untuk membayar gaji PPPK yang tertunggak. Pasalnya, komponen gaji PPPK tidak masuk dalam perencanaan APBD Serang tahun anggaran 2022. 

“Kami akan komunikasi dengan guru yang lulus PPPK ini supaya bagaimana SK diberikan, tapi kami belum bisa memberikan gajinya. Uangnya tidak ada sama sekali. Belum teranggarkan,” kata dia seperti dikutip dari Antara. 

Pemkab dan DPRD Serang hanya menganggarkan komponen gaji untuk guru PPPK yang direkrut PPPK. Gaji guru PPPK yang direkrut Kemendikbud-Ristek sama sekali tidak dianggarkan. Pemkab mengira gaji guru PPPK itu bakal ditanggung pemerintah pusat. 

Di balik sengkarut tunggakan gaji guru PPPK

Setengah hati? 

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim mengatakan fenomena tunggakan gaji PPPK tak hanya terjadi di Serang saja. Tanpa merinci, ia menyebut mendapat laporan serupa dari sejumlah daerah yang turut menerima lulusan tes PPPK 2021. 

“Persoalannya kenapa? Karena pemda tidak punya uang untuk memberikan gaji dan tunjangan kepada mereka. Tetapi, ini terjadi dan ini tidak hanya Serang. Faktor lainnya karena buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah,” kata Satriawan kepada Alinea.id, Kamis (30/6).

Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (Perpres PPPK), gaji PPPK seharusnya ditanggung pemerintah daerah. Namun, banyak daerah tidak mengalokasikan gaji PPPK dalam APBD mereka karena tak punya anggaran. 

Di lain sisi, pemerintah pusat juga tidak menambah DAU daerah untuk menambal beban anggaran daerah yang naik karena kehadiran PPPK. Penambahan DAU untuk daerah baru dibahas setelah lulusan tes PPPK di berbagai wilayah memprotes gaji mereka yang tak kunjung dibayar. 

“Tapi, nilai DAU tidak bertambah (sebelumnya). Ini gara-gara buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya sangat fatal. Guru-guru PPPK terkatung-katung nasibnya karena tidak kunjung diberikan SK dan gaji dengan alasan daerah tidak punya uang. Ini merupakan kesalahan kolektif antara pusat dan daerah,” kata Satriawan.

Munculnya fenomena tunggakan gaji PPPK di berbagai daerah, menurut Satriawan, merupakan indikasi pemda-pemda setengah hati membuka formasi rekrutmen PPPK. Gelagat itu ia cium sejak formasi kebutuhan guru yang dirilis pemda tak sejalan dengan target pemerintah pusat. 

Di Jawa Barat, misalnya, Kemendikbud-Ristek menghitung kebutuhan guru PPPK sebanyak 24.559 orang. Namun, Pemprov Jabar hanya membuka 16.097 formasi guru PPPK pada 2021. Di Kabupaten Karawang, dari target 7.167 formasi,  rekrutmen hanya digelar untuk memperoleh 495 guru PPPK. 

“Kemudian, Tasikmalaya dibutuhkan 6.158 guru, tetapi kenyataannya hanya mampu membuka 958 saja. Sementara Purwakarta, yang seharusnya dibutuhkan 3.130 guru PPPK, formasi tersedia yang tersedia 49 orang saja,” jelas Satirawan. 

Lebih jauh, Satriawan mengatakan pemda semestinya memitigasi kemungkinan munculnya persoalan tunggakan gaji PPPK sejak awal. Apalagi, tanggung jawab pemda untuk membayar gaji PPPK sudah tertuang di dalam sejumlah Pepres. 

Di lain sisi, ia juga berharap pemerintah pusat tidak lepas tangan. Meskipun sudah dialokasikan dalam DAU, menurut dia, banyak pemda tak punya anggaran memadai lantaran tersedot ke dalam program-program penanganan pandemi Covid-19. 

“Kami meminta niat baik dari pemerintah pusat bersama pemerintah daerah untuk sama-sama berdiskusi yang konkret. Kementerian Keuangan, saya rasa, punya peran yang sangat penting karena dana itu bersumber dari Kementerian Keuangan. Saya rasa Nadiem Makarim juga mesti bertanggung jawab,” ujar Satriawan.

Dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, akhir Juni lalu, pelaksana tugas Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana menegaskan pemda seharusnya tidak kesulitan membayar gaji PPPK. Menurut dia, alokasi anggaran untuk membayar gaji PPPK sudah ada dalam DAU rutin dari pusat ke daerah. 

Persoalannya, lanjut Bima, anggaran yang semestinya digunakan untuk membayar gaji PPPK itu dialihkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai program-program lain. Itu dilakukan lantaran pemerintah memberlakukan moratorium rekrutmen PNS dan PPPK selama beberapa tahun terakhir. 

“Makanya, sekarang ini banyak pemda belum mengangkat PPPK guru yang lulus seleksi 2021 karena beranggapan tidak ada tambahan DAU. Padahal, (dengan tambahan anggaran untuk DAU dari Kemenkeu) seharusnya cukup,” jelas Bima. 

Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim. /Foto dok. Kemendikbud-Ristek

Perbaiki perencanaan

Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan DPR sudah mengundang perwakilan kementerian terkait untuk membahas persoalan tunggakan gaji PPPK. Sejauh ini, pemerintah pusat bersikukuh gaji PPPK seharusnya bisa dibayar oleh pemda.  

“Penjelasan Kemenkeu, gaji PPPK itu sudah dialokasikan dalam transfer daerah yakni dana alokasi umum atau DAU. Sudah pula diberi tanda agar tidak digunakan untuk yang lain,” ujar Fikri kepada Alinea.id, Kamis (30/6).

Meskipun diberi tanda khusus, menurut Fiqri, banyak pemda memilih mengalihkan anggaran untuk membayar gaji PPPK untuk proyek-proyek pembangunan di daerah. Karena sudah kadung dialokasikan ke proyek lain, pemda enggan mengalihkan kembali dana komponen gaji PPPK dalam DAU tersebut. 

“Bentuknya juga bukan specific grant alias dana alokasi khusus. Tentu bila diaudit BPK, mereka (pemda) tidak dinyatakan melanggar bila ternyata teralokasikan untuk kepentingan lain di daerah yang juga urgen. Toh, dananya berupa block grant alias DAU sehingga pemda agak leluasa meskipun ada surat dari Kemenkeu,” kata Fiqri.

Menurut Fiqri, sejumlah daerah sudah meminta agar pemerintah pusat untuk mengalokasikan sebagian anggarannya untuk membantu menggaji PPPK. Salah satunya dengan membuat nota kesepakatan terkait penggajian PPPK antara Kemendikbud Ristek, KemenPAN-RB, Kemenkeu, Kemendagri, dan BKN. 

“Jadi, bisa berupa SKB 4 menteri 1 lembaga sehingga sinkron satu dengan yang lainnya. Bahkan, mungkin bisa ditunjuk penanggung jawab tiap tahapannya yang nanti muaranya kepada pemda dan secara sektoral menjadi urusan di bawah koordinasi Kemendikbudristek,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. 

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemda merupakan indikasi peralihan pegawai honorer ke PPPK bermasalah. Menurut dia, rekrutmen PPPK direncanakan tanpa menghitung kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah. 

“Saya lihat, persoalan ini terjadi karena pemerintah pusat tidak mengukur matang. Akhirnya, terjadi pembengkakan anggaran. Terlihat pemerintah pusat tidak mengantisipasi sama sekali,” ucap Trubus saat dihubungi Alinea.id, Kamis (30/6).

Sejauh ini, Trubus memandang solusi tunggakan gaji PPPK hanya bisa diatasi lewat realokasi DAU oleh pemda atau penambahan DAU oleh pemerintah pusat. Ke depan, ia juga menyarankan agar seleksi PPPK diperketat. Di lain sisi, pemda juga didorong untuk tak lagi memperpanjang kontrak PPPK yang kinerjanya buruk. 

“PPPK ini bukan pegawai anti-pecat. Mereka adalah pegawai kontrak. Ini karena enggak semua daerah DAU-nya cukup. Apalagi, daerah itu daerah pemekaran. Pasti lebih rumit lagi. Jadi, harus ada seleksi yang mengacu pada profesionalisme. Kalau enggak, repot nanti ke depannya,” ucap Trubus.

Alinea.id sudah berupaya mengonfirmasi masalah yang mendera guru PPPK ke Kemendikbud-Ristek dan KemenPAN-RB. Namun, hingga artikel ini terbit, kedua instansi tersebut belum merespons permintaan wawancara dari Alinea.id.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *