Babak Baru Perang Dagang AS – China, Yuk Sikapi dengan Tepat

Babak Baru Perang Dagang AS – China, Yuk Sikapi dengan Tepat

tribunwarta.com – Bagaimana sebaiknya investor menyikapi dampak dari perang dagang AS – China yang memasuki babak baru ini?

Donald Trump memang bukan pertama kalinya mengejutkan dunia dengan sejumlah Tweet nya. Pemimpin AS yang satu ini seringkali mengeluarkan kebijakan (atau lebih tepatnya mensosialisasikan) melalui akun Twitter miliknya.

Seperti halnya baru-baru ini pasar modal kembali dikejutkan dengan adanya perubahan kebijakan dalam konflik perang dagang antara AS – China yang kembali memanas.

Setelah sebelumnya melakukan sejumlah upaya perbaikan hubungan diplomatik dan diprediksikan akan semakin membaik, saat ini kembali menimbulkan kepanikan dan ketidakpastian di kalangan pelaku pasar khususnya di dalam pasar modal Indonesia.

Artikel ini dipersembahkan oleh:

Pemicu Masalah

Polemik bermula dari cuitan Presiden AS Donald Trump melalui akun Twitter nya pada tanggal 8 Mei 2019, mengenai kebijakan AS untuk segera menaikkan tarif barang-barang dari China.

Hal tersebut berimbas pada semakin panjangnya polemik perang dagang antara kedua negara tersebut.

Jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya negosiasi antara kedua negara antara AS dan China sudah berhasil menghasilkan rancangan kesepakatan yang tebalnya hampir sekitar 150 halaman.

Di mana kesepakatan tersebut terdiri dari 7 bab rancangan perjanjian dagang.

Namun kini kesepakatan tersebut sudah tidak berlaku lagi, setelah China menghapuskan komitmennya untuk mengubah UU untuk menyelesaikan keluhan inti yang menyebabkan AS melancarkan perang dagang.

Secara keseluruhan konflik perang dagang antara AS – China yang hingga saat ini masih berlangsung dipicu oleh sejumlah hal.

Secara ringkas terkait atas perlindungan dan penerapan hukum atas pelanggaran terhadap HAKI (Hak Kekayaan intelektual) AS dan rahasia dagang, pemaksaan untuk transfer teknologi oleh perusahaan yang investasi di China.

Kemudian, subsidi dan perlakuan preferensi kepada perusahaan pelat merah China, subsidi dalam hal perkembangan industri dan teknologi yang sedang di program di China (Made in China 2025), kebijakan persaingan, akses layanan keuangan dan manipulasi mata uang Yuan.

[Baca Juga: Amerika Serikat Terlibat Perang Dagang Dengan China, Apa Pengertian Perang Dagang?]

Tindakan China tersebut, akhirnya membuat pemimpin AS geram dan langsung mengumumkan kebijakan baru melalui akun Twitter miliknya.

Trump menilai China sudah melanggar komitmen dari negosiasi perdagangan yang terakhir, dan juga menyebut China sudah melakukan praktik perdagangan tidak adil.

Akhirnya pada 10 Mei 2019, AS memutuskan secara resmi untuk lebih dulu merealisasikan kenaikan tarif bea masuk atas impor produk-produk asal China senilai US$200 miliar (Rp2,7 kuadriliun), dari semula 10% menjadi sebesar 25%.

Tarif baru itu pun berlaku untuk lebih dari 5.700 kategori produk China, mulai dari sayur-sayuran olahan hingga barang elektronik. Di samping itu, pemimpin AS juga mengultimatum putaran tarif lain pada barang-barang China senilai US$267 miliar (Rp3,7 kuadriliun).

Dan kalau benar terealisasikan, maka total nilai barang China yang akan dikenakan tarif baru AS akan mencapai lebih dari US$500 miliar (Rp6,9 kuadriliun).

Tweet Donald Trump

Sementara, dalam waktu yang berdekatan tepatnya pada 13 Mei 2019 China yang menuduh AS melakukan penindasan perdagangan.

China kemudian membalas kebijakan AS dengan menaikkan tarif bea masuk, sekitar US$60 miliar (Rp837 triliun) untuk produk-produk asal AS yang akan efektif mulai 1 Juni 2019.

Adapun sejumlah produk yang akan dikenakan tarif ialah daging, kopi, furnitur, kapas, permesinan/suku cadang mobil, hingga ke bagian-bagian pesawat terbang.

Atau setidaknya ada 4.000 produk, ataupun sebagian besar adalah barang-barang agrikultur yang menjadi sasaran dari pemerintah China.

Adapun pengenaan kenaikan tarif tersebut adalah dari yang sebelumnya berada di level 5% dan 10% menjadi sebesar 20% dan 25%.

Dan pada saat kebijakan China mulai berlaku pada Juni nanti, importir asal China akan membayar bea masuk yang lebih tinggi saat mendatangkan produk agrikultur seperti kacang tanah, gula, gandum, ayam ataupun kalkun dari AS.

Dampak Negatif Perang Dagang

Kebijakan pemimpin AS tersebut cukup memberikan dampak yang sangat berpengaruh terhadap beberapa kondisi.

Hal tersebut karena memang porsi ekspor non-migas Indonesia ke AS dan China mencapai 25%, sehingga dampak negatif ini akan sangat mempengaruhi permintaan pasar ekspor Indonesia.

Kendati demikian, tetap memberikan peluang tersendiri khususnya bagi Indonesia jika mampu menangkap peluang dari perang dagang yang masih berlangsung saat ini.

[Baca Juga: Menyimak Seberapa Besar Pengaruh Perang Dagang AS dan Tiongkok terhadap Pasar Komoditas]

Sejumlah dampak negatif yang akan timbul akibat berlanjutnya perang dagang AS – China, antara lain: Pertama, akan mempengaruhi kinerja emiten yang memiliki penjualan/ekspor ke AS maupun ke China, di mana jumlah ekspor emiten tersebut akan melemah.

Misalnya saja: Emiten batubara seperti ITMG di mana sepanjang tahun 2018 kemarin penjualan batubara ke Asia Timur (termasuk China) mencapai sekitar 23% dari total penjualannya.

Emiten batubara lain seperti HRUM juga banyak menjual batubara ke China. Pada Kuartal I 2019, penjualan ke China tercatat sebesar 21% dari total penjualannya, dan menjadi volume penjualan terbesar kedua sepanjang Kuartal I 2019 ini.

Total Ekspor Batubara ke China

Sejalan dengan emiten di sektor batubara, emiten di sektor baja juga kemungkinan akan terdampak dengan Perang Dagang ini. China sendiri terbilang cukup banyak melakukan ekspor baja ke AS selama ini.

Namun karena saat ini baja dari China akan dikenakan kenaikan tarif hingga 25%, maka harga baja dari China ini akan menjadi mahal dan tidak kompetitif lagi.

Sehingga China memilih untuk menyerbu emerging market termasuk salah satunya Indonesia. Hal ini tentunya menjadi ancaman bagi emiten-emiten baja seperti KRAS, BTON, ISSP, dan sebagainya.

Kedua, perang dagang yang kini semakin memanas juga akan berpotensi melemahkan Neraca Perdagangan dan mata uang Rupiah.

Perang dagang AS dan China ini secara tidak langsung berdampak negatif terhadap ekspor/impor Indonesia. Baru saja Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis hasil Neraca Perdagangan Indonesia pada April 2019.

Pada Periode tersebut, jumlah ekspor tercatat US$12.6 miliar (Rp175 triliun), melemah 13.1% YoY, dan jumlah impor tercatat US$15.1 miliar (Rp210 triliun), melemah 6.58% YoY.

Hasil tersebut membuat Neraca Perdagangan pada April 2019 mencatatkan defisit hingga US$2.5 miliar (Rp34 triliun)! Angka ini termasuk salah satu yang terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia.

Sebelumnya, defisit paling dalam pernah terjadi pada Juli 2013 yang sebesar US$2.3 miliar (Rp32 triliun). Melemahnya Neraca Perdagangan ini turut membuat Rupiah cenderung melemah.

Hingga saat artikel ini ditulis, Rupiah kembali melemah dari Rp14.000 an ke Rp14.400 an.

Neraca Perdagangan
(Miliar USD)

2019

Ekspor

Impor

Surplus / (Defisit)

Januari

13.87

15.03

-1.16

Februari

12.53

12.20

0.33

Maret

14.03

13.49

0.54

April

12.60

15.10

-2.50

TOTAL

53.03

55.82

-2.79

Neraca Perdagangan Indonesia Jan – Apr 2019. Sumber: BPS

Dampak Positif Perang Dagang

Meskipun banyak berdampak negatif, akan tetapi Perang Dagang juga bisa memberikan dampak positif dengan terbukanya peluang.

Indonesia berpeluang mengisi kekosongan produk-produk yang biasanya di ekspor oleh China ke US, atau sebaliknya dari US ke China.

Hal itu bisa terlihat dari sejumlah emiten lainnya yang memiliki peluang untuk mengisi kekosongan suplai produk. Contohnya, selama ini US juga banyak mengimpor ban mobil dari China.

Dengan tarif anti dumping yang diberlakukan Departemen Perdagangan AS, justru bisa memberikan kesempatan bagi Perusahaan untuk memperluas penjualan Ban TBR ke Amerika Serikat.

Penulis ambil contoh misalkan emiten GJTL yang 25% penjualan adalah ekspor ke AS.

Maka dengan berlanjutnya perang dagang saat ini, AS yang biasanya mengimpor ban TBR dari China, justru bisa dimanfaatkan oleh emiten Ban Indonesia untuk melakukan penetrasi ke pasar AS.

Potensi tersebut tidak hanya disebabkan oleh berlanjutnya perang dagang, namun juga karena kebijakan AS yang membatasi impor dari China.

Sebagai gambaran lainnya, Penjualan Bersih GJTL dalam hal ekspor produknya ke AS masih menjadi yang terbesar pada Kuartal I-2019 adalah seperti di bawah ini:

Penjualan Bersih GJTL ke AS per Kuartal I-2019

Di sisi lain, perang dagang ini juga mengakibatkan The Fed bersikap dovish sehingga besar kemungkinan The Fed tidak akan menaikkan Fed Rate yang saat ini berada di level 2.25% – 2.50%.

Seperti yang sama-sama kita tahu, sebelumnya diprediksikan akan terjadi kenaikan Fed Rate di tahun 2019 ini adalah 2-3x.

Dengan The Fed yang bersikap dovish, bukankah Bank Indonesia menjadi tidak memiliki tekanan untuk kembali menaikkan BI Rate? Bank Indonesia sendiri saat ini masih bertahan dengan suku bunga acuan 6.0%.

Sebaliknya Bank Indonesia bisa saja berpeluang untuk menurunkan kembali BI Rate Jika nantinya ternyata BI Rate benar turun, maka besar peluang untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik dan berpotensi mengalami peningkatan.

Akan tetapi tentu saja concern Bank Indonesia bukan hanya pertumbuhan ekonomi, melainkan juga perlu menjaga stabilitas lainnya (termasuk Rupiah yang lagi-lagi melemah).

Apa yang Harus Dilakukan Investor Menghadapi Saat Ini?

Banyak yang kemudian bertanya kepada Penulis, sampai kapan ketidakpastian ini akan berakhir?

Well jangankan Penulis, jika Anda tanyakan pertanyaan ini langsung kepada Donald Trump dan Xi Jinping pun mereka juga belum tentu tahu jawabannya. Tidak ada seorang pun yang bisa meramal masa depan.

Namun, ada satu kejadian menarik ketika Penulis membahas hal ini dengan sejumlah Alumni Workshop Value Investing di Private Group Alumni. Salah satu Alumni saling mengingatkan alumni lainnya, kurang lebih seperti ini:

“Di kehidupan ini ada hal yang bisa dikendalikan dan ada hal yang tidak bisa dikendalikan. Makro ekonomi adalah hal yang tidak bisa kita kendalikan, jadi bergeraklah sesuai alunan ombaknya, tidak perlu memprediksi hujan atau tidak hujan. Sedangkan mempelajari sebuah fundamental perusahaan adalah hal yang bisa kita kendalikan. Mulai baca Laporan Keuangan masing-masing perusahaan dan masukan ke dalam watchlist. Saat makro ekonomi memberikan peluang. Mulailah bangun perahu Anda, mulai koleksi saham-saham di watchlist Anda.”

Jadi, kita tidak perlu menebak-nebak masa depan akan seperti apa, kapan perang dagang akan berakhir? IHSG akan turun sampai berapa? Dan sebagainya. Karena once again, itu adalah hal yang di luar kontrol saya dan Anda sebagai pelaku pasar di pasar saham.

Yang bisa kita lakukan adalah: Coba Analisa masing-masing saham pegangan Anda. Apakah emiten yang Anda pegang banyak melakukan penjualan ke domestik/ekspor?

Apakah Perang Dagang ini akan mempengaruhi penjualan/profitabilitas emiten pegangan Anda? Kalau jawabannya Ya, maka Anda boleh pertimbangkan untuk melepas sahamnya.

Namun kalau jawabannya Tidak, maka Why Should You Worried? Memang dalam pasar saham, faktor psikologis (panic selling, rumor, fear) akan mempengaruhi harga saham.

Namun dalam jangka panjang, kesabaran, kejelian, dan keberanian seorang investor lah yang akan menang pada saat nya.

Kesimpulan Kebijakan Dagang

AS resmi mengubah kebijakan dagangnya, dengan menaikkan tarif bea masuk atas impor produk-produk dari China senilai US$200 miliar (Rp2,7 kuadriliun) dari yang semula 10% menjadi 25%.

Demikian juga dengan China yang tidak membutuhkan waktu lama untuk membalas kebijakan AS, dengan menaikkan tarif bea masuk sekitar US$60 miliar (Rp837 triliun) untuk produk-produk asal AS dan akan efektif pada 1 Juni 2019.

Meskipun konflik perang dagang antara AS – China kembali memanas, di mana tidak dapat dipungkiri memberikan dampak negatif bagi sejumlah negara termasuk Indonesia.

Salah satunya adalah produk China yang mulai banyak menyerang emerging market salah satunya Indonesia. Selain itu, perang dagang juga membawa dampak negatif pada Neraca Perdagangan Indonesia hingga ke pelemahan nilai tukar Rupiah.

Namun Perang Dagang tidak sepenuhnya memberikan dampak yang negatif, dan bahkan bisa saja memberikan peluang bagi sejumlah emiten.

Perang dagang ini ternyata juga memberikan peluang untuk Indonesia bisa mengisi kekosongan produk-produk untuk AS yang biasanya di ekspor oleh China.

Tidak hanya itu, Perang Dagang juga akan membuat The Fed bersikap dovish untuk mempertahankan Fed Ratenya di level 2.25% – 2.50%.

Sehingga dapat berimbas positif untuk Bank Indonesia menjaga suku bunga acuan di level 6.0% bahkan berpotensi diturunkan lebih rendah.

Sebagai investor, kita tetap bersikap waspada terhadap ketidakpastian ini. Tetapi akan lebih baik, jika kita tidak menyikapinya dengan kepanikan yang dapat membuat kita panic selling atas saham yang saat ini kita pegang.

Analisa terlebih dahulu apakah saham yang sedang kita pegang akan dipengaruhi secara kinerja oleh Perang Dagang ini?

Kalau misalkan tidak, maka Anda bisa melihat penurunan harga saat ini adalah sebuah kesempatan untuk kembali membelinya di harga yang lebih murah.

Masih bingung untuk berinvestasi saham dengan tepat? Anda bisa membaca ebook investasi saham dari Finansialku di bawah ini. Selamat membaca..

Gratis Download Ebook Panduan Investasi Saham Untuk Pemula

Semoga artikel ini bisa memberikan sedikit titik terang bagi Anda yang mungkin saja saat ini sedang cemas dan khawatir akan dampak yang ditimbulkan oleh Perang Dagang saat ini.

Jangan lupa bagikan artikel ini kepada teman dan kerabat Anda. Semoga bermanfaat, terima kasih..

Sumber Referensi:

    Rivan Kurniawan. 19 Mei 2019. Perang Dagang AS – China Memasuki Babak Baru, Bagaimana Investor Harus Menyikapinya?. Rivankurniawan.com – http://bit.ly/2lJSuht

Sumber Gambar:

    Perang Dagang AS – China – http://bit.ly/2lOb6wC

    Total Ekspor Batubara ke China – Public Expose HRUM 2019

    Penjualan Bersih GJTL ke AS per Kuartal I-2019 – GJTL LK Q1 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *